Daerah bersejarah yang merupakan bagian wilayah sebuah kota, merupakan suatu kesatuan landcape yang harmonis dan membutuhkan peraturan dan undang-undang yang lebih khusus ketimbang peraturan untuk pemugaran sebuah istana, umpamanya. Persebaran lokasi dari benda bersejarah atau cagar alam, ruang lingkup, luas obyek, hubungan dan saling ketergantungan, serta terbaurnya dan penyesuaian terhadap kehidupan sekarang, adalah salah satu contoh dari situasi dan kondisi yang harus dipertimbangkan dalam membuat undang-undang dan peraturan tentang monumen atau tempat bersejarah.
Bandung Dalam Pencagaran
Membalik-balik lembaran Sejarah Kota Bandung, kita akan menjumpai fakta, bahwa Ibukota Parahiyangan ini, tergolong pelopor dalam masalah pencagaran (konservasi) alam dan budaya di Indonesia. Museum Alam Terbuka Sunda misalnya, jauh sebelum pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan apa yang disebut Monumenten Ordonantie Staatsblad No.238 Tahun 1931, yang selama ini menjadi acuan landasan hukum guna melindungi monumen dan bangunan bersejarah di tanah air, ternyata di Bandung sejak tahun 1917, telah didirikan Bandoengsche Committee Tot Natuurbescherming (Komite Bagi Perlindungan Alam Bandung). Komite ini pada mulanya diketuai oleh Dr.W.Dochters van Leeuwen, Direktur Kebun Raya Bogor, didukung oleh anggota pengurus lainnya, antara lain -- K.A.R.Bosscha “Sang Raja Teh Priangan”, F.W.R. Diemont, P.Holten dan wartawan Bandung, W.H. Hoogland. Dalam rangka menyelamatkan hutan perawan di perbukitan Dago (Bandung Utara) yang mulai digunduli penduduk untuk dijadikan lahan pesawahan, pihak Komite telah mengeluarkan dana sebesar 3.000 gulden, guna membebaskan kawasan tersebut. Tindakan itu dilandasi oleh hasil penelitian Dr. Isaac Groneman (1864), dokter pribadi Frans Wilhelm Junghuhn, yang menyatakan bahwa kawasan hutan perbukitan Dago tersebut banyak memiliki flora dan fauna yang unik dan langka. Seperti, jenis anggrek Microstylis Bandongensis dan Nervillea Aragona serta satwa, antara lain -- kancil, meong congkok (harimau kecil) dan lutung (Dr. Isaac Groneman, “Bladen uit het Dagboek van Een Indische Geneesher”, Batavia, 1874).
Dalam kegiatan “Komite bagi Perlindungan Alam Bandung” selanjutnya, ternyata pada hutan milik organisasi itu di perbukitan Dago, orang telah menemukan situs dan artefak peninggalan jaman prasejarah. Antara lain -- bengkel dan permukiman masyarakat purba, situs pemujaan megalitik, serta temuan berupa kapak, hulu tombak dan mata panah (paksi) yang semuanya terbuat dari batu obsidian (Haryoto Kunto, “Tempo Doeloe Cepat Berlalu”, Bandung, 1996).
Selain perkakas batu obsidian, di daerah Pakar (Dago Atas) ditemukan pecahan keramik-tembikar, gerabah jaman purba, juga cetakan tanah liat (terracotta) untuk mengecor kapak dan ujung tombak dari perunggu (bronzen gietvormen). Temuan perkakas dan benda-benda purba tersebut, sempat menarik minat penelitian para ahli, seperti -- Antropolog Dr. G.H.R. Von Koengswald (1935), geolog Dr. Van Bemmelen (1949) dan Dr. W. Rothpletz (1984). Dampak dari penemuan arkeologis yang sangat fantastis di perbukitan Dago tersebut, maka “Komite Bagi Perlindungan Alam Bandung” telah menentukan lahan miliknya menjadi “Soenda Openlucht Museum” (Museum Alam Terbuka Sunda). Dan sebuah bangunan tempat pertemuan komite, yang kemudian dikenal sebagai Dago Theehuis didirikan orang di Ujung Jalan Dago. Atas usaha komite di bawah pimpinan Dr. W.Docters van Leewen itu, beberapa benda bersejarah seperti -- arca, lingga dan yoni yang ditemukan oleh para sarjana Barat, seperti Junghuhn, Van Hoevel, Hoepermans, Brumund, Van Kinsbergen dan Veth di kawasan Tatar Priangan, sebagian dikumpulkan di Pendopo Kawedanaan Cicalengka, di pekarangan rumah Residen Priangan (kini Gedong Pakuan) dan di rumah seorang dokter di Jl. Cihampelas Bandung. Semenjak jaman kemerdekaan, benda-benda bersejarah tersebut telah raib dari tempat penyimpanannya. Namun yang jelas, Bandoengsche Committee tot Natuurbescherming yang didirikan di Kota Bandung pada tahun 1917 itu, tercatat sebagai organisasi awal yang ikut melestarikan benda cagar budaya, bernilai sejarah, sebelum lahirnya Monumenten Ordonantie (MO) No. 238 Tahun 1931.
