Rabu, 02 September 2009

AKSARA SUNDA

Oleh Nandang Rusnandar

  • Makalah dalam Symposium Tahun Pusaka di Cigugur Kuningan - Jawa Barat Tgl 20 s.d 24 Februari 2003
Ngapan-ngapan anu kauntun ku waktu, nyaritakeun dongéng-dongéng anu kungsi kajadian, tapi moal mantak pikapercayaeun !
Tapi engké jaga baris deui kajadian, tangtu bukti, tangtu kasorang ! Ngan dina buktina jaga, mudu nguntungkeun heula nu jadi musuh ! Sabab urang Sunda, ngagung-ngagung k a l a p a s u n d a, tapi dina sarundana lain kalapa mamanggaran, tapi sunda h u h u l u a n !

“Kujang Di Hanjuang Siang, Ronggéng Tujuh Kala Sirna”

Pun.
Berbicara masalah Aksara Sunda, kita tidak bisa lepas dari latar belakang sejarah perkembangan manusia Sunda. Apa, siapa, dan bagaimana perjalanan budaya Sunda hingga terlahir sebuah Aksara Sunda, itu pertanyaan yang perlu kita jawab bersama. Meskipun catatan sejarah yang resmi tidak memadai, baik dari naskah-naskah kuno maupun catatan dalam bahasa Belanda (yang ada di Negeri Belanda) itu sangat minim. Hal itu terjadi karena, Belanda datang ke Tatar Sunda, pada waktu itu Sunda berada dalam situasi terjajah. Tanpa mengetahui sejarahnya, suku bangsa tak dapat mengenal dan memiliki identitas. Di samping itu, kesadaran sejarah merupakan sumber inspirasi dan aspirasi. Keduanya sangat potensial untuk membangkitkan sense of pride ‘kebanggaan’ dan sense of obligation ‘tanggungjawab dan kewajiban’.
Ada sebuah aksioma yang menyatakan sejarah suatu bangsa diawali dengan tulisannya (baca : Aksara). Sebab dengan tulisan tersebut, dapat mengungkap berbagai peristiwa yang terjadi pada masa itu. Lebih luas lagi bahwa melalui aksara dapat diketahui kehidupan budaya bangsanya yang melingkupi bidang-bidang filsafat, agama / religi, kepemimpinan, dan nilai-nilai yang tercantum dalam ajaran-ajaran lainnya yang menyangkut aspek kehidupan. Kenyataan itu berarti aksara sebagai tanda atau lambang dari bahasa, merupakan sarana untuk komunikasi yang dapat berfungsi sebagai penyimpan pesan.
Dengan kepemilikan aksara dapat dijadikan sebagai tolok ukur tinggi rendahnya budaya atau peradaban suatu bangsa. Bersyukurlah orang Sunda telah mencapai ke arah hal tersebut.
Dengan adanya Aksara Sunda ini, tidak semata-mata berfungsi memberikan pengetahuan latar belakang sejarahnya, melainkan juga bertujuan menyadarkan generasi muda dalam membangkitkan rasa kesadaran sejarahnya.
Setelah melihat hasil penelitian KALENDER SUNDA / KALANGIDER yang dilakukan oleh Ali Sastramidjaja (1990), dapat membuktikan hipotesis nol bahwa sistem tulisan ‘aksara’ telah lama dikenal masyarakat Sunda jauh sebelum abad pertengahan ke-5. Hipotesis ini dapat ditelusuri dengan mencoba membandingkan hasil akhir Kalender Sunda dengan Kalender Masehi yang sekarang berlaku di seluruh dunia. Karena dengan kalender, menurut Ensiklopedia Wrinkler Prince ditegaskan bahwa keluhuran budaya suatu bangsa dapat diukur dari akuratnya penanggalan. Kalender Masehi mempunyai sistem kabisat, yaitu tiap empat tahun sekali diubah satu tanggal, sedangkan penanggalan Hijriah setiap bulan selalu diadakan penyesuaian dan koreksi.
Penelitian awalnya, secara matematis ilmu astronomi menyebutkan bahwa dalam satu tahun adalah 365,2422 hari pertahun rata-rata, dalam Kala Surya Sunda adalah 365,2421875 hari pertahun rata-rata, jadi ada kekurangan 0,0000125 hari pertahun rata-rata. Angka perbedaan itu apabila dikalikan 80.000 hasilya 1 (satu). Artinya setelah 80.000 tahun, bakal ada kekurangan satu hari, maka nanti setelah 80.000 tahun baru ditambah satu hari (disebut tahun panjang). Namun hasil akhir dari penelitian astronomi pada tanggal 01-01-2000 Masehi, dinyatakan bahwa umur hari rata-rata dalam satu tahun adalah 365,24218967 maka kekurangan dalam Kala Surya Sunda adalah 0,00000217 hari pertahun rata-rata. Maka apabila dikalikan dengan 460829,49308756 hasilnya adalah 1 (satu). Artinya setelah 460830 (empatratus enampuluh ribu delapanratus tigapuluh) tahun akan ada kekurangan satu hari. Nanti setelah 460830 tahun ditambah satu hari yaitu untuk tahun panjang.
Begitu pula dengan perkembangan bahasa, kita mengenal adanya Proto Melayu yang diakui paling tua di Asia, ternyata lebih muda daripada Proto Soendic (Sunda) ribuan tahun (Bern Nothover, 1973 Makalah yang disajikan di ITB).
Hipotesis nol untuk pembuktian bahwa bahasa Sunda lebih tua dibanding dengan bahasa-bahasa di Nusantara ini, salah satunya dapat kita lihat, pertama, dari sistem morfologis yang dipergunakannya, yaitu dengan adanya rarangken hareup (KANTIL: pen.) ‘awalan’, rarangken tengah ‘imbuhan’, rarangken tukang (KINTIL: pen.) ‘akhiran’ dan rajek ‘ kata ulang’ apabila kita BIRAS ‘matriks’ akan menghasilkan 15 matriks yang akan membentuk 78 gabungan. Dari hasil gabungan tersebut akan menghasilkan kata menjadi 1.505.975.326 ‘SATU MILYAR LIMA RATUS LIMA JUTA SEMBILAN RATUS TUJUH PULUH LIMA RIBU TIGA RATUS DUA PULUH ENAM’ kata. Kedua, dari sistem pasangan minimal dengan pola permainan vokal (a,i,u,é,o,eu, dan e) dalam sebuah kata, akan menghasilkan 49 kata. Di mana makna secara semantis ‘nilai rasa’ akan selalu menunjukkan makna nilai rasa yang sama. Ketiga dari pemberian nama kepada seluruh -baik itu kejadian, ataupun benda- telah memiliki nama-nama yang berbeda.

