Rabu, 31 Maret 2010

CITARUM : Dulu dan Kini

Nandang Rusnandar, 27 Juni 2008. (Belantara)

Citarum Purba dan Asal-usulnya.

Citarum adalah nama sebuah sungai besar dan panjang di daerah Jawa Barat, panjangnya (± 225 kilometer). Ia berhulu di Cisanti, lereng Gunung Wayang – salah satu anak Gunung Malabar – daerah Bandung Selatan. Alurnya mengikuti cekungan Bandung ke arah utara, merayap memasuki beberapa kabupaten yang ada di Jawa Barat seperti Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Karawang, kemudian ia bermuara di Laut Jawa, tepatnya di daerah Ujung Karawang.

Seacara etimologis, Citarum berasal dari dua kata, yaitu ci dan tarum ‘Marsedenia tinctoria’. Dalam bahasa Sunda ‘Ci’ merupakan singkatan dari cai berarti air. Tarum yang disebut juga nila adalah jenis tanaman areuy. Tanaman itu biasa dijadikan bahan celup (pewarna yang berwarna ungu/violet), untuk warna dasar kain.

Ada pendapat bahwa nama Citarum berkaitan dengan nama kerajaan tertua di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara.Menurut naskah Wangsakerta, pusat kerajaan itu terletak di daerah tepi sungai yang kemudian disebut Citarum. Kerajaan Tarumanagara terletak di sebuah dusun yang dibangun oleh Maharesi Jayasinghawarman.(tahun 348 M.). Beberapa tahun kemudian, dusun itu berkembang menjadi kerajaan yang diberi nama Tarumanagara, dengan ibukota kerajaan diberi nama Jayasinghapura.

Berdasarkan data geologi, sebelum daerah Jawa Barat dihuni oleh manusia prasejarah, sungai yang kemudian disebut Citarum sudah ada. Pada zaman purba – Zaman Holosen (± 6000 tahun sM.) – aliran Citarum di daerah Cimeta (Padalarang) tersumbat oleh lahar dari letusan Gunung Sunda. Lama-kelamaan air sungai itu merendam daerah sangat luas, yaitu dari daerah Padalarang sampai dengan Cicalengka (± 30 km) dan dari Lembang (lereng Gunung Tangkubanparahu) sampai dengan Soreang (± 50 km). Luas areal yang terendam lebih-kurang 150 kilometer persegi, yang kemudian menjadi "Danau Bandung Purba".

Fungsi Citarum

Dulu, Citarum memiliki berbagai fungsi penting bagi kehidupan manusia, pada zaman prasejarah, daerah tepian Citarum dihuni oleh manusia, terutama setelah mereka memiliki budaya tinggal menetap. Hal itu dibuktikan oleh peninggalan budaya pada situs-situs prasejarah yang ditemukan di tepian daerah aliran Citarum.

- Di Cibuaya daerah Karawang, ditemukan situs berisi artefak-artefak prasejarah (Zaman Neolitikum), berupa tembikar dan manik-manik, bahkan kerangka manusia, diduga kuat berasal dari ras Mongoloid.

- Manusia prasejarah umumnya memilih gua (Sunda: guha) untuk tempat menetap yang dekat dengan sumber air. Di Gua Pawon ditemukan beberapa artefak, pecahan gerabah, tulang binatang, cangkang siput, pecahan buah kenari dan lain-lain. Bukti itu menunjukkan bahwa Gua Pawon pernah menjadi hunian manusia prasejarah, karena memang gua itu berada di daerah aliran Citarum. Hal itu berarti pada zaman prasejarah, Citarum memiliki arti penting bagi kehidupan manusia, termasuk kegiatan menangkap ikan.

- Memasuksi zaman sejarah, Citarum makin penting artinya bagi berbagai kehidupan. Masyarakat Tarumanagara memiliki mata pencaharian terutama melalui kegiatan pertanian, menangkap ikan, serta perdagangan hasil pertanian dan berburu. Dalam kegiatan pertanian, Citarum menjadi pemasok air. Boleh jadi kegiatan penangkapan ikan pun terutama dilakukan di Citarum.

Untuk keperluan air di pusat kerajaan, Purnawarman raja Tarumanagara ketiga (395-434 M.), memerintahkan rakyatnya untuk membuat saluran air, yaitu kali Gomati dan Candrabhaga. Tentu saluran itu dihubungkan dengan Citarum, sehingga saluran air itu menjadi anak sungai Citarum. Purnawarman juga memerintahkan rakyatnya untuk memperbaiki, memperkuat dan memperdalam alur Citarum. Setelah pekerjaan itu selesai, dilaksanakan selamatan dan pemberian hadiah kepada para brahmana dan rakyat berupa 800 ekor sapi, 20 ekor kerbau, pakaian, makanan, dan lain-lain. Para brahmana kemudian memberkati Maharaja Purnawarman. Hal itu menunjukkan bahwa Citarum sangat penting artinya bagi kehidupan kerajaan dan masyarakat Tarumanagara. Pada sisi lain, perintah Purnawarman tersebut menunjukkan bahwa raja itu sangat memperhatikan Citarum sebagai "urat nadi" kerajaan. Oleh karena itu, setelah meninggal ia dipusarakan di tepi Citarum, sehingga ia mendapat julukan Sang Lumahing Tarumanadi (Yang dipusarakan di Citarum).

Fungsi lain dari Ciatrum tempo dulu, yaitu :

1. Batas wilayah dua Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Daerah sebelah barat Citarum tetap menjadi wilayah Kerajaan Sunda, sedangkan daerah sebelah timur sungai itu menjadi wilayah Kerajaan Galuh. Hal itu paling tidak berlangsung sampai dengan abad ke-15.

2. Sarana Transportasi masyarakat Kerajaan Sunda dan Galuh, yang menghubungkan daerah pesisir dengan daerah pedalaman.

3. Batas wilayah Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten (abad ke-15 hingga abad ke-19). Daerah sebelah barat Citarum merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Banten. Daerah sebelah timur sungai itu menjadi wilayah Kesultanan Cirebon.

4. Setelah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur berdiri, masing-masing pada sekitar pertengahan dan perempat ketiga abad ke-17, Citarum penting artinya bagi kehidupan masyarakat kedua kabupaten tersebut. Pemerintah Kabupaten Bandung bahkan memilih Krapyak (Citeureup) di tepian Citarum (dekat muara Sungai Citarik) sebagai ibukota kabupaten.

5. Pada zaman pendudukan Kolonial Belanda, Citarum menjadi alat transportasi untuk memasuki daerah ‘Kota Bandung’ karena sarana jalan darat transportasi melalui darat masih sulit dilakukan, karena belum adanya jalan yang memadai dan sebagai besar lahan darat masih berupa hutan belantara ("terra incognita"). Namun selama beberapa puluh tahun kondisinya masih berupa jalan tanah. Keadaan itu paling tidak berlangsung sampai dengan tahun 1870-an. Dan Jalan Raya Pos (Grote Postweg) dari Anyer sampai Panarukan yang dibangun pada awal abad ke-19 untuk jalan kereta pos.

Krapyak dipilih sebagai pusat pemerintahan kabupaten dengan dua alasan.

A. Waktu itu sebagian besar penduduk Bandung tinggal di daerah Bandung selatan. Sesuai dengan budaya lama, boleh jadi waktu itu di daerah aliran Citarum berderet pemukiman penduduk, karena sungai itu merupakan bagian penting dari kehidupan penduduk, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk kepentingan pertanian.

B. Citarum penting artinya sebagai prasarana transportasi, baik bagi para pejabat kabupaten maupun bagi penduduk. Tempat-tempat tertentu di sepanjang sungai itu, seperti di Dayeuhkolot, Margahayu, Bayabang, Cihea, dan lain-lain, dijadikan tempat pemberhentian paruh dan/atau penyeberangan. Di tempat-tempat penyeberangan disediakan parahu bandungan (dua perahu dipasang sejajar dan digandengkan) atau rakit untuk menyeberangkan orang dan barang.

Oleh karena itu pada beberapa abad yang lalu, Citarum sangat diperhatian dan kondisinya dipelihara, baik oleh pemerintah kabupaten maupun oleh warga masyarakat yang daerahnya dilalui oleh sungai itu. Pada abad ke-17, Kompeni selaku aparat VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), gabungan perusahaan dagang Belanda di Hindia Timur, memfungsikan Citarum untuk kegiatan ekonomi dan pertahanan. Waktu itu, di muara Citarum, yaitu di Tanjungpura, Kompeni membangun pelabuhan dan benteng cukup besar.

Pemeliharaan Citarum pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-19, dilakukan oleh Bupati yang dalam waktu tertentu selalu mengadakan rekreasi dengan acara menangkap ikan di suatu leuwi tertentu dan berburu rusa di hutan tertentu. Perburuan dilakukan oleh sejumlah pamatang (ahli berburu). Mereka menggiring rusa ke dekat panggung. Bila bupati berkenan, ia membidik rusak dengan panah atau tombak. Hak istimewa bupati berburu di hutan, menyebabkan rakyat tidak berani merambah hutan. Bahkan rakyat menyebut hutan tempat bupati berburu sebagai "leuweung larangan" ("hutan tutupan").

Dalam memelihara alur sungai dari kelestarian serta menjaga air sungai dari pencemaran, dilakukan karena adanya kewajiban rakyat dalam pancen diensten (kewajiban bekerja untuk kepentingan penguasa pribumi, khususnya bupati) adalah memelihara sungai, baik diperintah atau pun tidak oleh bupati.

Waktu itu sebagian lahan hutan hanya dibuka untuk pemukiman sejumlah kecil penduduk dan lahan pertanian (huma). Tidak terjadi perusakkan hutan, apalagi penggundulan hutan. Oleh karena itu, sebagian besar hutan menjadi lestari. Kelestarian hutan menyebabkan alur Citarum tidak terganggu oleh longsoran hutan. Kedua hak istimewa bupati tersebut, sepintas terkesan menunjukkan sikap feodal bupati. Namun sesungguhnya kedua hak istimewa itu merupakan "bungkus" kearifan bupati untuk memelihara dan melestarikan sungai dan hutan dan menghibur rakyat yang sedang berada di alam penjajahan.

Pada abad ke-19 pihak kolonial pun menjadikan Citarum sebagai prasarana transportasi, dalam pengangkutan hasil perkebunan Hasil perkebunan yang khusus diangkut melalui Citarum adalah biji kopi. Buah kopi dari daerah Priangan hasil dari Preangerstelsel (sistem penanaman wajib di Priangan) diangkut melalui Citarum ke pelabuhan di pantai utara Jawa Barat. Waktu kembali, perahu-perahu itu mengangkut garam. Dalam kegiatan itu, Cikao (daerah Purwakarta) menjadi pelabuhan sungai. Sementara itu, orang-orang kolonial pengusaha perkebunan turut pula menjaga kelestarian hutan, sebab bila hutan rusak, perkebunan mereka akan terganggu.

Kearifan-kearifan tersebut membawa dampak positif bagi Citarum. Walaupun setiap musim hujan, Citarum selalu menimbulkan banjir, tetapi banjir Citarum tempo dulu tidak terberitakan mengakibatkan penderitaan berat bagi warga masyarakat setempat, apalagi menelan korban jiwa manusia. Hal itu disebabkan pemerintah dan warga masyarakat memperhatikan dan memelihara alur sungai serta hutan di daerah aliran Citarum. Dampak negatif dari banjir Citarum tempo dulu yang terberitakan dalam berbagai sumber, adalah berjangkitnya wabah penyakit, seperti penyakit kulit (gatal-gatal), diare, dan malaria.

Banjir dari Citarum yang terjadi setiap musim hujan, merupakan salah satu faktor yang mendorong Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II (1794 – 1829) memindahkan ibukota kabupaten dari Krapyak ke daerah Kabupaten Bandung bagian tengah (pusat kota Bandung sekarang). Peristiwa itu terjadi pada awal abad ke-19. Ibukota baru itu diberi nama Bandung yang diremiskan tanggal 25 September 1810. Sejak tahun 1998 tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.

Fungsi Citarum sebagai prasarana transportasi menjadi berkurang, setelah di daerah Jawa Barat berlangsung transportasi kereta api. Pembangunan sarana transportasi itu dilakukan secara bertahap antara tahun 1878 sampai dengan tahun 1911, dari daerah Batavia sampai dengan Cilacap. Sekalipun sudah ada transportasi kereta api, Citarum tetap berfungsi sebagai prasarana transportasi, paling tidak sebagai tempat penyeberangan. Hal itu berlangsung sampai sekarang.

Kini, dalam perjalanan sejarahnya, Citarum bukan hanya berfungsi sebagai pemasok air unuk pertanian, tetapi air sungai itu berfungsi pula sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA), setelah terlebih dahulu dibangun bendungan (waduk) di beberapa tempat. PLTA dimaksud adalah PLTA Plengan, PLTA Lamajang, PLTA Cikalong di daerah Kabupaten Bandung, dibangun antara tahun 1917-1925, PLTA Jatiluhur (1965), PLTA Saguling (1985-1986), dan PLTA Cirata (1988). Tiga PLTA yang disebut terakhir bukan hanya pemasok tenaga listrik bagi daerah Jawa Barat, tetapi untuk seluruh Pulau Jawa dan Bali .

Namun sangat disayangkan, keberadaan beberapa PLTA itu terkesan tidak sejalan dengan pemeliharaan kondisi air Citarum di luar bendungan-bendungan tersebut. Sekarang air sungai itu tidak lagi dapat dimanfaatkan secara langsung untuk kehidupan manusia, seperti tempo dulu, karena air sungai sudah sangat tercemar oleh sampah dari rumah tangga dan limbah pabrik. Hal itu terjadi akibat dari kearifan-kearifan tempo dulu mengenai pemeliharaan Citarum, lupa dan hilang, sehingga kini kearifan itu perlu untuk direnungkan kembali dalam membuat kebijakan untuk menangani masalah Citarum zaman sekarang.

Perubahan kondisi Citarum menyebabkan terjadinya perubahan sosial, khususnya pola kehidupan sosial dan ekonomi warga masyarakat di daerah aliran Citarum. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila masalah Citarum diteliti secara komprehensif dari berbagai disiplin keilmuan.

Beberapa kearifan tradisional masyarakat sekitar bantaran Citarum dalam bentuk UGA yang mengkaitkan Citarum dalam prediksi dan antisipatif dalam menghadapi perubahan fenomena alam :

1 Engké lamun nu bisa ngabendung Citarum, Bandung jadi kota kembang heurin ku tangtung.

2 Mangké mun Citarum dicukangan ku layon, mangké alam baris ancur

3 Mangké mun Cisangkuy numpakan Citarum, Bandung baris heurin ku tangtung

4 Mimiti ti Cikonéng, kaduana Pangadegan, katiluna Cibuni Soréang, kaopatna Citarum, kalimana Cilaki….. jaga mah cai sagelas dijual sa100 juta.

5 Jaga Bandung bakal heurin ku tangtung, cirina Citarum ruksak

6. Jaga Citarum tina hérang jadi kiruh, tah citarum kiruh aya soang di girang, nu geulis geruh bakal kasorang alamna, tah kieu alamna : nu bener di salahkeun nu salah dibenerkeun

7. Jaga Curug Jompong moal bisa nyurug, bakal aya tambakan gedé atawa darmaga ti tungtung wates Cililin nepikeun ka wates Cianjur

Ketujuh UGA di atas lahir jauh sebelum pembangunan yang sekarang terjadi, namun teropongan Karuhun Sunda sudah mampu melihat apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang (kini dan nanti). Untuk itu generasi kini harus mampu memaknai UGA itu demi keselamatan dan kesejahteraan hidup dengan menjaga alam sekeliling kita. Perkiraan Karuhun sudah cukup jelas tersurat dalam UGA tersebut, kini mari maknai dan jadikan UGA tersebut pedoman dalam menata kehidupan yang lebih baik.

“nanti pabila ada orang yang mampu membendung Citarum, Bandung akan menjadi Kota Kembang heurin ku tangtung ’sesak penduduknya’

Melihat fenomena yang terjadi, kini citarum sudah dibendung Saguling dan Cirata untuk dijadikan pembangkit tenaga listrik. Jelas Bandung menjadi Kota ‘Kembang’ dan heurin ku tangtung ‘sesak penduduknya’. Antisipasinya harus menjadikan Bandung sebagai kota yang teratur, tata ruang yang sesuai dengan peruntukkan, jangan semrawut seperti sekarang ini. Uga ini sudah terjadi, namun antisipatif ke arah pengembangan Bandung menjadi kota yang tidak heurin ku tangtung tidak diperhatikan bahkan diabaikan.

Sumber :

Asmar, Teguh et al. 1975. Sejarah Jawa Barat Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung : Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan. Propinsi Jawa Barat.

Ayatrohaedi. 2005. Sundakala; Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon . Jakarta : Pustaka Jaya.

Brahmanto, Budi. 2006. "Dari Cisanti ke Curug Jompong". Pikiran Rakyat, 24 Maret.

Danasasmita, Saleh et al. 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Jilid II. Bandung : Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

Ensiklopedi Indonesia. tth. Edisi Khusus. Jilid 2, Jakarta : Ichtiar Baru.

Hardjasaputra, A. Sobana. 2002. Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906. Disertasi. Depok: Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

--------. 2004. "Bupati di Priangan; Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke-19. Sundalana 3: 9-65. Bandung : Pusat Studi Sunda

“Cai“

Nandang Rusnandar

Jawa Barat selalu dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim halodo .'kemarau' dan musim ngijih 'penghujan', apabila musim ngijih, air subur di mana-mana Suatu kenyataan bahwa di Jawa Barat tidak sedikit nama daerah yang berhubungan dengan air atau dalam bahasa sunda disebut “ci”, ranca, bojong, dan tanjung,.– Namun dewasa ini hutan yang lebat dan subur menjadi hutan gundul oleh banyaknya ilegalloging dari orang-orang serakah, maka banjir dan longsor pun tak terhindarkan yang berakibat sangat menyengsarakan rakyat kecil di desa-desa--.
Nama-nama tempat dapat diartikan bahwa daerahnya sangat subur dan manusianya pun tak lepas dari alam sekitar. Nama Ci.., ranca, bojong, dan tanjung merupakan gambaran manusia Sunda khususnya dan Jawa Barat umumnya. Nama tempat dapat menunjukkan kecenderungan bahwa berlimpahnya air sangat mempengaruhi sikap dan perilaku hidupnya, tak lepas dari alam sekitar.

Dalam ilmu bahasa ada yang disebut onomastika, yaitu ilmu yang menyelidiki asal-usul dan arti nama. Salah satu cabang onomastika adalah toponimi, yaitu ilmu yang menyelidiki nama-nama tempat. Di seluruh pelosok Jawa Barat Mulai dari Kabupaten Ciamis di paling timur Jawa Barat hingga ke Ujung Kulon di sebelah barat Jawa Barat, Pantai selatan hingga pantai utara Jawa Barat, hampir di setiap pelosok selalu ada nama-nama daerah yang sebagai ciri bumi berhubungan dengan wilayah yang berair atau yang berhubungan erat dengan air di sekelilingnya. Nama-nama daerah yang berhubungan dengan wilayah yang berair itu, seperti : Situ, ‘telaga’, Ranca, Empang ‘rawa’ , bojong ‘tanjung’ daerah atau tanah yang menjorok ke air. Kita lihat nama-nama daerah yang ada di Jawa Barat, Babakansitu, Situsaeur, Situ Gede, Rancameong, Rancabadak, Rancakalong, Rancakaso, Empangsari, Tanjunglaya, Tanjung, Tanjungsari, Bojongkokosan, Bojongmenje, Bojongnangka, Bojongsalak, dsb. Begitu pula dengan daerah yang berawal dengan Ci, seperti di daerah Panjalu, Cibubuhan, Cikole, Cipanjalu, Cibeureum, Cinagari, Ciramping, Cilangkung, Cigorowek, Cihujung, Ciater, Ci… dan Ci lainnya. Bahkan ada nama kampung yang bernama Kampung Bahara yang memiliki arti “air” pula.

Air atau “cai” dalam bahasa Sunda berarti kahirupan, hirup “kehidupan”. Cai dalam tataran fislosofis dapat bermakna sebagai sesuatu yang memberikan kekuatan dalam kehidupan ini. Cai disimboliasasikan oleh Mama Mei Kartawinata dalam bukunya Pepeling (Tanpa tahun), sebagai sesuatu daya bagi kehidupan manusia. Manusia, tercipta oleh empat unsur sajatining hurip, yaitu : Cai “air”, Seuneu “api”, Taneuh “tanah”, dan Angin. Jadi manusa teh untung/ dikersakeun ku Hyang Widi/ diwarugaan ku opat dulur/ sakulit sadaging/ balung sungsum jeung nafasna/ KAMA NUSA estu asli //. “Manusia itu beruntung/ diberi kekuatan oleh Yang Widi/ dalam wujud empat unsur/ bercampur dalam kulit dan daging/ tulang dan sungsum begitu juga dengan nafasnya/ KAMA NUSA itu asli //

Hal itu tercermin dalam pupuh kinanti seperti di bawah ini :

Eta mah Cai ti gunung, asal ti sa’ab jaladri, peuting sumawonan beurang, estu henteu pisan cicing, gawena neangan jalan, Perjalanan geusan balik// Ngocor nyukcruk-nyukcruk gunung, nyusukan malipir pasir/ sakur lebak kaeusian/ balong sumur kitu deui/ tegal kebon pasawahan/ mawatna patani mukti// Nagara ge jadi subur/ hurip abdi waras nagri/ pangeusi alam sarehat/ sato hewan kitu deui/ kokotor ge diberesihan/ lantaran jasa ki Cai// Kitu kersaning Hyang Agung/ jembarna nu Maha Suci/ Cai maju ka lautan/ sajajalan jeung babagi/ tapi bet taya beakna/ matak heran mun dipikir // Kapan nu jolna ti gunung/ Cai netesna saeutik/ lumaku neangan jalan/ di jalan bari babagi/ taya nu teu kabagian/ jeung sesana teu saeutik// Ari geus deukeut ka laut/ matak gila nu ningali/ risi sieun ku gedena/ aworna laut jeung Cai/ nya dingaranan sagara/ Cai geus pulih ka jati// Tapi dasar Cai hirup/ sanajan geus di jaladri/ taya eureunna ngiriman/ saabna nyaian deui/ samalah reujeung nguyahan/ ka sakabeh abdi Gusti// Sangkan maranut ka rasul/ baroga rasa sajati/ ngersakeun ka sasama/ daek silih beuli ati/ sangkan pada salametna/ ulah pisan hiri dengki// Kapan manusa teh luhung/ piraku eleh ku Cai/ sanajan pinter carita/ taya gunana saeutik/ lamun teu reujeung buktina/ matak bosen anu nyaksi// Abdi Gusti ngucap NUHUN/ ka Cai nu mawa hurip/ ka Uyah nu mawa rasa/ sanajan mawa birahi/ jeung mawa nafsu sawiah/ nikmat mun reujeung pamilih //

Artinya :

Air itu berasal dari gunung/ dari uap lautan asalnya/ malam maupun siang/ tidak pernah diam/ untuk mencari jalan/ Perjalanan jalan untuk pulang/ Mengalir menyusuri gunung, menjadi parit menyusuri bukit/ semua lembah terisi/ begitu pula empang dan sumur/ kebun dan pesawahan/ membuat petani menjadi makmur/ Negara pun subur/ rakyat sejahtra negara aman/ sehat seisi jagat/ begitupun hewan/ semua yang kotor dibersihkan/ itulah jasanya Air/ Begitulah kehendak Hyang Agung/ Akbarnya Yang Maha Suci/ Air mengalir ke lautan/ memberi sepanjang jalan/ tapi tak pernah habis/ membuat heran bila dipikir// Padahal datang dari gunung/ hanya air setetes/ bergerak mencari jalan/ sambil memberi di sepanjang jalan/ tiada yang tak terbagi/ dan sisanya tidak sedikit/ Ketika dekat ke laut/ membuat getir yang melihatnya/ takut karena luasnya/ berpadunya laut dan air/ itulah namanya lautan/ air kembali ke asal/ Tapi sifat air itu hidup/ meskipun sudah di lautan/ tiada henti memberi/ uapnya memberi air kembali/ malah sambil memberi “garam”/ kepada semua hamba Gusti/Agar tunduk kepada rasul/ memiliki rasa sejati/ berbuat baik kepada sesama/ saling menghargai/ agar semua selamat/ jangan berbuat dengki / Manusia itu berakal/ masa kalah sama air/ meskipun pandai bicara/ sedikit pun tak ada gunanya/ bila tidak ada bukti/ menimbulkan rasa bosan bagi yang melihatnya/ Ya Gusti, hamba berterimakasih/ kepada air yang memberikan kehidupan/ kepada garam yang memberi rasa/ walaupun membawa birahi/ dan nafsu sawiah/ terasa nikmat bila dengan hasil pilihan/

Untuk pemberian nama sebuah tempat, karuhun kita dahulu selalu dikaitkan dengan ciri bumi daerah setempat, di mana nama itu sangat bermakna bagi penduduknya sendiri, sehingga nama adalah ciri mandiri yang tak dapat dipisahkan dengan cara dan ciri kehidupannya sendiri. Namun kini pemberian sebuah tempat sangat tidak berarti dan tidak jelas makna yang dikandungnya, asal terdengar bagus di telinga, maka jadilah nama itu untuk suatu daerah. Padalah, bila kita telusuri nama sebuah daerah sangat memudahkan untuk ditelusuri latar belakang sejarah dan budayanya.

Sebuah penamaan tempat, dapat kita lihat dalam sebuah syair di bawah :

Tumurun ti Cibubuhan / Teluk bango desa deui / Cibeureum anu kasampeur /di Cikole eureun deui// Hujung Tiwu nu kapencil / Catena tutuan gunung / cat man cat ka Pasir Putat/ Cinagari eureun deui // Mipir minggir tebeh kidul situ lengkong /pasanggrahan desa tuan /mudun ka Wawarung pari /marariuk (Mariuk) pasawahan ///…….. dst.

Artinya :

Mulai turun dari Cibubuhan/ Sampai di Teluk Bango/ Cibeureum terlewati/ Berhenti di Cikole/ Hujungtiwu yang terpencil/ Catena dikaki gunung/ Agak ke atas ke Pasir Putat/ Berhenti lagi di Cinagari/ Menyusuri bnagian selatan Situ Lengkong/ Pesanggrahan desa tuan/ Turun ke Wawarungpari/ Mariuk tempat pesawahan// /…../ dst

Air dalam paribahasa Sunda

Pindah cai pindah tampian, “Bisa membawa diri”, siga cai jeung minyak, “Selalu bertengkar” , siga cai dina daun taleus, “Tidak berbekas”, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak“ Kebersamaan / rukun”

Air dan kepercayaan masyarakat terhadap makhluk halus sebagai penghuninya

Sekitar Rawa Lakbok Pulau Majeti, Ciamis, masyarakat mempercayai adanya suatu kehidupan alam gaib (Siluman yang disebut Onom). Makhluk gaib ini digambarkan memiliki kehikdupan yang sama dengan manusia, seperti kebutuhan untuyk makan, minum, berkeluarga dan kebutuhan akan hibuaran. Oleh karena itu banyak onom yang kadang-kadang memasuki keramaian masyarakat manusia, seperti belanja ke pasar, nonton, naik kendaraan dan lain sebagainya.

Ada sekelumit cerita bahwa seorang dalang pernah diundang ke alam gaib tersebut. Ketika pulang dalang tersebut diantar sampai ke suatu tempat tertentu dengan syarat janga melirik / menoleh ke belakang. Jika dilanggar maka akan terjadi sesuatu, misalnya keindahan alam yang terlihat sebelumnya akan berubah menjadi hutan belantara. Begitu juga dengan uang atau pemberian makanan akan berubah menjadi daunt kering dan tanah.

Orang-orang Ciamis, apabila mengadakan upacara adat arak-arakan sunatan selalu menyediakan seekor kuda tunggang tanpa penunggang, konon menurut keperecayaan mereka, kuda itu ditunggangi oleh onom. Atau masyarakat percaya bila suatu hari perabotannya (alat-alat dapur) tiba-tiba hilang, misalnya ketel, serok, cowet, ulekan ‘mutu’ hihid, itu dipinjam oleh masyarakat onom yang sedang mengadakan hajatan. Suatu hari perabotan tersebut akan kembali dengan sendirinya.

Air dan Upacara

Secara filosofis, hubungan antara air “Cai” dengan Upacara Nyangku yang dilakukan di Nusa dan Bumi Alit, dapat diartikan pensucian diri. Bumi alit merupakan perlambang badan manusia itu sendiri, sedangkan perkakas atau barang pusaka itu sebagai perlambang dari alat-alat panca indra yang ada pada tubuh manusia. Nah apabila disucikan kembali maka harus dilaksanakan di “NU-SA”, artinya “ (“Nu” dalam bahasa Sunda artinya : yang; dan “SA” artinya satu). Jadi Arti secara keseluruhan pelaksanaan Nyangku (membersihkan pusaka) itu adalah membersihkan diri dari semua kotoran yang selama ini melekat pada diri, sehingga manusia yang telah dibersihkan kotorannya dapat menjadi NUSArasa, NUSAjati, NUSAbangsa, NUSAagama, dan sebagainya.

KEARIFAN EKOLOGIS KARUHUN SUNDA MELALUI UGA TANAH (C)AWISAN [1]

Nandang Rusnandar

Uga bagi masyarakat Sunda, merupakan salah satu bentuk pengungkapan prediksi antisipatif dari generasi karuhun untuk dipedomani mengenai kejadian-kejadian pada masa yang akan datang. Uga Bandung secara khusus dan uga Sunda secara umum banyak yang mengutarakan mengenai bagaimana pentingnya memelihara lingkungan hidup. Orang Baduy di daerah Banten misalnya mempunyai suaka pemujaan yang disebut Sasakadomas dan tempat-tempat yang dianggap suci lainnya. Menurut kepercayaannya tempat suci itu merupakan sasaka pusaka buana yang harus dijaga diraksa ‘harus dipelihara dan dijaga’ dari kerusakan. Demikian pula dengan tanah cawisan yang dianggap suci ini harus dijaga dari kerusakan alam. Hal itu pun terlihat pula di Kampung Adat Dukuh di Garut Selatan, di sana ada lokasi tanah cawisan yang dianggap suci dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang.

Uga yang menyatakan akibat dari sebuah perbuatan dan pada akhirnya alam menjadi korban, termasuk manusia di dalamnya, sehingga mereka semua menuju suatu tempat yang telah dicawiskeun ‘diperuntukkan’, dapat dilihat pada uga di bawah ini,

  1. Bandung téh bakal kakeueum, bakal pindah ka tegal harendong.
  2. Jaga Bandung bakal jadi sagara, ngarungsina ka tegal haréndong. Tegal haréndong téh leuweung panyampayan. Petana téh ti Cipelah bras ka Citambur anjog ka hiji leuweung, tah éta tegal haréndong.
  3. Jaga Bandung bakal kakeueum, sabeulah urang Bandung ka kidul bagéanana ka Gunung Cikuray, sabeulahna ka kalér, bagéanana ka Gunung Tangkubanparahu

Uga di atas menunjukkan adanya akibat yang ditimbulkan ketika Bandung mengalami perubahan, dari kota menjadi kakeueum air atau menjadi lautan. Penduduk Bandung akan mengungsi atau pindah tempat menuju ke tempat yang telah ditentukan, Tegal Haréndong, Gunung Cikuray untuk penduduk Bandung Selatan sedangkan Gunung Tangkubanparahu untuk penduduk Bandung Utara. Tegal Haréndong adalah suatu tempat yang letaknya sangat samar, hanya disebutkan berada di sebuah hutan panyampayan di daerah Citambur.

  1. Di mana manusa teu merhatikeun Cikapundung, Pasir Buniwangi jeung Pasir Négla, bakal urug, tuluy mangpet ngabendung wahangan. Jeung dimana ngemplangna nepi Maribaya Cibodas, nu ngabendung tuluy bedah, Bandung kaléléd, kakeueum ; laju Bandung jadi talaga deui.

Uga di atas menyatakan Bandung akan mengalami kejadian perubahan alam yang mengakibatkan Bandung menjadi kakeueum, talaga ‘terendam air, dan telaga’, diakibatkan oleh keserakahan manusia yang berada di kota Bandung tanpa melihat akibat yang ditimbulkan di kemudian hari. Makna dari kata kakeueum dan talaga dapat menunjukkan makna konotatif dan denotatif, yaitu sesak oleh manusia, keadaan semacam itu mengakibatkan kota Bandung diibaratkan sebagai lautan, atau akibat dari perbuatan yang tidak bertanggungjawab dan melupakan kearifan lokal, maka Bandung menjadi kakeueum dan talaga, seperti dalam Uga /4/ bagi manusia yang tidak lagi memerhatikan Cikapundung dan Citarum maka akibatnya banjir di mana-mana, maka ada kemungkinan Bandung akan menjadi telaga kembali.

Uga lain yang masih senada,

5 Urang Bandung mah bakal ka tegal haréndong (ceuk riwayat di daérah pakidulan Pangaléngan, di dinya aya nu disebut Tegal Bandung, cawisan keur urang Bandung. (dipelakan ku urang pangaléngan tara jadi)

6 Di daérah Subang aya cabé panayogian nu geus tumoké (tos badé asak), Urang Bandung lumpat ka Tegal Bandung atawa Tegal Layapan di Subang. Bandung heurin ku tangtung

Setiap uga lokal memiliki obsesi sebagai orientasi tempat yang akan berkembang sesuai dengan perkembangan daerahnya, uga di atas misalnya, menggambarkan perkembangan di daerah yang ditandai dengan adanya daerah (c)awisan atau daerah peruntukkan yang ditentukan dalam uga itu sendiri. Dan apabila uga menjadi kenyataan bahwa Bandung menjadi lautan, maka ada korelasi antara kegiatan manusia yang merusak alam Bandung dengan hasil yang diakibatkannya, kemudian mereka akan pindah ke tempat yang sudah ditentukan dalam uga, seperti Tegal Harendong, Tegal Bandung, dan Tegal Layapan.

Kerarifan yang tertuang dalam uga dapat berfungsi sebagai antisipatif. Seperti daerah cawisan yang dianggap sebagai tempat yang disakralkan, maka akan membantu masyarakat setempat untuk menjadikan salah satu daerah konservasi alam sehingga tidak merusak dan mengeksploitasinya. Di samping itu uga pun dapat menjadi sarana pemberitahuan dan perhatian untuk berbuat waspada akan kehancuran alam yang disebabkan oleh ulah manusia.

Kearifan lokal yang terlupakan disebabkan oleh :

- Kurangnya minat para pemuda akan tradisi

- Sistem Pendidikan yang lebih mementingkan materi daripada nilai-nilai

- Orang tua yang tidak lagi mentransformasikan nilai-nilai tradisi

- Gaya hidup orang kota lebih banyak ditiru dan mereka melupakan tradisinya.

- Globalisasi informasi yang siap saji di depan meja mengubah sikap dan perilaku generasi muda untuk lebih melihat hal-hal yang berbau ‘modern’

Simpulan

Kita tidak terbiasa mengayun langkah antisipatif atas suatu fenomena alam, yang berakibat pada sebuah kejadian yang diprediksi uga. Bila upaya mengantisipasi itu tidak dilakukan secara sungguh-sungguh, prediksi uga akan terjadi dan menjadi kenyataan.

Seperti contoh dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kota Bandung atau rusaknya alam sulit untuk diatasi, tapi dapat diprediksi dengan memanfaatkan uga di satu pihak dan ilmu pengetahuan di pihak lain. Karena itu sangat diperlukan keseimbangan alam, eksploitasi alam tetap harus mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Adanya uga ini selayaknya dijadikan momentum untuk membiasakan langkah antisipatif ketimbang langkah reaktif. Apabila langkah reaktif yang temporal dan spasial, maka uga hanya merupakan sebuah ‘karya karuhun’ yang tidak berguna. Justru dengan adanya uga ini diharapkan para pembuat kebijakan membiasakan diri dengan langkah antisipatif. Sebab selama ini fenomena alam hanya dipahami sebagai sebuah kenyataan yang harus diterima begitu saja.

Harapan, antara pembuat kebijakan ‘pemerintah’ yang harus mampu mengungkap kearifan masyarakatnya dalam menghadapi fenomena alam ini, apalagi yang berhubungan dengan lingkungan alam. Begitu pula dengan para ahli yang menggeluti budaya harus mampu memberikan kontribusi pengetahuannya bagi pembuat kebijakan. Maka antara keduanya harus ada sinergitas, pemerintah harus memberikan peluang bagi para ahli dalam menekuni dan mengembangkan ilmunya demi pembangunan, sehingga pembangunan akan berbasis kearifan yang ditemukan oleh para ahli itu sendiri.



[1] Makalah dibacakan dalam [IA-ITB] Sarasehan Pemulihan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal tgl 28 Januari 2010 di Hotel Aston Jl. Braga Bandung.

NILAI BUDAYA DALAM MASYARAKAT TRADISIONAL

Nandang Rusnandar

Dalam menghadapi era globalisasi yang terus menggilas masyarakat dunia ini, maka perlu pengkajian kebudayaan secara konfrehensif. Globalisasi telah menjadi fenomena ekonomi, politik, dan budaya, tulis John Micklethwait ‘2007 : 23’ A Future The Challenge and Hidden Promise of Globalization. Kata Globalisasi mulai mendapat makna tambahan mistis, setiap orang menyebutnya tapi tidak ada yang mendefinisikannya. Bagi pemimpin Asia, globalisasi artinya dominasi Amerika. Dalam sejarah kontemporer, kita dapat menyaksikan berbagai kasus anomi sosial dan aleinasi kultural dengan segala konsekuensinya, sehingga terjadi disorientasi norma dan nilai. Sebagai solusi hal tersebut di atas, universalisme ilmu pengetahuan dan teknologi tidak perlu memudarkan kesadaran sejatinya identitas; aleinasi dari kesejatian diri sendiri adalah awal dari satu perubahan yang akhirnya bisa menjadi tanpa arah dan bahkan bebas nilai.

Pembangunan adalah suatu gerakan yang berorientasi pada nilai-nilai “value-oriented movement’. Di sini mengapa Budaya Penting? Dapat dirumuskan bahwa pembangunan, menimbulkan pergeseran budaya, tata nilai, adat istiadat, dan perubahan lain dari ciri mandiri kehidupan masyarakat. Bagi para budayawan atau ilmuwan bertitik tolak pada pemikiran yang menyatakan bahwa peninggalan masa lalu merupakan warisan yang tak ternilai harganya, maka semua bentuk peninggalan harus dilestarikan demi memperkaya dan memperkokoh khasanah budaya. Slogan yang disarankan oleh Timothy Ash, yaitu “Think global, act local” seharusnya paradigma berfikirnya dibalik “think local, act global’ saat ini sudah sama pentingnya. Bahwa budaya lokal harus menjadi primadona dalam menghadapi tantangan globalisasi dan keterpurukan yang diakibatkan olehnya, sehingga manusia tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri.

Nilai-nilai yang menjadi ciri identitas suatu budaya ‘genus lokal’ akan berkaitan erat dengan otentisitas perilaku / visi hidup masyarakat pendukung budaya lokal tersebut. Nilai-nilai kearifan lokal perlu disiasati secepatnya dan diaktualisasikan dalam kehidupan keseharian, agar nilai-nilai tadi tidak hanya sebatas knowledge atau kanyaho ‘pengetahuan’ saja.

Pentingnya memahami ‘nilai-nilai budaya’ sebagai energi sosial yang mendorong kreativitas dan inovasi masyarakat. Hal itu disebabkan ‘nilai budaya’ secara kokoh membentuk kinerja politik, ekonomi, dan sosial suatu bangsa. Upaya ilmiah untuk memahami dan memanfaatkan nilai-nilai budaya tersebut mutlak diperlukan oleh semua insan : budayawan, birokrat, dan semua unsur adalah : Revitalisasasi ‘dihidupkan lagi dan didorong agar tumbuh dan berkembang’; Reaktualisasi ‘dihidupkan kembali dengan ‘miindung ka usum mibapa ka jaman’; Revisi ‘disesuaikan dari tujuan semula’; Restrukturisasi ‘dimodifikasi agar sesuai dengan jamannya’; Fill In ‘diisi dengan nilai-nilai baru’; Inovasi ‘adanya kreatfitas budayawan agar lebih menarik’; Kreasi ‘membuat kreasi baru yang sesuai dengan daerahnya’; Delete ‘adanya penghapusan nilai-nilai yang tidak sesuai’

Ketika perubahan jaman terjadi karena desakan dan kebutuhan, maka pola pikir manusia pun berubah sesuai dengan kebutuhan yang dihadapinya. Di sini ada paradigma baru bersifat kedirian yang tercerabut dari akar budayanya. Begitu pula dengan pola pikir manusia yang diwujudkan dalam tradisi, dengan adanya perubahan yang mengglobal, maka tradisi itu pun selalu berubah pula.

Perwujudan tradisi yang diterapkan masyarakat selalu berkaitan dengan alam sekitar, karena hukum alam adalah hukum Tuhan yang sangat dipatuhinya, sehingga ketika manusia akan bersentuhan dengan alam, mereka sadar akan dirinya dan Tuhannya. Hubungan harmonis ini selalu dilestarikan dengan sikap dan gaya hidupnya. Dari sinilah lahir norma dan falsafah hidup yang arif bijaksana yang sadar akan kelangsungan generasinya. Kesadaran itu diterapkan dalam menjaga dan menghormati alamnya.

Sabtu, 16 Januari 2010

Orang Sunda : Siapakah Dia ?

Oleh : Nandang Rusnandar

Banyak teori yang mengatakan bahwa manusia Sunda berasal dari daerah lain, seperti datang dari tanah Yunan. Migrasi manusia purba masuk ke wilayah Nusantara terjadi para rentang waktu antara 100.000 sampai 160.000 tahun yang lalu sebagai bagian dari migrasi manusia purba "out of Africa". Ras Austolomelanesia (Papua) memasuki kawasan ini ketika masih bergabung dengan daratan Asia kemudian bergerak ke timur, sisa tengkoraknya ditemukan di gua Braholo (Yogyakarata), gua Babi dan gua Niah (Kalimantan). Selanjutnya kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi, perpindahan besar-besaran masuk ke kepulauan Nusantara (migrasi) dilakukan oleh ras Austronesia dari Yunan dan mereka menjadi nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara bagian barat. Mereka datang dalam 2 gelombang kedatangan yaitu sekitar tahun 2.500 SM dan 1.500 SM (Wikipedia, 2009).
Bila melihat peninggalan yang ada di Kota Bandung sekitar 120.000 tahun yang lalu, khususnya di daerah Pakar, bermula dari hasil penelitian van Bemmelen, terbukti bahwa manusia Sunda yang ada pada waktu itu sudah sangat mengenal dan menguasai metalurgi untuk membuat anak tombak yang terbuat dari beberapa campuran besi, alat ’cor’ tersebut masih tersimpan baik di Museum geologi Bandung. Bahkan nenek moyang ini telah memiliki peradaban yang cukup baik, paham cara bertani yang lebih baik, ilmu pelayaran bahkan astronomi. Juga sudah memiliki sistem tata pemerintahan sederhana serta memiliki pemimpin (Tri Tangtu : Ratu, Rama, Resi).
Teori migrasi yang mengatakan bahwa manusia Sunda (Nusantara) berasal dari Yunan ditentang oleh dua teori, pertama Teori Harry Truman dan Ario Santos, teori ini menentang teori migrasi Austronesia dari Yunan dan India. Teori ini mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Austronesia berasal dari dataran Sunda-Land yang tenggelam pada zaman es (Pleistosen). Populasi ini peradabannya sudah maju, mereka bermigrasi hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban. Pendapat ini diperkuat oleh Umar Anggara Jenny, yang melihat dari sudut perkembangan bahasa, ia mengatakan bahwa Austronesia sebagai rumpun bahasa merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang. Pendapat Umar Anggara Jenny dan Harry Truman tentang sebaran dan pengaruh bahasa dan bangsa Austronesia ini juga dibenarkan oleh Abdul Hadi WM (Samantho, 2009).
Teori awal peradaban manusia berada di dataran Paparan Sunda (Sunda-Land) juga dikemukan pula oleh Santos (2005). Santos menerapkan analisis filologis (ilmu kebahasaan), antropologis dan arkeologis. Hasil analisis dari reflief bangunan dan artefak bersejarah seperti piramida di Mesir, kuil-kuil suci peninggalan peradaban Maya dan Aztec, peninggalan peradaban Mohenjodaro dan Harrapa, serta analisis geografis (seperti luas wilayah, iklim, sumberdaya alam, gunung berapi, dan cara bertani) menunjukkan bahwa sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun Santos menyimpulkan bahwa Sunda Land merupakan pusat peradaban yang maju ribuan tahun silam yang dikenal dengan Benua Atlantis. Dari kedua teori tentang asal usul manusia yang mendiami Nusantara ini, benua Sunda-Land merupakan benang merahnya. Pendekatan analisis filologis, antropologis dan arkeologis dari kerajaan Nusantara kuno serta analisis hubungan keterkaitan satu dengan lainnya kemungkinan besar akan menyingkap kegelapan masa lalu Nusantara.
Kepulauan Nusantara telah melintasi sejarah berabad-abad lamanya. Sejarah Nusantara ini dapat dikelompokkan menjadi lima fase, yaitu zaman pra sejarah, zaman Hindu/Budha, zaman Islam, zaman Kolonial, dan zaman kemerdekaan. Kalau dirunut perjalanan sejarah tersebut zaman kemerdekaan, kolonial, dan zaman Islam mempunyai bukti sejarah yang jelas dan tidak perlu diperdebatkan. Zaman Hindu/Budha juga telah ditemukan bukti sejarah walaupun tidak sejelas zaman setelahnya. Zaman sebelum Hindu/Budha masih dalam teka-teki besar, maka untuk menjawab ketidakjelasan ini dapat dilakukan dengan analisa keterkaitan berbagai tinggalan yang ada.
Benua Sunda-Land merupakan benang merah, pendekatan analisis filologis, antropologis dan arkeologis dari kerajaan Sunda kuno akan menyingkap kegelapan masa lalu kita.
 Kerajaan Salakanegara, Pandeglang Banten, tahun 120 M,
Kerajaan Salakanagara (Salaka=Perak) atau Rajatapura termasuk kerajaan Hindu. Ceritanya atau sumbernya tercantum pada Naskah Wangsakerta. Kerajaan ini dibangun tahun 120 Masehi yang terletak di pantai Teluk Lada (Sekarang wilayah Kabupaten Pandeglang, Banten). Raja pertamanya yaitu Aki Tirem yang duturunkan kepada Dewawarman yang memiliki gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Rakja Gapura Sagara yang memerintah sampai tahun 168 M.
Kota Perak ini sebelumnya diperintah oleh tokoh Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya atau Aki Tirem, waktu itu kota ini namanya Pulasari. Aki Tirem menikahkan putrinya yang bernama Pohaci Larasati dengan Dewawarman. Dewawarman ini sebenarnya Pangeran yang asalnya dari negri Palawa di India Selatan. Daerah kekuasaan kerajaan ini meliputi semua pesisir selat Sunda yaitu pesisir Pandeglang, Banten ke arah timur sampai Agrabintapura (Gunung Padang, Cianjur), juga sampai selat Sunda hingga Krakatau atau Apuynusa (Nusa api) dan sampai pesisir selatan Swarnabumi (pulau Sumatra). Ada juga dugaan bahwa kota Argyre yang ditemukannya Claudius Ptolemalus tahun 150 M itu kota Perak atau Salakanagara ini. Dalam berita Cina dari dinasti Han, ada catatan dari raja Tiao-Pien (Tiao=Dewa, Pien=Warman) dari kerajaan Yehtiao atau Jawa, mengirim utusan/duta ke Cina tahun 132 M.

 Kerajaan Sunda, Jawa Barat, Tahun 669 M,
 Kerajaan Sunda Galuh, Jawa Barat Tahun 735 M,
 Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat, Tahun 923 M,
 Kerajaan Panjalu Ciamis (Kawali), Gunung Sawal, Jawa Barat, tahun abad ke 13 M,
 Kerajaan Sumedang Larang, Sumedang Jawa Barat, 1521 M,
 Kesultanan Banten, Banten, Tahun 1524,
 Kesultanan Cirebon, Cirebon, Tahun 1527 M,

Disarikan dari : “ATLANTIS NUSANTARA” ANTARA CERITA DAN FAKTA (Sebuah Hipotesa Lokasi Awal Peradaban di Indonesia)

Minggu, 10 Januari 2010

Pelantikan Raja-raja Sunda

Oleh : Nandang Rusnandar
Pernyataan bahwa benarkah cacarakan berasal dari Jawa dan bahkan orang Sunda hanya 10 % ikut ‘berjasa’ merekayasanya sehingga terwujud aksara Sunda yang disebut Cacarakan ? Dan benarkah bahwa aksara Sunda merupakan perkembangan dari aksara India ? Hal itu perlu untuk penelitian yang lebih lanjut, yang mungkin bahwa kita tidak terlalu tergesa-gesa memvonis bahwa Sunda tidak punya bentuk tulisan.

Aksara Sunda yang berjumlah 18 (secara alfabetis) itu adalah merupakan rangkaian kata-kata yang diucapkan oleh maha raja dalam pengambilan sumpah raja-raja. Kata-kata tersebut diucapkan dalam pelantikan raja-raja yang diangkat oleh maha raja sebagai berikut: Raga lapa yaha // Maca data jasa // baka nyanga wana. Pengertian dari kata-kata yang diucapkan oleh sang Maha Raja itu adalah :


Raga
berarti badan,
lapa
‘teu daya teu upaya’ (tak berdaya dan tak berkemampuan),
yaha
‘sumerah ka Nu Maha Kawasa’(pasrah kepada Yang Maha Kuasa),
maca
‘nitenan / nalungtik’ (atensi),
data
‘catetan laku lampah /paripolah’ (catatan perbuatan),
jasa
‘padamelan sae’ (perbuatan baik),
wana
‘pamandangan alam / leuweung endah’ (lingkungan yang indah),
nyanga ‘ajangan / bagean / pikeun’ (peruntukkan),

baka
‘jaga satutasna palastra’ (alam baka).

Arti yang sebenarnya adalah : Badan yang tidak berdaya upaya ini berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, beratensi untuk membuat catatan perilaku yang baik terhadap diri, masyarakat dan alam sekitar untuk kebaikan di kemudian hari di alam setelah kematian.


Kata-kata Raga lapa yaha // Maca data jasa // baka nyanga wana ini memang mengakomodir dari seluruh Alfabetis aksara hanacaraka, dan kata-kata di atas merupakan ucapan sumpah seorang raja yang dilantik oleh seorang maha raja.


Aksara Sunda yang kemudian berkembang dari alfabetis di atas dituliskan di atas bahan-bahan yang dipergunakan dalam menuliskan aksara tersebut bermacam-macam disesuiakan dengan bentuk atau gaya tulisannya, yaitu:

Bentuk aksara Sunda dalam batu ditulis mempergunakan gorésan

Bentuk aksara Sunda dalam lontar ditulis mempergunakan péso pangot

Bentuk aksara Sunda dalam lontar ditulis mempergunakan geutah ‘getah’

Bentuk aksara Sunda dalam awi / bambu atau kai/kayu ditulis mempergunakan péso

Bentuk aksara Sunda dalam awi/ bambu atau kai/kayu ditulis disungging

Bentuk aksara Sunda dalam besi/tambaga ditulis mempergunakan paku / tungtung péso’ujung pisau’

Bentuk aksara Sunda dalam daluwang ditulis mempergunakan tinta atau sari buah

Bentuk aksara Sunda dalam kertas ditulis mempergunakan tinta / sari buah

Bentuk aksara Sunda dalam kertas ditulis mempergunakan citakan / dicitak

Bentuk aksara Sunda dalam kertas ditulis mempergunakan komputer


ADA APA DI DAGO PAKAR ?

Oleh : Nandang Rusnandar

Di Pakar Dago, kira-kira 120.000 tahun yang lalu, Bandung Utara, telah ada pemukiman manusia purba. Kenyataan ini diperkuat dengan hasil beberapa penemuan berupa artefak-artefak, seperti Batu kapak dari bahan obsidian, anak panah (basi campuran) dan peralatan batu lainnya. Ternyata manusia Sunda Purba, sudah tinggi budayanya.


Untuk membuat mata anak panah ini, ternyata manusia purba Sunda pada jaman itu sudah mempergunakan sistem percampuran (cor). Bahan-bahan mineralnya seperti silika amorf yang pada saat ini banyak ditemukan di daerah dataran Tinggi Bandung. Sistem percampuran mineral ini terlihat dari penemuan cetakan senjata (mata anak panah) terbuat dari perunggu.


Pakar yang jauhnya kira-kira 5 km dari pusat kota Bandung, merupakan pemukiman manusia pra sejarah, yang jauh lebih tua dari kerajaan Syailendra di Jawa tengah atau bahkan dengan manusia purba yang ada di sangiran. Nama PAKAR berasal dari PAKARANG ‘senjata’, karena mungkin dahulunya merupakan ‘pabrik senjata manusia purba’. Di tempat ini kini dijadikan musium tanaman langka (Hutan Ir. Juanda). Di Pakar ini pula terapat gua peninggalan belanda dan Jepang. Gua-gua ini dibangun di dalam endapan lahar gunung TANGKUBANPARAHU yang sudah padat. Dahulu gua-gua ini dijadikan gudang senjata pula oleh Belanda dan Jepang dan sekaligus kubu pertahanan. Kini PAKAR menjadi daerah wisata yang dapat dikunjungi untuk rekreasi melepas lelah pada hari minggu dan hari-hari libur lainnya.

Seratu dua puluh ribu Tahun yang Lalu Orang Berperahu di atas Bandung

Oleh : Nandang Rusnandar

Menurut sumber geologi, Bandung pada jaman dahulu, 120.000 tahun yang lalu merupakan sebuah danau raksasa yang membentang dari ujung timur (Ujung Berung) hingga ujung barat (batas kota banadung sekarang). Pada saat Dataran Tinggi Bandung masih berupa danau ini, permukaan airnya setinggi 725 m di atas permukaan air laut. Di sekitarnya sudah ada pemukiman manusia.
Meskipun hidup pada jaman pra sejarah, tetapi hasil budayanya banyak ditemukan, misalnya berupa kapak batu, mata anak panah (terbuat dari campuran metalurgi) dan peralatan batu lainnya, alat cetatakan ‘teracota’ metalurgi tersebut ditemukan dalam keadaan utuh, semuanya masih disimpan di Musium Geologi Bandung Jl. Dipenogoro. Semua hasil budaya itu ditemukan di daerah Bandung Utara (Sekitar daerah Pakar sekarang, pakar dalam bahasa Sunda berarti pakarang ‘senjata’). Untuk bahan-bahan mentah membuat kapak batu yang bahannya dari batu Obsidian, manusia purba mencarinya sampai ke daerah Nagreg atau Kendan karena di sini pusatnya.
Nah untuk mencapai daerah tersebut, manusia puirba berperahu melintasi kota Bandung sekarang, karena ini jalan yang dianggap paling aman, dekat, dan murah. Apabila lewat darat, mereka harus turun naik bukit, terlebih lagi serangan dan ancaman dari binatang buas yang masih mengintai di mana-mana.
Dari pemukimannya (di daerah Pakar- Dago) barangkali sekitar seratus dua puluh ribu tahun yang lalu mereka berperahu, -- mungkin saja mereka melewati atap Gedung Sate (Gedung gubernur sekarang), atap RRI, bahkan gedung Musium geologi yang kini menyimpan barang-barang peninggalannya -- Sebab walaupun setinggi 30 meter gedung-gedung tersebut, tetapi masih terendam air danau yang kira-kira mencapai kedalaman 50 meter.
Percaya atau tida itu bukti sejarah !

Jumat, 08 Januari 2010

Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Sawah Kabupaten Bekasi

Oleh: nandang rusnandar

Kampung Sawah yang terletak di Kabupaten Bekasi, merupakan sebuah kampung yang boleh dikatakan kampung ‘buferzone’ antara Ibukota Jakarta dengan wilayah sekitarnya. Hal tersebut mengakibatkan adanya pengaruh terhadap sistem mata pencaharian masyarakat sekitar. Apabila masyarakat Jawa Barat yang berada di daerah memiliki ciri mata pencaharian yang homogen, maka bagi masyarakat Kampung Sawah yang berada di daerah buferzone tersebut, diferensiasi dalam mata pencahariannya sudah berkembang, sehingga tidak lagi homogen, heterogenitas matapencaharian mulai nampak di daerah ini. Hildred Geertz menghubungkan jenis mata pencaharian dengan komposisi sosial, komposisi tersebut adalah ‘the urban elite’, yang terdiri atas kalangan diplomatik, penguasaha baik asing maupun pribumi; kemudian mereka yang disebut ‘the urban middle class’ yaitu yang terdiri atas kalangan pegawai menengah, pamongpraja, guru dan anggota tentara, dan yang terakhir disebut ‘the urban proletariat’ yang terdiri atas golongan buruh, pembantu rumah tangga, tukang beca, pedagang kecil, dan lain-lain. Melihat dari komposisi sosial sesuai dengan mata pencaharian penduduk Kampung Sawah termasuk ke dalam The urban Proletariat’. Namun Hildred Geertz sendiri tidak secara spesifik mengemukakan tentang klasifikasi ataupun komposisi sosial mata pancaharian masyarakat desa, ia hanya menulis “most villages are therefore fairly homogeneous both in economics condition and in general outlook” (1964 :23).
Perkembangan jaman yang cukup panjang dan berlanjut secara kontinu, menjadikan manusia tetap bertahan hidup. Proses perkembangan yang cukup panjang ini, secara hipotesis merupakan usaha manusia dalam mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan dalam mempertahankan hidup manusia di jaman dahulu pada sebuah komunitas yang masih sederhana, dilakukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan saja. Berbeda dengan komunitas yang lebih maju, mereka mencoba di samping untuk memenuhi kebutuhan juga untuk disimpan dan atau ditukar dengan barang lain demi memenuhi kebutuhan benda lainnya. Jadi tidak saja benda yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang bersifat primer, melainkan dapat pula dijadikan atau ditukarkan dengan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan yang bersifat skunder.
Pada awalnya, mata pencaharian hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mengalami beberapa proses, dimulai dengan berburu, kemudian meramu dan pada akhirnya bercocok tanam. Menurut beberapa ahli, perkembangan mata pencaharian dari berburu, meramu kemudian menjadi bercocok tanam merupakan suatu peristiwa besar dalam proses perkembangan kebudayaan manusia (Adimihardja, dalam Ekadjati, 1980 : 166). Sedangkan Kuntjaraningrat antara lain mengemukakan, sejak manusia timbul di muka bumi ini, kira-kira 1 juta tahun lalu, ia hidup dari berburu, sedangkan baru kira-kira 10000 tahun yang lalu ia mulai bercocok tanam. Rupanya bercocok tanam tidak terjadi sekonyong-konyong, tetapi kepandaian itu timbul dengan berangsur-angsur di berbagai tempat di dunia. Mungkin usaha bercocok tanam yang pertama merupakan aktivitas mempertahankan tumbuh-tumbuhan di tempat tertentu. Kemudian mengalami perkembangan (1967: 31-32) Sementara itu, Adiwilaga, mengemukakan, sangat boleh jadi perkembangan pertanian itu tidak sederhana seperti digambarkan dalam hipotesa ini. Lodwek Milk meminta perhatian bahwa sejak awal permulaan dari kehidupan manusia di muka bumi ini, ada dua kelompok manusia yang satu dengan yang lain berbeda cara hidupnya. Yang satu kelompok pada dasarnya mempunyai hakekat yang cenderung ke arah bercocok tanam, kelompok yang satu lagi, sama sekali tidak mempunyai kecenderungan untuk bercocok tanam, melainkan memelihara ternak dan mengembala ternak. (1975 :5).
Dari uraian di atas, dapat ditarik satu kesimpulan sederhana bahwa perkembangan sistem mata pencaharian ini merupakan perkembangan dari hal yang sederhana; berburu, meramu, kemudian bercocok tanam. Bercocok tanam ini pun tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui suatu proses perjalanan yang panjang dengan memerlukan pengalaman yang terus menerus. Dalam perkembangan selanjutnya, bercocok tanam pun mengalami perubahan yang mendasar, yaitu bercocok tanam di atas lahan basah dan lahan kering. Dewasa ini bercocok tanam di atas lahan basah kita kenal dengan sistem pertanian bersawah, sedangkan bercocok tanam di atas lahan kering kita kenal dengan berladang atau berkebun (huma, salah satu sistem pertanian padi yang dilakukan di atas lahan kering). Data lama yang menyatakan jumlah luas sawah di Pulau Jawa menyebutkan bahwa sekitar 3.848.000 ha, dan kurang lebih 1.162.811 ha berada di Jawa Barat (Adimihardja, dalam Ekadjati,1980 :171). Kini lahan persawahan tersebut semakin menyusut sesuai dengan perkembangan kebutuhan untuk peruntukkan perumahan dan lahan peruntukkan industri.
Jawa Barat memiliki iklim yang baik untuk kebutuhan bercocok tanam atau bertani, yaitu iklim tropis dengan dua musim yang sangat mempengaruhi terhadap pertanian. Dengan iklim ini pula Indonesia merupakan negara agraris dan salah satu wilayahnya yaitu Jawa Barat yang sangat subur, sehingga pertanian menjadi prioritas. Dan rakyatnya pun menjadikan pertanian adalah mata pencaharian utama.
Dalam kaitan dengan masalah mata pencaharian hidup masyarakat di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, Wertheim dalam ‘Indonesian Society in Transition’ membagi cara bercocok tanam masyarakat Indonesia menjadi tiga pola mata pencaharian utama, yaitu masyarakat pantai, masyarakat sawah, dan masyarakat ladang. (Adimihardja, dalam Ekadjati,1980 : 175). Apa yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sawah Desa Cikaregeman Kabupaten Bekasi Jawa Barat, dalam bermatapencahariannya, mereka melakukan beberapa cara yang sesuai dengan kondisi dan topografi daerahnya. Kehidupan utama masyarakat Kampung Sawah Desa Cikarageman Kabupaten Bekasi adalah bercocok tanam di sawah dan ladang. Hasil bercocok tanam padi di sawah dan di ladang (huma) tidak saja untuk dikonsumsi dalam kebutuhan keseharian, melainkan dijual kepada masyarakat lainnya. Begitu pula hasil pertanian pokok lainnya yaitu Cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan Laja ‘Alpinia Galanga’ dijual ke kota Malang dengan cara diambil oleh ‘Bos Cikur’ yang datang dalam waktu seminggu sekali. Sedangkan hasil palawija lainnya seperti kacang panjang, sereh, kacang tanah, hasail perkebunan lainnya buah tangkil dan daunnya dijual ke pasar-pasar yang ada di sekitar kota Bekasi sendiri dan pasar induk Kota Bogor dan pasar induk Kramat Jati Jakarta.
Mata pencaharian lainnya, seperti PNS, berdagang, membuat kursi dari bambu, penjahit, dan bahkan tujuan utama para pemuda Kampung Sawah yaitu sebagai buruh di pabrik-pabrik yang bertebaran di sekitar daerah Bekasi kota, Karawang, dan Kawasan Cikarang Lipo. Memang Kampung Sawah yang berada di Kabupaten Bekasi ini merupakan daerah yang berdekatan dengan kawasan industri yang sangat banyak memerlukan tenaga buruh. Pabrik-pabrik yang menjadi tujuan utama adalah pabrik semen, kertas, eletronik dan Astra group. Dengan banyaknya pabrik yang ada di sekitar Bekasi berdampak menyedot tenaga ke arah industri, sehingga para pemuda enggan untuk melakukan kegiatan pertanian, mereka lebih memilih jadi buruh di pabrik.
Sistem penggajian yang dilakukan oleh pabrik sedikit lebih menjanjikan karena disesuaikan dengan standar UMR Kota Bekasi, yaitu Rp. 1.016.000,00 setiap bulannya ditambah dengan uang makan, transport, dan tunjangann kesehatan. Maka dengan adanya sistem penggajian seperti ini, mereka beranggapan lebih baik menjadi buruh dibanding dengan petani. Ada motto yang mendukung mengapa mereka lebih baik mengambil menjadi buruh daripada petani. Bagi mereka, mending jadi buruh, teu aya rugina. Sepuh we nu tani mah ‘lebih baik jadi buruh, tidak ada ruginya. Orang tua saja yang menjadi petani’.
Para pengrajin tradisional yang membuat kerajinan kursi dan rak sepatu yang terbuat dari bambu hitam, mereka jual ke daerah Tangerang, Bogor, Jakarta dan perumahan di sekitar Kota Bekasi. Beberapa pengrajin yang mengerjakan kerajinan kursi ini merupakan home industri yang memperkerjakan buruh dari keluarga terdekat. Harga hasil kerajinan kursi males ‘kursi santai yang disimpan di bale-bale di depan rumah’ biasanya dapat dijual dengan harga Rp. 150.000,00 hingga Rp. 200.000,00. persatuannya, sedangkan rak sepatu dijual dengan harga Rp. 70.000,00 persatuannya Sementara bahan baku bambu hitam yang dahulu didapat di sekitar rumah dan kampung Sawah sendiri, sekarang ini sudah di’impor’ didatangkan dan dibeli dari luar kota seperti dari Sukabumi. Selain home industri pembuatan kerajinan kursi dan rak sepatu, mereka juga biasanya membuat berbagai anyaman, seperti anyaman samak ‘tikar’ yang terbuat dari daun pandan, yang banyak didapat di sekitar kampung Sawah sendiri. Anyaman lainnya yang juga menjadi komoditas yang dapat dijual ke luar daerah adalah anyaman susug ‘perangkap ikan’ dan anyaman alat-alat dapur lainnya. Hasil dari home industri ini dijual ke luar daerah, yaitu ke pasar-pasar tradisional di sekitar Kota Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Jakarta.

1. Sistem Sewa Tanah Garapan
Kagiatan ekonomi yang menjadi pekerjaan utama bagi masyarakat kampung Sawah Desa Cikarageman Kabupaten Bekasi adalah pertanian. Sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sawah ada dua macam, yaitu pertanian basah ‘sawah’ dan pertanian kering ‘ladang’. Hampir 90 % penduduk di daerah ini adalah petani, namun sangat disayangkan bahwa sistem kepemilikan tanah, sudah lepas kepada pengembang, sehingga penduduk di sini sudah tidak lagi memilikinya, mereka hanya sebagai penyewa. Lepasnya tanah milik penduduk itu terjadi pada masa-masa sebelum masa reformasi, pada waktu itu ada semacam agitasi terhadap masyarakat bahwa tanah yang ada di sekitar harus dijual, sehingga banyak masyarakat yang menjualnya dengan harga yang sangat murah. Akibatnya, kini masyarakat merasa sangat menyesal. Pada akhirnya mereka hanya menggarap tanah dari hasil sewa yang dilakukan kepada salah satu perusahaan yang menguasainya yaitu “PT. Wiguna”. Sebagai contoh salah satu informan yang menjual tanahnya pada waktu itu dihargai sangat murah, dengan hanya Rp. 11.000,00 permeternya, namun kini harga tanah di area itu harganya sangat melonjak yaitu Rp. 100.000,00 permeternya. Kejadian itu mengakibatkan masyarakat Cikarageman hanya sebagai penyewa yang sewaktu-waktu tanahnya dapat diambil oleh perusahaan dalam pengembangan perumahan dan pengembangan industri dan lain-lain.
Sistem sewa tanah garapan dilaksanakan dan diatur oleh aparat desa. Pengaturan ini dilaksanakan agar tidak terjadi perselisihan di antara masyarakat itu sendiri, sehingga setiap orang mendapat jatah yang merata. Memang pada awalnya, pembagian luas lahan garapan ini tidak merata, namun kemudian aparat desa menengahinya dan pada akhirnya dirata-ratakan menjadi 1000 m² untuk setiap orangnya. Ada juga warga masyarakat yang memiliki lebih dari luas yang ditentukan itu, hal tersebut disebabkan dia telah lebih dahulu menyewa lahan tersebut. Menurut beberapa informan yang ditemui, mereka menyewa tanah itu dengan harga yang telah ditentukan oleh desa dan mereka pun tidak tahu berapa pihak desa membayar kepada “PT. Wiguna”, harga sewa dalam satu tahun untuk luas lahan 1000 m² adalah sebesar Rp. 70.000,00. Mereka harus menyetor uang ke kas desa pada awal tahun penggarapan. Jumlah luas lahan setiap orangnya dalam menyewa lahan tergantung kepada kemampuan seseorang untuk membayarnya. Apabila seseorang yang ingin menambah luas lahan garapan harus ‘membeli’ dari penyewa lain yang mau melepaskan lahan garapannya. Namun dengan demikian seseorang enggan melepas lahannya yang telah disewanya itu.


2. Penggarapan Pertanian Lahan Basah ‘Sawah’
Menurut penuturan informan, mereka dapat menyewa tanah kurang lebih hampir sama dengan rata-rata penduduk yang ada di Kampung Sawah. Namun ada juga beberapa warga yang memiliki di atas rata-rata, hal tersebut dikarena ia telah terlebih dahulu menyewa kepada PT Wiguna, dan ini telah berlangsung beberapa waktu.
Masyarakat Kampung Sawah, masih merupakan masyarakat yang tradisional dalam menggarap sistem pertanian sawah. Dikatakan bahwa komoditas andalan menjadi sumber bahan makanan pokok menjadikan sebuah ketergantungan terhadap hasil pertanian tersebut. Padi adalah andalan utama yang dijadikan bahan pokok makanan keseharian tersebut. Pada kenyataannya tanaman padi ini dibudidayakan tiak saja di lahan basah atau di sawah, melainkan dibudidayakan di lahan kering ‘huma’ yang dalam pembudidayaannya dibarengkan dengan tanaman palawija.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa keterbatasan lahan menjadi kendala bagi masyarakat kampung Sawah, baik lahan basah ‘sawah’ dan lahan kering ‘ladang’ yang rata-rata minimal dimiliki sekitar 1.000 m² perorangnya. Kendala lainnya adalah pengolahan tanah masih sangat sederhana, tenaga buruh melibatkan tenaga kerja keluarga dekat atau buruh yang biasa ada di lingkungan kampungnya. Pembayaran untuk ongkos tenaga kerja ini memerlukan biaya yang cukup tinggi, ada dua mcam cara pembayaran tenaga kerja buruh sawah dan ladang ini yaitu (a) tenaga buruh lepas dibayar sebesar Rp. 50.000,00 perharinya, disebut tenaga buruh lepas ini disebabkan ia tidak menerima jatah makan ketika bekerja. dan (b) tenaga buruh biasa yang dibayar sebesar Rp. 30.000,00 perhari ditambah dengan makan dua kali (pagi sore), ngopi dua kali (pagi sore) dan rokok satu bungkus (biasanya rokok yang diberikan bermerk Minak Jinggo seharga Rp. 3.500,00, atau rokok Sampoerna seharga Rp. 7.000,00). Makanan kecil untuk ngopi yang diberikan pada waktu pagi hari biasanya terdiri atas makanan ringan seperti nasi ketan, kulub sampeu ‘ketela rebus’, kue-kue kecil. Ngopi pagi biasanya disuguhkan pada kira-kira pukul 10.00 pagi dan ngopi sore diberikan pada pukul 16.00 sore, dengan porsi yang berbeda, yaitu kue-kue kecil dengan air kopi. Sedangkan makan diberikan pada pagi hari seiktar pukul 08.00 pagi dan siang hari pada pukul 12.00 atau 13.00 siang hari.
Sudah sejak tahun 1960-an, pemerintah telah memperkenalkan varietas padi unggulan ditanam, namun masyarakat Kampung Sawah masih menanam padi unggulan jenis lokal, yaitu padi ‘Sadane dan CR’. Kedua jenis ini masih mendominasi penanaman padi bagi para petani yang ada. Sistem penanaman padi sudah dilakukan sebanyak tiga kali panen dalam setahunnya, hal itu menyebabkan penghasilan para petani dapat dianggap stabil. Namun ketika terjadi kelangkaan pupuk maka ongkos produksi meningkat, karena harga pupuk yang melambung tinggi. Solusi yang diperlukan oleh para petani dengan mempergunakan pupuk kandang atau istilahnya dengan ‘berak’. Harga berak pun cukupmahal yaitu Rp. 8.000 perkarungnya. Untuk memenuhi kebutuhan pupuk berak seluas lahan 1.000 m² diperlukan sebanyak 10 karung untuk sekali tanam.
Ongkos produksi yang diperlukan dalam pengolahan sawah dalam satu kali panen dapat diuraikan sebagai berikut,
(a) Buruh tenaga yang diperlukan sebanyak 10 hari kerja @ Rp. 50.000 = Rp.500.000,00
(b) Pupuk Berak 10 karung @ Rp. 8.000,00 = Rp. 80.000,00
Sedangkan penghasilan dalam satu tahun dengan panen tiga kali dapat dihitung :
(a) luas tanah garapan 1.000 m² rata-rata 5 kwintal padi. @ Rp. 300.000,00 = Rp. 1.500.000,00
(b) dalam satu tahun 3 kali panen @ Rp. 1.500.000,00 = Rp. 4.500.000,00.
Sedangkan penggarapan sawah kering ‘huma’ dilakukan di atas ladang yang penanamannya bersamaan dengan palawija. Padi huma tidak menjadi andalan masyarakat Kampung Sawah, tapi sudah menjadi suatu kebiasaan. Tidak seperti biasanya, ngahuma yang secara umum dilakukan oleh masyarakat Baduy di Provinsi Banten sangat berbeda dengan ngahuma yang di Kampung Sawah ini. Ngahuma di Banten dilakukan di sebuah ladang yang jauh dari tempat tinggal atau perkampungan, namun di Kampung Sawah ngahuma dilakukan di ladang yang berdekatan dengan rumah atau perkampungan. Ladang-ladang yang ada di sekitar perumahan dapat dijadikan huma yang disiangi dengan sistem palawija.

3. Komoditas Utama : Cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan Laja ‘Alpinia Galanga’
Penggarapan lahan kering ‘ladang’ yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sawah ini ditujukan pada komoditas tertentu saja, yaitu cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan laja ‘Alpinia Galanga’. Kedua tanaman ini merupakan komoditas utama yang ditanam pada lahan kering karena kedua jenis tanaman ini memberikan hasil yang secara ekonomis cukup signifikan sekali. Tanaman ini merupakan tanaman yang dapat dijual dengan harga yang tinggi.
Sama halnya dengan sistem penggarapan lahan basah atau sawah, sistem penggarapan lahan kering atau ladang pun dalam ‘kepemilikan’-nya dilakukan dengan sistem sewa lahan garapan minimal 1.000 m² perorang kepada pihak PT .Wiguna.
Lahan garapan ladang bisanya ditanami dengan jenis tanaman yang dijadikan komoditi unggulan, yaitu Cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan Laja ‘Alpinia Galanga’. Kedua jenis tanaman ini dijual ke luar daerah untuk dijadikan bahan baku jamu. Para bos cikur dari Kota Malang Jawa Timur dalam waktu yang secara periodik datang ke Kampung Sawah untuk membelinya. Dan para bos ini pula yang menentukan harga, sehingga para petani hanya menerimanya.
Tata cara para petani yang menggarap lahan kering untuk menanam cikur dan laja tahapannya dilakukan dengan cara pertama-tama, lahan dipacul ‘dicangkul’ maksudnya agar tanah menjadi gembur dan menjaga hara tanah. Setelah dicangkul dan digemburkan tanahnya, kemudian lahan dikamalirkeun, ‘membuat saluran air setiap jarak dua meter’ agar aliran air dapat menyebar dan merata ke seluruh bagian ladang. Tanah untuk menanam benih cikur kemudian digaritan ‘tanah yang akan ditanami, ditandai ditaur agar lurus dengan cara dari ujung satu ke ujung lainnya diberi garis lurus’. Kemudian petani menanamkan benih cikurnya di atas garis yang lurus tersebut, setelah itu di beri berak ‘pupuk kandang’ dan diurug dengan tanah secukupnya. Lama pengerjaan untuk lahan seluas 1.000 m² dari mulai mencangkul hingga menanam benih, biasanya dilakuan dalam waktu satu minggu dengan tenaga buruh sekitar 10 orang. Benih cikur yang diperlukan untuk lahn seluar 1000 m² kurang lebih 2,5 kuintal. Apabila Cikur tersebut dipanen dal;am waktu satu tahun, dari lahan seluas 1.000 m² dapat menghasilkan 1 ton cikur yang siap jual.
Strategi petani untuk meraup keuntungan yang lebih dan berlipat ganda, mereka biasanya tidak melakukan panen dalam jarak waktu satu tahun tanam, melainkan dengan jarak panen 2 tahun dari penananam. Caranya, ketika tanaman cikur telah berumur satu tahun, tidak langsung dipanen, melainkan cikur yang ada di urug kembali dan diberi pupuk berak, baru kemjudian setelah berumur dua tahun mereka akan memanennya. Hasil panennya akan melimpah dan berlipat ganda. Dari lahan seluas 1.000 m², dalam tahun pertama dapat menghasilkan 1 ton, setelah dua tahun akan menjadu 30 ton.
Ongkos produksi yang diperlukan dalam pengolahan ladang cikur dalam satu kali panen dapat diuraikan sebagai berikut,
1. Buruh tenaga yang diperlukan sebanyak 10 hari kerja @ Rp. 50.000 = Rp.500.000,00
2. Benih yang diperlukan sebanyak 2,5 kuintal @ Rp. 7.000,00 / Kg.= Rp. 1.750.000,00
3. Pupuk Berak 50 karung @ Rp. 8.000,00 = Rp. 400.000,00
4. Sedangkan penghasilan dalam satu tahun satu kalipanen dapat dihitung:
5. luas tanah garapan 1.000 m² rata-rata 1 ton. @ Rp. 9.000,00/ Kg = Rp. 9000.000,00
6. Jika panen dilakukan dalam dua tahun, biaya pengeluaran dapat dihitung : tenaga buruh 5 hari kerja @ Rp. 50.000,00 = Rp. 250.000,00 ditambah dengan pupuk berak 50 karung @ Rp. 8.000,00 = Rp. 400.000,00
7. Panen yang dihasilkan jika cikur berumur dua tahun dari luas lahan 1000 m² menjadi 30 ton cikur yang siap jual, dengan harga @ Rp. 9.000,00/ Kg.
Begitu pula dengan tanaman laja sistem perawatan dan penanamannya hampir sama dengan tanaman cikur. Hasil pertanian lain yang dapat dijual ke luar daerah dari Kampung Sawah ini antara lain Dun tangkil, tangkil, dan sereh.
Jika dilihat dari penghasilan rata-rata masyarakat Kampung Sawah yang 60 % adalah para petani ini, dari hasil pertanian sawah dan ladang kering boleh dikatakan lebih dari cukup. Penghasilan yang mencukupi ini dapat tergambarkan dari kepemilikan rumah tempat tinggal yang rata-rata seluas 6 m² X 12 m² atau 9 m² X 15 m² dengan rumah permanen terbuat dari baru bata dan campuran semen. Ekonomi keluarga pun sudah dikatakan cukup mapan, mereka bahkan mampu mengkredit motor dengan cicilan sebesar Rp. 1.000.000,00 untuk dua motor sekaligus.
Motto hidup para pemuda yang ada di Kampung Sawah yang menyatakan bahwa mending jadi buruh, teu aya rugina. Sepuh we nu tani mah ‘lebih baik jadi buruh, tidak ada ruginya. Orang tua saja yang menjadi petani’. Merupakan sebuah tindakan yang dapat merugikan mereka sendiri, karena bertani tidak dibatasi oleh umur atau usia, sedangkan menjadi buruh selalu dibatasi oleh umur, bahkan untuk menjadi buruh pun mereka masih harus menyuap para petugas agar mereka dapat diterima di perusahaan yang ditujunya. Hanya karena gengsi keluarga saja mereka mau menjadi buruh di suatu pabrik yang bergengsi, yang pada akhirnya mereka akan tetap kembali menjadi petani. Tapi petani pun di Kampung Sawah adalah dilema, karena lahan yang selama ini diolah adalah lahan milik orang luar yang sewaktu-waktu dapat diambil sesuai dengan kebutuhan. Dan pada akhirnya para petani di sana akan menjadi penonton.


Daftar Pustaka :
Adimihardja, dalam Ekadjati, 1980. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung. Giri Mukti Pasaka.
Adiwilaga, A.Prof. 1975. Ilmu Usaha Tani. Bandung, Alumni.
Kuntjaraningrat. Dr. Prof. 1967, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Djakarta, Dian Rakjat.




Kamis, 07 Januari 2010

KAMPUNG ADAT NAGA DI KABUPATEN TASIKMALAYA JAWA BARAT

oleh : Nandang Rusnandar

Tulisan ini, bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai berbagai tradisi yang masih hidup dan dipertahankan oleh masyarakat Kampung adat. Dan diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan masalah kebudayaan. Juga bisa dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengoperasionalkan program-program pembangunan dengan mempertimbangkan aspek-aspek budaya masyarakat.

Kebudayaan adalah hasil kreativitas manusia untuk menghadapi tantangan hidupnya. Atau merupakan hasil kumulasi dari seluruh aspek kehidupan masyarakat pendukungnya dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan nyata. Kebudayaan bukanlah milik perseorangan melainkan milik masyarakat. Oleh karena itu, kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kebudayaan tidak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat dan eksistensi masyarakat itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kebudayaan (Harsojo, 1982 : 144). Kesinambungan hidup, masyarakat dari masa ke masa terjaga dengan adanya kebudayaan, melalui pewarisan sejumlah tradisi yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan merupakan akumulasi kebiasaan-kebiasaan hidup yang telah diakui keberadaannya oleh masyarakat tersebut. Yudistira Garna dalam makalahnya mengenai perubahan sosial di Indonesia menjelaskan bahwa tradisi yang ada di dalam setiap masyarakat adalah tatanan sosial yang berwujud mapan, baik mapan sebagai bentuk hubungan antara unsur-unsur kehidupan maupun sebagai bentuk aturan sosial yang memberi pedoman tingkah laku dan tindakan anggota suatu masyarakat. Tak mengherankan kalau tradisi merupakan warisan sosial budaya yang selalu ingin dipertahankan oleh warga masyarakat pendukungnya sebagai identitas penting kehidupan mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam suatu kebudayaan selalu ada suatu kebebasan tertentu pada para individu. Kebebasan individu tersebut memperkenalkan variasi dalam cara-cara berlaku dan variasi itu pada akhirnya dapat menjadi milik bersama. Dengan demikian, di kemudian hari ia akan menjadi bagian dari kebudayaan atau mungkin beberapa aspek dari lingkungannya akan mempengaruhi perubahan yang memerlukan proses adaptasi.

Gelombang modernisasi merupakan fenomena sosial yang menyertai dinamika hidup masyarakat. Modernisasi yang dalam hal ini diartikan sebagai usaha untuk hidup sesuai dengan jaman dan konstelasi dunia sekarang (Koentjaraningrat, 1983 : 140-141), semakin dipertajam dengan berlangsungnya era globalisasi seperti sekarang ini, yang merebak ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Modernisasi sebagai konsep dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dapat diartikan sebagai suatu sikap pikiran yang mempunyai kecenderungan untuk mendahulukan sesuatu yang baru daripada yang bersifat tradisi, dan satu pikiran yang hendak menyesuaikan soal-soal yang sudah menetap dan menjadi adat kepada kebutuhan-kebutuhan yang baru (Harsojo, 1982 : 265). Sementara itu globalisasi / era kejagatan seringkali dimuati unsur-unsur budaya asing yang keberadaannya perlu dikaji lebih jauh kesesuaiannya dengan kebudayaan kita.

Menghadapi fenomena-fenomena sosial tersebut, tatanan hidup masyarakat yang berupa sejumlah tradisi penting dan menjadi pedoman hidup suatu masyarakat eksistensinya dipertaruhkan. Dalam hal ini, Yudistira Garna berpendapat bahwa pengaruh luar cenderung merupakan suatu kekuatan mutlak yang tidak mudah ditolak oleh masyarakat setempat, tetapi walaupun demikian kebudayaan tradisional memiliki mekanisme untuk menghindarkan diri atau memiliki strategi budaya yang tidak secara mentah-mentah tertelan pengaruh luar tersebut. Lebih jauh dijelaskan bahwa dinamika sosial yang terjadi ditunjukkan oleh cara-cara pengambilalihan unsur sosial atau budaya luar yang karena menghadapi ruang dan waktu memerlukan sikap dan tindakan yang akomodatif dari para anggota masyarakat yang hakekatnya tiada lain adalah untuk mengembangkan kehidupan mereka.

Negara Republik Indonesia yang wilayahnya sangat luas, merupakan sebuah negara besar yang dihuni oleh penduduk dalam jumlah yang besar pula, yakni lebih dari 260 juta jiwa. Penduduk di wilayah tersebut terdiri atas sejumlah kelompok masyarakat yang tinggal menyebar di berbagai pulau yang membentang dari ujung barat hingga ke ujung timur. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda satu sama lainnya, dan perbedaan tersebut dapat memberikan gambaran jati diri yang khas bagi setiap kelompok masyarakat yang memilikinya. Sudah tentu beragamnya kelompok masyarakat berikut karakteristik budaya yang mereka miliki mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Melihat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen, sudah tentu tidaklah mudah untuk menciptakan kondisi yang selaras dengan tujuan pembangunan nasional. Ada kemungkinan karena mereka dapat menerima pembaharuan atau modernisasi, baik yang berasal dari program-program pembangunan maupun yang diperoleh melalui arus informasi akibat desakan globalisasi yang terjadi pada saat ini. Namun tak bisa dipungkiri pula kalau hingga kini pun masih tersisa sejumlah kelompok masyarakat yang tak perduli dengan hal yang berbau modern. Kelompok masyarakat yang menggambarkan kondisi tersebut adalah masyarakat adat yang hidup dalam sebuah lingkungan adat yang sangat dipatuhinya. Mereka hidup dalam kelompok yang memisahkan diri secara formal dari tatanan budaya pada umumnya, seperti :

1. Kelompok Masyarakat adat Kampung Kuta di Cisaga Kabupaten Ciamis

2. Kelompok Masyarakat adat Kampung Naga di Salawu Kabupaten Tasikmalaya

3. Kelompok Masyarakat adat Kampung Pulo Panjang di Leles / Cangkuang Kab. Garut

4. Kelompok Masyarakat adat Kampung Dukuh di Pemungpeuk Kabupaten Garut

5. Kelompok Masyarakat adat Kampung Mahmud di Margahayu Kabupaten Bandung

6. Kelompok Masyarakat adat Kampung Ciptarasa, Bayah, Citorek, Cicemet, Sirnarasa, di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi

7. Kelompok Masyarakat adat Kampung Urug di Kiarapandak - Cigudeg Kabupaten Bogor

8. Kelompok Masyarakat adat Kampung Baduy / Kanekes di Leuwidamar Kabupaten Lebak.

Kampung-kampung adat tersebut di atas merupakan perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadatnya. Hal itu akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar kampung tersebut. Masyarakat Kampung adat, hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suatu kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat. Dengan demikian, Kampung adat adalah potret masyarakat yang mampu melepaskan keterikatan akan perkembangan modernisasi juga pengaruh globalisasi informasi yang tengah melanda seluruh pelosok dunia.

Dengan ciri fisik seperti bentuk rumah yang masih mempergu-nakan arsitektur tradisional dan dengan segala bentuk pantangan yang harus dipatuhi tanpa reserve.

Kesahajaan hidup dan lingkungan kearifan tradisional adalah ciri mandiri dalam segala tingkah lakunya, sehingga dinamika hidupnya selalu diwarnai oleh keterikatan dirinya akan pedoman hidup yang telah mempranata dan merupakan harta kekayaan yang tak ternilai harganya. Masyarakat Kampung adat dengan kearifannya mampu bertahan hidup 'survive' dan tidak melepaskan kekhasannya yang menjadi ciri mandiri jati dirinya.

Atas dasar hal tersebut di atas, maka sangat diperlukan informasi, pengetahuan, dan pemahaman tentang kondisi budaya yang dimiliki setiap kelompok masyarakat tersebut, dalam rangka mengisi dan memperkaya khasanah budaya Indonesia umumnya dan Jawa Barat khususnya. Untuk sedikit gambaran mengenai kehidupan masyarakat adat, di bawah ini akan penulis paparkan gambaran Kampung adat Naga di Tasikmalaya.

Kampung Adat Naga di Tasikmalaya

Kampung Naga itu sendiri secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Dari Tasikmalaya menuju Kampung adat Naga berjarak 30 km, sedangkan dari Garut jaraknya 26 km. Adapun letak Desa Neglasari ke berbagai pusat pemerintahan, di antaranya ke ibukota kecamatan jaraknya mencapai 5 km, yang dapat ditempuh dalam waktu 15 menit; ke ibukota kabupaten berjarak 33 km dengan waktu tempuh 1 jam; sedangkan ke ibukota provinsi jaraknya mencapai 80 km yang bisa ditempuh dalam waktu 3 jam.

Menurut data potensi desa, bentuk permukaan tanah wilayah Desa Neglasari berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatagorikan sedang. Dari luas wilayah yang ada, sebagian besar digunakan untuk pertanian tanah kering, ladang, dan tegalan. Adapun selebihnya terpakai untuk perumahan dan pekarangan; sawah yang terdiri atas sawah teknis, sawah setengah teknis, dan sawah sederhana; serta peruntukan lainnya seperti pekuburan, tanah desa, dan sebagian lagi merupakan tanah milik negara.

Penduduk Desa Neglasari tinggal tersebar di 4 Rukun Warga (RW) yang terbagi lagi ke dalam 19 Rukun Tetangga (RT). Salah satu RW dan RT-nya adalah perkampungan adat Naga. Dalam kehidupan masyarakat di desa tersebut agama Islam merupakan satu-satunya agama yang dianut dan dijadikan sebagai pedoman hidup oleh mereka. Oleh karena itu, tak mengherankan kalau nuansa Islami begitu kental mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat di desa tersebut. Keselarasan dan keharmonisan hubungan antarwarga masyarakat terjalin dengan baik, sehingga mereka terjaga dari hal-hal yang dapat mengganggu kedamaian hidup mereka.

Untuk menjaga kelangsungan hidup, masyarakat Kampung Naga memiliki sumber mata pencaharian yang cukup beragam. Namun demikian, sebagian besar dari mereka lebih banyak yang menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian tanah sawah dan perladangan tanah kering, baik yang statusnya sebagai petani pemilik, petani penggarap, maupun buruh tani. Adapun diversifikasi matapencaharian lainnya yang ditekuni masyarakat Desa Neglasari bisa dikatakan cukup bervariasi, mulai dari perajin, petani, tukang cukur, dukun bayi, pedagang, hingga pegawai negeri.

