Siapkah Jawa Barat dengan Konsep Megapolitan ?
Melihat fenomena yang terjadi di Kota Bandung yang heurin usik oleh wisatawan Jakarta dan sekitarnya pada setiap hari libur, maka dengan munculnya gagasan Megapolitan untuk konsep pengembangan beberapa kota yang ada di sekitar Jakarta dan Bandung mungkin akan jadi kenyataan. Lahirnya konsep Megapolis ini melihat kecenderungan perkembangan wilayah perkotaan mulai berekspansi ke segala penjuru dan cenderung menyebabkan kota-kota kecil di sekitar kota besar menjadi bagian yang tidak terpisahkan lagi. Pengembangan ini harus ada pengorbanan dengan pendelegasian beberapa fungsi yang dimiliki kota besar kepada kota-kota kecil tadi sesuai dengan potensi kota itu sendiri sehingga kota itu mampu hidup dan berdiri sendiri dengan otonominya. Jaringan tata kerja ini pada akhirnya membentuk sebuah sistem kota yang memiliki hierarki teratur dan memiliki hubungan fungsional yang saling menunjang dan diatur oleh UU perkotaan yang mapan sehingga tercapilah sistem Tata Kerja Megapolis atau Mega City.
Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan adalah struktur tata ruang kota-kota penyangga harus berwawasan dengan jangka waktu perencanaan 20 hingga 30 tahun ke depan. Hal itu dikarenakan banyaknya masalah yang harus dianalisis secara akurat, misal sebagai penampung kebutuhan penduduk yang tidak tertampung, baik dari segi penyediaan lapangan kerja, pelayanan, permukiman, sekaligus pengembangan kota itu sendiri agar menjadi kutub pembanding ‘counter magnet’ yang dapat menangkal terjadinya arus konsentrasi penduduk dan kegiatan ekonomi. Begitu pula dengan jalur transportasi dari berbagai kota sehingga ruas jalan utama tidak terjadi kemacetan yang signifikan. Kota-kota Seperti Bogor, Depok, Tangerang (Banten), Bekasi, Cianjur, dan Cimahi, akan merupakan satuan wilayah yang memiliki keterkaitan hubungan fungsional, sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dan akan mengalami dampak langsung bila terjadi perubahan-perubahan penting di pusat kota Jakarta dan Bandung. Kota-kota kecil tadi diarahkan sebagai lokasi penempatan beberapa fungsi penting untuk menunjang fungsi kota sebagai ‘counter magnet’ termasuk dalam batas administrasi yang memudahkan analisis. Juga dijadikan sebagai pusat pertumbuhan, daerah transit, perdagangan, pariwisata, jasa dan daerah perindustrian (pergudangan). Perhitungan Constantin Doxiadis, pakar masalah permukiman dan perancang kota kaliber dunia asal Yunani, yang disitir oleh RF.Dasmann dalam “Planet in Peril” 1972, bahwa pada abad 21 kawasan Jakarta-Bogor-Bandung bakal menjadi kawasan yang membentuk Kota Maha Raya ‘Mega City / Mega Polis’.
Pada lintasan Bogor-Puncak-Sukabumi-Bandung terdapat jalan raya Bopunjur dan sebagai aliran DAS Ciliwung, kelestarian alam sekitar Bopunjur ini harus diperhatikan dengan benar. Daerah ini merupakan daerah resapan air dan perlu penataan lanskap yang berwawasan jauh ke depan. Panorama alam pegunungan dapat digali dengan seoptimal mungkin agar menjadi daya tarik wisata. Peraturan perundang-undangan (Perda dan UU) harus mampu dan menunjang dalam mempertahankan keindahan alam; fungsi hidrologis bagi areal yang sudah maupun yang masih harus memerankan fungsi hidrologis dalam rangka terjaminnya kelangsungan pembangunan yang berkesinambungan. Maka lintasan Bogor-Cianjur–Bandung baik yang lewat Puncak atau Sukabumi, agaknya tak terhindar dari pola pertumbuhan ‘ribbon development’.
Pantura sebagai lumbung padi nasional, agaknya perlu dipertimbangkan lagi dari ‘penyerobotan’ lahan subur dari sawah menjadi lahan kering. Setelah kondisi jalan Cikampek Padalarang ditingkatkan dan ditambah dengan Jalur Tol Cipularang, ditambah lagi dengan jalur kereta api yang makin intensif, jadinya Bandung – Jakarta PP seperti ‘jalan ka cai’ karena jarak tempuh semakin cepat dan dekat.
Perkembangan kota Jakarta dengan kota-kota di sisinya (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) semakin kompleks dengan segala kebutuhan dan permasalahannya, akan membentuk sebuah kota raya yang linier. Kondisi semacam itu harus diantisipasi secepat mungkin. Apabila tidak, akan berakibat fatal, baik secara administrasi, ekonomi, bahkan secara budaya (nilai-nilai) yang berkembang di masyarakat. Untuk itu diperlukan kajian secara multidisiplin dan berkesinambungan dalam rangka pengembangan ke arah itu. Melihat fenomena itu, pengamatan Ir. Ben van Bronkhorsz (1984) kecenderungan bahwa jalur Jaboba dan (Jabodetabek) bakal dihuni oleh 2/3 penduduk Propinsi Jawa Barat dan 75% di antaranya terdiri atas orang muda yang berarti akan terjadi ledakan tenaga kerja yang memerlukan lapangan kerja non agraris.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa penumpukan ‘aglomerasi’ industri pada sebuah kota atau lokasi, akan menjadi pusat pengembangan ‘growth pole’ wilayah di sekitarnya. Karena sektor industri inilah merupakan alat pemicu pertumbuhan wilayah yang paling utama. Perkembangan kegiatan fisik dan sosial adalah proses yang terus berjalan maka urbanisasi yang terjadi akan mengakibatkan pergeseran struktur mata pencaharian yang cukup signifikan dari sektor pertanian ke sektor industri atau non pertanian. Kenyataan itu, menuntut kualitas SDM yang siap pakai dan memerlukan peningkatan pendidikan dan keterampilan.
Ramalan terbentuknya Mega City / Megapolis antara Kota Jakarta-Bogor-Bandung, mungkin akan jadi kenyataan. Antisipasinya Kota Bandung khususnya sebagai ibukota propinsi, harus menjadi ‘Centre of Execellence’ bagi seluruh potensi wisata, pendidikan, politik, perekonomian, teknologi, sosial budaya, dan sebagainya. Dan, tinggal masyarakat menyesuaikan perilaku hidupnya, mengantisipasi diri sebagai warga ‘kota maha raya’ pertama di Indonesia, atau hanya berpangku tangan, tenggelam dalam kebesaran kota yang mengaburkan nilai-nilai tradisional kemanusiaan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar