Sabtu, 16 Januari 2010

Orang Sunda : Siapakah Dia ?

Oleh : Nandang Rusnandar

Banyak teori yang mengatakan bahwa manusia Sunda berasal dari daerah lain, seperti datang dari tanah Yunan. Migrasi manusia purba masuk ke wilayah Nusantara terjadi para rentang waktu antara 100.000 sampai 160.000 tahun yang lalu sebagai bagian dari migrasi manusia purba "out of Africa". Ras Austolomelanesia (Papua) memasuki kawasan ini ketika masih bergabung dengan daratan Asia kemudian bergerak ke timur, sisa tengkoraknya ditemukan di gua Braholo (Yogyakarata), gua Babi dan gua Niah (Kalimantan). Selanjutnya kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi, perpindahan besar-besaran masuk ke kepulauan Nusantara (migrasi) dilakukan oleh ras Austronesia dari Yunan dan mereka menjadi nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara bagian barat. Mereka datang dalam 2 gelombang kedatangan yaitu sekitar tahun 2.500 SM dan 1.500 SM (Wikipedia, 2009).
Bila melihat peninggalan yang ada di Kota Bandung sekitar 120.000 tahun yang lalu, khususnya di daerah Pakar, bermula dari hasil penelitian van Bemmelen, terbukti bahwa manusia Sunda yang ada pada waktu itu sudah sangat mengenal dan menguasai metalurgi untuk membuat anak tombak yang terbuat dari beberapa campuran besi, alat ’cor’ tersebut masih tersimpan baik di Museum geologi Bandung. Bahkan nenek moyang ini telah memiliki peradaban yang cukup baik, paham cara bertani yang lebih baik, ilmu pelayaran bahkan astronomi. Juga sudah memiliki sistem tata pemerintahan sederhana serta memiliki pemimpin (Tri Tangtu : Ratu, Rama, Resi).
Teori migrasi yang mengatakan bahwa manusia Sunda (Nusantara) berasal dari Yunan ditentang oleh dua teori, pertama Teori Harry Truman dan Ario Santos, teori ini menentang teori migrasi Austronesia dari Yunan dan India. Teori ini mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Austronesia berasal dari dataran Sunda-Land yang tenggelam pada zaman es (Pleistosen). Populasi ini peradabannya sudah maju, mereka bermigrasi hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban. Pendapat ini diperkuat oleh Umar Anggara Jenny, yang melihat dari sudut perkembangan bahasa, ia mengatakan bahwa Austronesia sebagai rumpun bahasa merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang. Pendapat Umar Anggara Jenny dan Harry Truman tentang sebaran dan pengaruh bahasa dan bangsa Austronesia ini juga dibenarkan oleh Abdul Hadi WM (Samantho, 2009).
Teori awal peradaban manusia berada di dataran Paparan Sunda (Sunda-Land) juga dikemukan pula oleh Santos (2005). Santos menerapkan analisis filologis (ilmu kebahasaan), antropologis dan arkeologis. Hasil analisis dari reflief bangunan dan artefak bersejarah seperti piramida di Mesir, kuil-kuil suci peninggalan peradaban Maya dan Aztec, peninggalan peradaban Mohenjodaro dan Harrapa, serta analisis geografis (seperti luas wilayah, iklim, sumberdaya alam, gunung berapi, dan cara bertani) menunjukkan bahwa sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun Santos menyimpulkan bahwa Sunda Land merupakan pusat peradaban yang maju ribuan tahun silam yang dikenal dengan Benua Atlantis. Dari kedua teori tentang asal usul manusia yang mendiami Nusantara ini, benua Sunda-Land merupakan benang merahnya. Pendekatan analisis filologis, antropologis dan arkeologis dari kerajaan Nusantara kuno serta analisis hubungan keterkaitan satu dengan lainnya kemungkinan besar akan menyingkap kegelapan masa lalu Nusantara.
Kepulauan Nusantara telah melintasi sejarah berabad-abad lamanya. Sejarah Nusantara ini dapat dikelompokkan menjadi lima fase, yaitu zaman pra sejarah, zaman Hindu/Budha, zaman Islam, zaman Kolonial, dan zaman kemerdekaan. Kalau dirunut perjalanan sejarah tersebut zaman kemerdekaan, kolonial, dan zaman Islam mempunyai bukti sejarah yang jelas dan tidak perlu diperdebatkan. Zaman Hindu/Budha juga telah ditemukan bukti sejarah walaupun tidak sejelas zaman setelahnya. Zaman sebelum Hindu/Budha masih dalam teka-teki besar, maka untuk menjawab ketidakjelasan ini dapat dilakukan dengan analisa keterkaitan berbagai tinggalan yang ada.
Benua Sunda-Land merupakan benang merah, pendekatan analisis filologis, antropologis dan arkeologis dari kerajaan Sunda kuno akan menyingkap kegelapan masa lalu kita.
 Kerajaan Salakanegara, Pandeglang Banten, tahun 120 M,
Kerajaan Salakanagara (Salaka=Perak) atau Rajatapura termasuk kerajaan Hindu. Ceritanya atau sumbernya tercantum pada Naskah Wangsakerta. Kerajaan ini dibangun tahun 120 Masehi yang terletak di pantai Teluk Lada (Sekarang wilayah Kabupaten Pandeglang, Banten). Raja pertamanya yaitu Aki Tirem yang duturunkan kepada Dewawarman yang memiliki gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Rakja Gapura Sagara yang memerintah sampai tahun 168 M.
Kota Perak ini sebelumnya diperintah oleh tokoh Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya atau Aki Tirem, waktu itu kota ini namanya Pulasari. Aki Tirem menikahkan putrinya yang bernama Pohaci Larasati dengan Dewawarman. Dewawarman ini sebenarnya Pangeran yang asalnya dari negri Palawa di India Selatan. Daerah kekuasaan kerajaan ini meliputi semua pesisir selat Sunda yaitu pesisir Pandeglang, Banten ke arah timur sampai Agrabintapura (Gunung Padang, Cianjur), juga sampai selat Sunda hingga Krakatau atau Apuynusa (Nusa api) dan sampai pesisir selatan Swarnabumi (pulau Sumatra). Ada juga dugaan bahwa kota Argyre yang ditemukannya Claudius Ptolemalus tahun 150 M itu kota Perak atau Salakanagara ini. Dalam berita Cina dari dinasti Han, ada catatan dari raja Tiao-Pien (Tiao=Dewa, Pien=Warman) dari kerajaan Yehtiao atau Jawa, mengirim utusan/duta ke Cina tahun 132 M.