Kampung Naga merupakan sebuah potret kehidupan yang tampak spesifik dan khas dalam menjalankan roda kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kampung Naga yang begitu kukuh memegang falsafah hidup yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, tampak tak bergeming terhadap apa yang terjadi di luar kehidupan mereka. Padahal sebagaimana kita ketahui pada era globalisasi yang melanda seluruh dunia seperti sekarang ini, sungguh tidaklah mudah untuk menepis dan menyeleksi berbagai unsur budaya luar yang masuk ke dalamnya. Modernisasi pada berbagai aspek kehidupan pun tidak bisa dielakkan lagi, terjadi baik disengaja maupun tidak. Meskipun gelombang modernisasi melanda berbagai kelompok masyarakat, tak terkecuali masyarakat yang berada di sekitar perkampungan masyarakat Kampung Naga, tidak berarti mereka pun harus hanyut di dalamnya. Mereka tetap hidup sebagaimana adanya dengan tetap mempertahankan eksistensi mereka yang khas.

Keteguhan mereka dalam memegang akar budaya yang dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Kampung Naga, teraktualisasikan melalui berbagai aspek kehidupan seperti dalam sistem religi, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kemasyarakatan yang semuanya terangkum ke dalam sistem budaya masyarakat Kampung Naga.

Masyarakat Kampung Naga juga mempercayai bahwa benda-benda pusaka peninggalannya mempunyai kekuatan magis. Benda-benda pusaka itu disimpan di tempat suci atau Bumi Ageung yang merupakan bangunan pertama yang didirikan di Kampung adat Naga. Selanjutnya, dari masa ke masa bangunan tersebut dirawat serta diurus oleh seorang wanita tua yang masih dekat garis keturunannya.

Meskipun penduduk Kampung Naga dan sa-Naga adalah penganut agama Islam yang taat, mereka pun tetap memegang teguh adat istiadat yang telah turun temurun. Sebagai rasa hormat kepada nenek moyangnya, mereka menjalankan dan memelihara adat istiadat itu.

Kendati pun mereka dianggap sebagai masyarakat yang teguh memegang adat istiadat, masih memungkinkan bagi mereka untuk menerima pengaruh dari luar sepanjang tidak merusak atau mengganggu kehidupan adat istiadat warisan budaya nenek moyang mereka. Mereka mempunyai pancen untuk memelihara dan melestarikan budayanya. Apabila dilanggar, berarti durhaka kepada nenek moyang yang seharusnya mereka junjung tinggi. Mereka mengatakan sieun doraka 'takut durhaka'.

Dari uraian di atas, mengenai salah satu kampung adat, yaitu Kampung Adat Naga yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, kita dapat mengetahui bahwa unsur-unsur kebudayaan (sistem pengetahuan) yang dimiliki suatu komunitas masyarakat kecil akan berbeda bila dibandingkan dengan komunitas masyarakat yang lebih besar. Hal itu disebabkan karena kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat dinamis, bukan sesuatu yang bersifat kaku atau statis. Demikian pula pengertian tentang kebudayaan, bukan lagi sebagai sekumpulan barang seni atau benda-benda, tapi kebudayaan akan selalu dikaitkan dengan gerak hidup manusia dalam kegiatannya, seperti membuat peralatan hidup, norma-norma, sistem pengetahuan, sistem jaringan sosial, kehidupan ekonomi, sistem religi atau kepercayaan, adat istiadat, serta seperangkat aturan yang masih didukung oleh masyarakat tersebut.

Selanjutnya, bahwa kehidupan di seluruh masyarakat kampung adat yang ada di Jawa Barat, memang terlihat agak eksklusif dibanding dengan masyarakat sekelilingnya. Mereka masih melakukan tradisi kehidupan yang sederhana sesuai dengan pedoman hidupnya. Sehingga wujud kebudayaan yang spesifik sangat berpengaruh pada pola-pola kehidupan, bahkan menjadi pedoman bagi kelangsungan hidup anggota masyarakatnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat kampung-kampung adat yang terkurung oleh gelombang modernisasi, tidak membiarkan diri hanyut di dalamnya. Mereka berupaya mempertahankan eksistensinya melalui kekuatan spiritual, seperti yang tercermin dalam norma-norma yang dijadikan sebagai pedoman hidupnya. Secara tidak sadar mereka mengaktualisasikan diri melalui sistem pengetahuan tradisional yang menjadi dasar dan pedoman akan kesadaran moral, keyakinan religius, kesadaran nasional, dan kemasya-rakatan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem pengetahuan suatu masyarakat, merupakan identifikasi dari tinggi rendahnya peradaban yang dimiliki masyarakat tersebut. Maka dengan demikian sistem pengetahuan dapat pula dijadikan barometer bagi tinggi rendahnya budaya suatu bangsa. Hal itu disebabkan karena sistem pengetahuan merupakan aktualisasi dari segala sikap dan perilaku manusia atau masyarakat yang secara empiris dapat dirasakan, dilaksanakan, dilestarikan, dan dipedomani sebagai sesuatu yang dapat memberikan keseimbangan dalam kehidupannya.

Sistem pengetahuan ini pun mengatur seluruh aktivitas hidup dan kehidupan untuk keseimbangan dan berinteraksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakatnya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itu, sistem pengetahuan suatu masyarakat tercakup dalam segala aspek yang mengatur hidup dan perilaku manusia.

Begitu pula sistem pengetahuan yang ada dan dimiliki oleh masyarakat adat Kampung-kampung adat di Jawa Barat, adalah merupakan manifestasi dan aktualisasi dari seluruh aktivitas masyarakatnya dalam berinteraksi untuk mencari keseimbangan baik dirinya - orang per orang - maupun orang dengan alam sekelilingnya. Bahkan di samping itu, sistem pengetahuan ini dapat pula dijadikan sebagai benteng dalam menghadapi arus budaya luar yang mencoba memasuki wilayah budaya miliknya. Dengan kata lain bahwa pengetahuan mengenai pamali, teu wasa, buyut, atau tabu yang berlaku di kampung-kampung adat merupakan salah satu bentuk penyeimbang dalam berinteraksinya. Pandangan mengenai masyarakat kampung adat adalah masyarakat yang kuat memegang tradisi warisan nenek moyangnya adalah benar, tetapi masyarakat kampung adat tersebut tidak mengisolir diri dari masyarakat di sekitarnya, mereka bersama-sama dengan anggota masyarakat lain ikut berpartisipasi secara aktif. Mereka berintegrasi dengan masyarakat lainnya terutama dalam kepentingan hidup bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama pula.

Ketentuan-ketentuan adat seperti pamali, tabu atau lebih dikenal lagi dengan sebutan pantangan dan sebagainya hanya berlaku bagi orang-orang di lingkungan kampung adat sendiri.

Bentuk-bentuk penyeimbang lainnya dapat dilihat dari nilai-nilai yang terdapat dalam ungkapan sehari-hari sebagai pedoman hidupnya khususnya untuk Kampung Naga, seperti yang tertuang dalam tiga kata : amanat, wasiat, dan akibat. Ketiga ungkapan ini adalah bentuk pengetahuan yang harus ditaati, dilaksanakan, dan dipedomani sebagai ajaran yang mengandung kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupannya. Ketiga ungkapan itu mengandung fungsi nilai-nilai filosofis di samping fungsi sosial dan fungsi nilai religius magis.

Kampung-kampung adat di Jawa Barat yang memiliki ciri-ciri keunikan tersendiri, kukuh dalam memegang falsafah hidup, tak bergeming akan perubahan jaman; di mana gelombang modernisasi dan globalisasi yang terus melanda. Arus modernisasi dan globalisasi telah membawa perubahan yang menggilas seluruh aspek kehidupan, sehingga kita sebagai manusia yang hidup di jamannya secara langsung ikut pula dalam perubahan-nya, baik yang terjadi dalam tata nilai maupun dalam norma-norma. Salah satu dampaknya membuat manusia menjadi schinzofrenia 'terpecah kepribadiannya', dan menyebabkan terjadinya pergeseran nilai sakral menjadi profan.

Kampung-kampung adat jika dikaji dari segi budaya, termasuk kampung adat yang mampu mempertahankan eksistensinya dari generasi ke generasi. Walaupun dalam perjalanan sejarahnya Kampung-kampung adat tersebut pernah menghadapi berbagai masalah bahkan sampai sekarang di mana era globalisasi melanda dunia, mereka tak bergeming dalam kepatuhan dan kelestarian sistem budaya yang dianut sejak dahulu. Budaya yang mengatur semua gerak langkahnya, adalah benteng yang kokoh dan menjadi pegangan erat kaumnya. Sehingga nuansa perubahan di luar dirinya tidak menjadi beban berat.

Kelestarian budaya masyarakat kampung adat dapat diukur dari potret kesahajaan hidup dalam menghadapi gelombang modernisasi. Mereka hidup dalam kesederhanaan, akan tetapi di balik kesederhanaan itu tercermin kebebasan dan kearifan yang sangat dalam. Sistem pengetahuan tradisionalnya adalah gambaran kekayaan batin mereka, dan itu merupakan barometer betapa tinggi budaya mereka, sehingga merupakan panutan bagi masyarakatnya.

Dalam sistem kepemimpinan pada umumnya, di kampung-kampung adat bersifat kokolot sentris, puun sentris, olot sentris, atau kuncen sentris, artinya segala bentuk kegiatan selalu berpusat kepada mereka selaku pimpinan yang secara turun menurun. Kampung adat sebagai pranata sosial memberikan ciri bahwa adat istiadat adalah ciri utamanya. Sehingga regenerasi pun akan terus berlanjut dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya.

Sejalan dengan kehidupan dewasa ini, sebagian dari masyarakat kampung adat mampu berintegrasi dengan situasi dan kondisi masyarakat di luar. Dalam kehidupan sehari-hari, dewasa ini sudah mulai menerima bentuk-bentuk perubahan. Bentuk perubahannya tidak mendasar ke dalam bentuk tradisi, misalnya dengan kehadiran TV, bentuk rumah yang lebih artistik --dibanding dengan bentuk rumah yang lain--, radio, bentuk rumah dengan mempergunakan kaca, dan asesoris interior rumah (kehadiran kursi tamu). Hal itu diakui secara langsung oleh masyarakat. Apabila jauh mengusik dan menerobos tradisi, mereka tetap khawatir akan akibatnya.

Kearifan dalam menghadapi tantangan alam, di mana faktor alam sangat dibutuhkan, mereka dengan arif melaksanakan sistem teknologi penjagaan alam yang alami, dengan menjaga leuweung tutupan, leuweung larangan, atau leuweung karamat sebagai penyeimbang sehingga terjadi keselarasan antara kelestarian hutan lindung dengan manusia. Di samping itu dalam menyelaraskan hidup dengan keadaan alam -- karena keadaan kampung adat sebagian besar yang ada di Jawa Barat terletak di sebuah lengkob 'lembah' dengan kontur tanah yang bertebing, (lihat kampung adat Naga, Dukuh, Kuta, dan Urug) dan sebagian lagi ada di badan bukit, seperti Kampung Adat Ciptarasa-- maka penyesuaian dalam mendirikan rumah, mereka membuat sengked batu 'trap-trap dari batu' antara pelataran rumah yang satu dengan rumah yang lainnya. Bahkan dalam pembuatan rumah pun menabukan tembok, untuk menjaga kestabilan tanah.

Bukan suatu kebetulan bahwa dalam Kampung Adat, kita menemukan kearifan-kearifan dan nilai-nilai falsafah hidup dalam menjaga kelestarian tradisi yang telah melembaga, karena mereka menyadari bahwa hanya dengan melestarikan tradisinyalah eksistensi hidupnya akan lebih mantap. Kampung-kampung adat merupakan kampung yang memiliki keunikan tersendiri; khususnya dalam nilai-nilai luhur dan falsafah hidup, dalam menjalankan salah satu tradisi Sunda yang dipedomani sebagai satu ajaran oleh masyarakatnya.

Budaya yang dipedomaninya, merupakan pegangan anggota masyarakat yang relevan dengan situasi dan kondisi alam sekitarnya. Bahkan menjadi benteng penghalang bagi pergeseran nilai-nilai yang diakibatkan adanya gelombang modernisasi dan globalisasi.

Kampung-kampung adat sebagai kampung tradisional dapat dijadikan sebuah musium budaya, karena memiliki keunikan budaya. Keunikan budaya ini adalah mozaik budaya Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya yang sangat penting bagi para pakar untuk mengungkap lebih jauh nilai-nilai dan falsafah hidup manusia dalam memberikan informasi bagi kekayaan nilai-nilai budaya Indonesia umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Harsoyo, 1982, Pengantar Antropologi, Bina Cipta, Bandung

Keontjaraningrat, 1983, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, jakarta, Gramedia.

Nandang Rusnandar, Drs. Dkk. 1992, Ungkapan Tradisional yang Mengandung Nilai Moral dan Nilai Tabu atau Magis di Masyarakat Kampung Kuta Kabupaten Ciamis dan Kampung-kampung adat Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat, Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Teguh Meinanda dan D. Akhmad 1981, Tanya Jawab Pengantar Antropologi, CV. Armico, Bandung.

T.O. Ihromi (Ed), 1980, Pokok-pokok Antropologi, Gramedia, Jakarta.

Yudistira Garna, 1980, Makalah : Perubahan Sosial di Indonesia, Tradisi, Akomodasi, dan Modernisasi (Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia III di Bandung).