Pelestarian Bangunan dan Monumen Bersejarah di Bandung
Rumah sebagai tempat tinggal, merupakan bangunan yang diciptakan untuk kenyamanan manusia sebagai penghuninya. Namun, rumah tidak hanya sebagai bangunan saja yang berfungsi sebagai tempat tinggal, melainkan rumah adalah sebuah produk seni yang dapat dilihat dari detail bangunan dan seni rumah itu sendiri, seni di sini adalah arsitektur atau tata bangun sebuah bangunan ‘rumah’. Rumah-rumah yang berarsitektur kuno, yang tersebar di setiap kota yang ada di Jawa Barat, baik itu pedesaan, kota kecamatan, kota kabupaten, maupun di kota propinsi, dapat mencerminkan perjalanan budaya dan sejarah arsitekturnya dan dapat diklasifikasikan tahun periode. Di samping itu menjadi ciri khas di daerahnya yang memperkaya khasanah budayanya. Sebuah bentuk rumah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, di antaranya, sejarah (tahun periode rumah itu dibangun), bentuk rumah (gaya atau style), bahan-bahan yang dipergunakan, detail rumah, dan bentuk kampung.
Pada tahun 1904, Pieter Andriaan Jacobus Moojen seorang arsitek Belanda generasi pertama datang bermukim di Kota Bandung. arsitek P.A.J. Moojen yang meninggal di Kota Den Haag pada tanggal 1 April 1955 dalam usia 75 tahun itu, merupakan orang yang membawa pengaruh langgam arsitektur Art Nouveau ke Indonesia. Bersama arsitek Zweedijk asal Surabaya, Moojen diberi tugas oleh pemerintah kolonial untuk merancang dan membangun Paviliun Hindia Belanda (Nusantara) pada World Fair (Pameran Dunia) di Paris tahun 1931. Untuk melaksanakan proyek World Fair di Paris itu, arsitek Moojen membawa sejumlah tukang dan pengrajin yang disertai lebih kurang 50 orang pengusaha pertokoan dari Bandung. Hubungan yang erat dan intensif antara Paris dan Bandung selama anjungan Nusantara dibangun di World Fair tahun 1930-1931 itu, pada akhirnya menebar pengaruh warna nuansa Eropa ke Kota Bandung. Sehingga kota pegunungan di alam Priangan ini, kemudian terkenal dengan julukan “Paris van Java”.
Ada beberapa bangunan monumental karya cipta arsitek Moojen, baik itu di Bandung maupun di Jakarta. karya arsitektur Moojen di Jakarta antara lain, bangunan Bouwploeg (kini Mesjid Cut Mutiah) dan gedung Imigrasi Jakarta Pusat di Jl. Tengku Umar.
Apa yang perlu dicatat tentang karya jasa arsitek P.A.J. Moojen adalah inisiatif beliau untuk mendirikan Gebouw Nederlandsch Indische Kunstkring pada tahun 1912, yakni sebuah lembaga masyarakat yang bergerak dalam upaya pelestarian bangunan-bangunan arsitektur lama bersejarah, beserta karya seni bermutu di Indonesia. Atas upaya dan desakan P.A.J. Moojen inilah, kemudian pihak Gubernur Jenderal atau pemerintah kolonial Belanda menurunkan Monumenten Ordanantie Staatsblad No. 238 Tahun 1931 (Harian, “AID de Preanger bode”, Bandung, 20 April 1955).
Sungguh ironis sekali nasib arsitek senior P.A.J. Moojen, di satu sisi ia menjadi pelopor pelestari bangunan bersejarah di Indonesia, namun justru sebagian besar karya cipta arsitekturnya di Kota Bandung ini hilang musnah digusur orang.
Selama dua dasa warsa terakhir ini, pandangan dan pengertian masyarakat tentang warisan budaya lama telah banyak berubah. Dari konsep lama yang hanya memandang dan memusatkan perhatian kepada benda sejarah dan cagar alam ukuran besar dan tergolong skala dunia (The world heritage sites), serta memiliki nilai tinggi dipandang dari segi -- keindahan estetika, segi arsitektur, usia lama (kekunoan), langka dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Kemudian orang mulai menyadari, betapapun kecil dan sederhananya benda warisan sejarah, pada hakekatnya merupakan karya (produk) sejarah yang penting mewakili jamannya, terlepas apakah tempat kedudukan cagar budaya tersebut terletak di jalan desa atau kota yang terpencil. Pandangan yang telah berubah itu tersirat sebagai berikut :
Article of the International Charter for Concervation and Restoration of Monuments and Sites, June 1964 : “It declares that the nation of historic monument comprises an isolated arcitectural work as well as the urban or rural site bearing witness to a particular cicilization, a significant development or a historic event and that it embrances not only archicultural masterpieces but also lesser works that have acquires a cultural significance with the passage time”.