 Kerajaan Sunda, Jawa Barat, Tahun 669 M,
 Kerajaan Sunda Galuh, Jawa Barat Tahun 735 M,
 Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat, Tahun 923 M,
 Kerajaan Panjalu Ciamis (Kawali), Gunung Sawal, Jawa Barat, tahun abad ke 13 M,
 Kerajaan Sumedang Larang, Sumedang Jawa Barat, 1521 M,
 Kesultanan Banten, Banten, Tahun 1524,
 Kesultanan Cirebon, Cirebon, Tahun 1527 M,

Disarikan dari : “ATLANTIS NUSANTARA” ANTARA CERITA DAN FAKTA (Sebuah Hipotesa Lokasi Awal Peradaban di Indonesia)

Minggu, 10 Januari 2010

Pelantikan Raja-raja Sunda

Oleh : Nandang Rusnandar
Pernyataan bahwa benarkah cacarakan berasal dari Jawa dan bahkan orang Sunda hanya 10 % ikut ‘berjasa’ merekayasanya sehingga terwujud aksara Sunda yang disebut Cacarakan ? Dan benarkah bahwa aksara Sunda merupakan perkembangan dari aksara India ? Hal itu perlu untuk penelitian yang lebih lanjut, yang mungkin bahwa kita tidak terlalu tergesa-gesa memvonis bahwa Sunda tidak punya bentuk tulisan.

Aksara Sunda yang berjumlah 18 (secara alfabetis) itu adalah merupakan rangkaian kata-kata yang diucapkan oleh maha raja dalam pengambilan sumpah raja-raja. Kata-kata tersebut diucapkan dalam pelantikan raja-raja yang diangkat oleh maha raja sebagai berikut: Raga lapa yaha // Maca data jasa // baka nyanga wana. Pengertian dari kata-kata yang diucapkan oleh sang Maha Raja itu adalah :


Raga
berarti badan,
lapa
‘teu daya teu upaya’ (tak berdaya dan tak berkemampuan),
yaha
‘sumerah ka Nu Maha Kawasa’(pasrah kepada Yang Maha Kuasa),
maca
‘nitenan / nalungtik’ (atensi),
data
‘catetan laku lampah /paripolah’ (catatan perbuatan),
jasa
‘padamelan sae’ (perbuatan baik),
wana
‘pamandangan alam / leuweung endah’ (lingkungan yang indah),
nyanga ‘ajangan / bagean / pikeun’ (peruntukkan),

baka
‘jaga satutasna palastra’ (alam baka).

Arti yang sebenarnya adalah : Badan yang tidak berdaya upaya ini berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, beratensi untuk membuat catatan perilaku yang baik terhadap diri, masyarakat dan alam sekitar untuk kebaikan di kemudian hari di alam setelah kematian.


Kata-kata Raga lapa yaha // Maca data jasa // baka nyanga wana ini memang mengakomodir dari seluruh Alfabetis aksara hanacaraka, dan kata-kata di atas merupakan ucapan sumpah seorang raja yang dilantik oleh seorang maha raja.