Perhatian kita tidak terbatas / terfokus pada objek pengamatan (aksara) tetapi juga tertuju pada persepsi kita terhadap opbjeknya.
Aksara sebagai lambang bahasa yang mampu bercerita banyak dan atau menceritakan kembali pengalaman masa lalu. Lewat proses pengenalan dan pemahaman terhadap masa lampau itu merupakan kesadaran yang akan timbul menjadi kesadaran diri atau kolektif suku bangsa.
Dengan aksara dapat membuka presfektif temporal. Hal itu berarti bahwa kekinian dapat ditempatkan atau dipautkan dalam suatu konteks historis. Dalam proses konstekstuasi itulah terjadi proses penyadaran diri disertai oleh penemuan diri secara pribadi. Tidak hanya pada tingkat individual tetapi juga pada tingkat kolektif. Kesadaran kolektif akan dirinya membentuk rasa kebersamaan yang dilambangkan dalam -- bentuk (keanekaragaman) aksara Sunda -- sebagai lambang identitas.
Bagi masyrakat Sunda khususnya, perlu identitas primordial yang dijadikan suatu ikatan kebersamaan. Dalam hal Aksara Sunda yang telah diciptakan Karuhun harus menjadi suatu pride dan obligation bagi generasi muda dalam melestarikan dan mengembangkannya.
Kita harus membuat suatu konsensus bersama yang sangat esensial dalam melestarikan dan mengembangkan aksara ini. Sebab Aksara merupakan suatu lambang bahasa sebagai tuangan pengalaman kolektif bangsa yang didalamnya tercakup cipta, rasa, dan karsa (ideasional, etis, dan estetikanya). Karena dengan aksaranya (untuk sementara , pen) dapat berfungsi sebagai salah satu faktor pembentukkan identitas kolektif bangsa.
Aksara Sunda harus menjadi sumber inspirasi dan aspirasi generasi muda dengan melihat berbagai keanekaragamannya yang tertera dalam berbagai benda temuan, prasasti, lontar, tembaga, bambu, tanah, dsb.
Secara harfiah, aksara atau huruf adalah gambar bunyi bahasa (KUBI, 1982) atau tanda yang dipakai untuk melambangkan bunyi (Kamus Linguistik, 1982). Jadi pada dasarnya aksara merupakan tanda atau gambar dari bunyi bahasa yang diterakan di atas bahan-bahan yang pada akhirnya disebut sebuah aksara atau tulisan, baik mengandung arti ataupun tidak.
Secara faktual bahwa masyarakat Sunda (Jawa Barat) memiliki banyak jenis aksara dibanding dengan daerah lainnya di Nusantara ini. Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Dayanata Antarnusa yang berkedudukan di Bandung, telah mencoba menginven-tarisir dan mentranskripsi lontar yang ada di Ciburuy - Garut, membuktikan bahwa teraan aksara menunjukkan jenis-jenis yang berbeda satu dengan yang lainnya. Begitu pula dengan bahan-bahan yang dipergunakan untuk menulisnya pun berbeda-beda. Di samping Lontar yang ada di Ciburuy - Garut, Yayasan ini pun telah mencoba menelusuri Jawa Barat dan menemukan berbagai tinggalan tulisan Karuhun. Hal itu terbukti dari teraan aksara yang terdapat dalam bahan-bahan seperti :
1. Wanda aksara Sunda dalam batu ditulis mempergunakan goresan.
2. Wanda aksara Sunda dalam lontar ditulis mempergunakan peso pangot.
3. Wanda aksara Sunda dalam lontar ditulis mempergunakan geutah ‘getah’.
4. Wanda aksara Sunda dalam awi ‘bambu’ atau kai ‘kayu’ ditulis mempergunakan pisau
5. Wanda aksara Sunda dalam awi ‘bambu’ atau kai ‘kayu’ ditulis dengan cara disungging.
6. Wanda aksara Sunda dalam besi / tembaga ditulis mempergunakan paku atau ujung pisau.
7. Wanda aksara Sunda dalam daluwang ditulis mempergunakan tinta atau sari buah.
8. Wanda aksara Sunda dalam kertas ditulis mempergunakan tinta atau sari buah.
9. Wanda aksara Sunda dalam kertas ditulis mempergunakan cetakan atau dicetak.
10. Wanda aksara Sunda dalam kertas ditulis mempergunakan komputer.
Khusus teraan yang terdapat dalam Lontar, Atja menyebutkan “…sangat sedikit dari daun lontar. Umumnya sudah lapuk, dan jarang yang dapat diketahui urutannya” (1969 : 5). Setelah diperhatikan dan disimak lebih mendalam, wanda aksara yang ada dalam serat lontar Ciburuy terbagi dalam dua bagian besar yaitu : wada aksara runcing dan tebal. Wanda aksara runcing diterakan lewat sebuah alat yang disebut peso pangot, sedangkan wanda aksara tebal diterakan dengan mempergunakan ‘batang pohon alang ajub yang bergetah’.