Akibat dari perkembangan konsep baru terhadap pelaksanaan pemugaran itu, maka banyak peraturan dan perundangan-undangan mengenai monumen yang harus direvisi serta disempurnakan lagi, termasuk di Bandung ini.
Manfaat yang dirasakan dalam pelestarian ini adalah :
· Objek pariwisata
Bangunan berarsitektur lama dan menjadi ciri untuk menentukan tahun periode perkembangan arsitektur di Jawa Barat, dapat dijadikan sebagai sumber objek wisata yang dapat menghasilkan devbisa bagi daerahnya.
· Objek penelitian dari berbagai disiplin ilmu
Bangunan-bangunan yang tersebar di beberapa lingkung / pelosok kota adalah sumber ilmu pengetahuan yang dapat dijadikan objek penelitian bagi perkembangan dari berbagai disiplin ilmu, baik itu untuk ilmu sejarah; bagaimana dan sejak kapan arsitektur itu berkembang di daerah ini, atau dengan bangunana itu dapat berbicara tentang lingkup sejarah pada masa itu hingga sekarang. Karena bangunan merupakan tinggalan yang sangat berharga sebagai tinggalan sejarah yang ada.
· Sumber devisa yang dapat menambah pendapatan daerah
Dengan banyaknya tinggalan bangunan yang bersejarah di daerah tertentu, dapat menjadikan sebagai objek wisata yang menyedot para wisatawan yang pada akhirnya dapat menambah devisa. Untuk meningkatnya ketertarikan para wisatawan itu, penataan dan pemeliharaan kembali bangunan-bangunan bersejarah perlu dilestarikan dan dikembangkan, malah dengan adanya sedikit catatan mengenai sejarah bangunan itu akan sangat menarik perhatian orang.
· Pengayaan budaya daerah setempat
Bangunan-bangunan kuno yang ada berarsitektur indah dapat dijadikan asset bagi daerahnya dan manjadikan ciri mandiri kota itu sendiri, sehingga sebuah kota yang euyeub ‘penuh’ dengan bangunan kuno yang terpelihara dengan baik adalah cermin budaya masyarakatnya. Yang sekaligus pula menjadi ciri kebanggaan daerah setempat. Karena bangunan sejarah itu adalah sumber sejarah yang dapat dan mampu berbicara apa adanya sesuai dengan perjalanan waktu.
Pelestarian
· Pemberian subsidi dana dari pemerintah dalam pemeliharaan dalam keseharian
· Adanya undang-undang pelestarian yang tidak hanya formalitas saja, melainkan menjadi suatu penentu kebijakan yang benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik, tanpa kecuali.
· Begitu pula dengan adanya perhatian dari pemerintah dalam pengelolaan bangunan itu sendiri, jangan sampai sebuah bangunan terlantar karena dengan alasan dana atau alasan politis lainnya.
Aneh sekali, dahulu orang Belanda sangat memperhatiklan daerah KBU ‘Kawasan Bandung Utara’ ini sebagai daerah cagar alam dan cagar budaya Bandung, kini hilang tak berbekas. Dewasa ini KBU menjadi ajang perebutan investor, karena KBU merupakan daeran yang strategis untuk dibangun. Namun tidak melihat akibatnya yang panjang, Bandung akan hancur ekosistemnya bila KBU dirusak secara sporadis. Gubernur di sini sebagai pembuat keputusan harus mampu bertindak tegas bagi siapa saja yang melanggar daerah tersebut.
Sekarang, Bandung sudah tak ramah lagi pada tinggalan budayanya, di satu pihak, untuk melindunginya banyak lahir peraturan yang menjanjikan. Namun di pihak lain Dinas Tata Ruang seakan membutakan diri dalam pembangunan Bandung. Bila kita nyawang ka tukang, Bandung pelopor dalam pencagaran, namun kenyataannya kini, Bandung pelopor pula dalam perusakan cagar budaya. Mungkin ada benarnya bahwa lahirnya sebuah peraturan atau hukum itu biasanya untuk dilanggar.
Mohon infonya apakah Bapak memiliki buku Haryoto Kunto, “Tempo Doeloe Cepat Berlalu”, Bandung, 1996).?
BalasHapus