Mengenai wanda aksara Sunda, bila dibandingkan dengan huruf Latin, wanda itu bagaikan urutan sejumlah font, jadi ada beberapa wanda. Dalam huruf Latin itu ada namanya masing-masing, seperti Roman, Arial, Courier, Old English, dsb. Dalam aksara Sunda font itu diambil dari nomor yang dibuat Holle dan ditambah dengan nomor lontar di Museum dsb. Nomor yang dibuat KF. Holle untuk aksara Sunda (West Java) ialah nomor 77 hingga 109 (jadi ada 33 wanda aksara Sunda atau font aksara Sunda); ditambah dengan yang tak termasuk nomor Holle, dari Lontar di Museum Jakarta sebanyak 94 buku; di antaranya lontar 406 Carita Parahiyangan, lontar 410 Carita Ratu pakuan, lontar 424 Donga Panikah Kawin, lontar 630 Siksa Kanda Ng Karesian, lontar 632 Amanat Galunggung dan seterusnya. Belum lagi naskah-naskah yang tersebar di masyarakat atau di tempat lainnya. Font yang ada dalam koleksi Yayasan Dayanata Antarnusa selain 33 jenis dari KF. Holle, ditambah dengan 21 font dari lontar Ciburuy (yang kami beri nomor sendiri, ialah nomor : 1, 5, 6, 7, 9, 11, 14, 16, 17a, 17b, 17c, 18, 22a, 22b, 23a, 23b, 25, 27, 28a, 28b, 29, dan angka lontar nomor 2.)
Jadi sebenarnya aksara Sunda itu banyak sekali. Wanda aksara Ha-na-ca-ra-ka (Cacarakan), dalam perkembangan serta pendekatan kesamaan sehingga akhirnya menjadi wanda aksara yang kemudian dibakukan dan diresmikan oleh Sultan Agung II dari Mataram, pada tanggal 1 Muharam Tahun Alip 1555 pada hari Jumat manis/ legi Kulawu, wuku masa Prangbakat, masa wuku Kasanga. Tanggal tersebut bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 1043 H atau 08 Juli 1633 M. Sejak itu aksara Cacarakan diresmikan dan dianggap sebagai aksara Jawa, begitu pula dengan penetapan kelender Jawa yang menjadi awal tahun Mataram ! Kenapa hal itu terjadi? Sebab aksara Sunda Cacarakan merupakan aksara pasaran (Lingua franca dalam bahasa) yang dipergunakan oleh para pedagang.
Maka melalui Aksara Sunda yang menyimpan berjuta makna dapat dijadikan perbendaharaan / inventarisir nilai-nilai., cipta, rasa, dan karsa manusia purba (atistis). Hal tersebut harus mampu memacu motivasi agar mengembangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, agar aktivitas dan pengabdiannya kepada masyarakat dapat sesuai dengan kandungan moral luhur tersebut.
Bertumpu pada fungsi pengajaran Aksara Sunda dalam meningkatkan proses penyadaran kembali, perlu adanya hal-hal yang diperhatikan :
1. latarbelakang sejarah aksara
2. pengetahuan jenis-jenis aksara
3. kecakapan dalam mengauasai aksara
4. alat bantu untuk memudahkan proses belajar (alat lainnya, seperti peso pangot, lontar, daluang, komputer , dan lain-lain).
5. Juga tak kurang pentingnya adalah kunjungan ke tempat-tempat / situs batu tulis / prasasti-prasasti, museum.
Kita perlu menciptakan suatu iklim kultural sejak tahap awal pendidikan yang akan mendorong generasi muda lebih mencintai budaya miliknya.
Kini, setelah sejarah terus berjalan hingga sampai ke abad milenium III ini, kesempatan untuk mengembangkan hal-hal yang berbentuk tradisi lebih terbuka, apalagi dengan dibantu alat yang cukup canggih seperti komputer sangat memudahkan kita untuk bergerak. Begitu pula dengan komputerisasi aksara Sunda (khususnya) dan aksara daerah lainnya yang ada di seluruh Nusantara ini dapat lebih mengembangkan ke arah yang lebih baik.
Mudah-mudahan melalui aksara Sunda ini dapat mewariskan nilai-nilai kepada generasi yang lebih muda (di depan kita), dan dengan jiwa yang sangat toleran, kita tidak dengan mudah memutus untaian sejarah dengan ‘keegoan’ kita sendiri, karena yang rugi adalah anak cucu kita.
Penulis ingin ingatkan kembali, apa yang tertera dalam Prasasti Kawali yang terakhir, (hasil pembacaan penulis sendiri) INI PERETIGAL NU ATISTI AYA MA NU NGEUSI DAYEUH IWEU ULAH BATÉNGA BISI KAKÉRÉH ‘Ini peninggalan orang berilmu, semoga ada masyarakat kota ini jangan banyak tingkah agar tidak celaka’
Cag !

DAFTAR PUSTAKA
•Atja, Drs. 1970. Ratu Pakuan Lembaga Kebudayaan dan Sejarah, Bandung
•-----------. 1988. Aksara Sunda nu Pernah Dipake jeung Nuliskeun Basa Sunda. Makalah pada Kongres Basa Sunda, Cipayung - Bogor.
•Ekadjati. Edi. S. 1980. Naskah Sunda : Eksistensi Isi dan Fungsi. Makalah Universitas Padjadjaran Bandung
•Sastramidjaja, Ali. 1991. Kala Ngider. Yayasan Dayanata Antarnusa. Bandung.
•Tim Penyusun. 1988. Kamus Umum Bahasa Indonesia Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka Jakarta.
•Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Gramedia. Jakarta.
•Kartakusumah, Richadiana. 1991. Anekaragam Bahasa Prasasti di Jawa Barat pada Abad ke-5 Masehi sampai Abad ke-16 Masehi. Tesis Pasca Sarjana yang tidak diterbitkan. Fakultas Pasca SarjanaUniversitas Indonesia.