Aksara Sunda yang kemudian berkembang dari alfabetis di atas dituliskan di atas bahan-bahan yang dipergunakan dalam menuliskan aksara tersebut bermacam-macam disesuiakan dengan bentuk atau gaya tulisannya, yaitu:

Bentuk aksara Sunda dalam batu ditulis mempergunakan gorésan

Bentuk aksara Sunda dalam lontar ditulis mempergunakan péso pangot

Bentuk aksara Sunda dalam lontar ditulis mempergunakan geutah ‘getah’

Bentuk aksara Sunda dalam awi / bambu atau kai/kayu ditulis mempergunakan péso

Bentuk aksara Sunda dalam awi/ bambu atau kai/kayu ditulis disungging

Bentuk aksara Sunda dalam besi/tambaga ditulis mempergunakan paku / tungtung péso’ujung pisau’

Bentuk aksara Sunda dalam daluwang ditulis mempergunakan tinta atau sari buah

Bentuk aksara Sunda dalam kertas ditulis mempergunakan tinta / sari buah

Bentuk aksara Sunda dalam kertas ditulis mempergunakan citakan / dicitak

Bentuk aksara Sunda dalam kertas ditulis mempergunakan komputer


ADA APA DI DAGO PAKAR ?

Oleh : Nandang Rusnandar

Di Pakar Dago, kira-kira 120.000 tahun yang lalu, Bandung Utara, telah ada pemukiman manusia purba. Kenyataan ini diperkuat dengan hasil beberapa penemuan berupa artefak-artefak, seperti Batu kapak dari bahan obsidian, anak panah (basi campuran) dan peralatan batu lainnya. Ternyata manusia Sunda Purba, sudah tinggi budayanya.


Untuk membuat mata anak panah ini, ternyata manusia purba Sunda pada jaman itu sudah mempergunakan sistem percampuran (cor). Bahan-bahan mineralnya seperti silika amorf yang pada saat ini banyak ditemukan di daerah dataran Tinggi Bandung. Sistem percampuran mineral ini terlihat dari penemuan cetakan senjata (mata anak panah) terbuat dari perunggu.


Pakar yang jauhnya kira-kira 5 km dari pusat kota Bandung, merupakan pemukiman manusia pra sejarah, yang jauh lebih tua dari kerajaan Syailendra di Jawa tengah atau bahkan dengan manusia purba yang ada di sangiran. Nama PAKAR berasal dari PAKARANG ‘senjata’, karena mungkin dahulunya merupakan ‘pabrik senjata manusia purba’. Di tempat ini kini dijadikan musium tanaman langka (Hutan Ir. Juanda). Di Pakar ini pula terapat gua peninggalan belanda dan Jepang. Gua-gua ini dibangun di dalam endapan lahar gunung TANGKUBANPARAHU yang sudah padat. Dahulu gua-gua ini dijadikan gudang senjata pula oleh Belanda dan Jepang dan sekaligus kubu pertahanan. Kini PAKAR menjadi daerah wisata yang dapat dikunjungi untuk rekreasi melepas lelah pada hari minggu dan hari-hari libur lainnya.

Seratu dua puluh ribu Tahun yang Lalu Orang Berperahu di atas Bandung

Oleh : Nandang Rusnandar

Menurut sumber geologi, Bandung pada jaman dahulu, 120.000 tahun yang lalu merupakan sebuah danau raksasa yang membentang dari ujung timur (Ujung Berung) hingga ujung barat (batas kota banadung sekarang). Pada saat Dataran Tinggi Bandung masih berupa danau ini, permukaan airnya setinggi 725 m di atas permukaan air laut. Di sekitarnya sudah ada pemukiman manusia.
Meskipun hidup pada jaman pra sejarah, tetapi hasil budayanya banyak ditemukan, misalnya berupa kapak batu, mata anak panah (terbuat dari campuran metalurgi) dan peralatan batu lainnya, alat cetatakan ‘teracota’ metalurgi tersebut ditemukan dalam keadaan utuh, semuanya masih disimpan di Musium Geologi Bandung Jl. Dipenogoro. Semua hasil budaya itu ditemukan di daerah Bandung Utara (Sekitar daerah Pakar sekarang, pakar dalam bahasa Sunda berarti pakarang ‘senjata’). Untuk bahan-bahan mentah membuat kapak batu yang bahannya dari batu Obsidian, manusia purba mencarinya sampai ke daerah Nagreg atau Kendan karena di sini pusatnya.
Nah untuk mencapai daerah tersebut, manusia puirba berperahu melintasi kota Bandung sekarang, karena ini jalan yang dianggap paling aman, dekat, dan murah. Apabila lewat darat, mereka harus turun naik bukit, terlebih lagi serangan dan ancaman dari binatang buas yang masih mengintai di mana-mana.
Dari pemukimannya (di daerah Pakar- Dago) barangkali sekitar seratus dua puluh ribu tahun yang lalu mereka berperahu, -- mungkin saja mereka melewati atap Gedung Sate (Gedung gubernur sekarang), atap RRI, bahkan gedung Musium geologi yang kini menyimpan barang-barang peninggalannya -- Sebab walaupun setinggi 30 meter gedung-gedung tersebut, tetapi masih terendam air danau yang kira-kira mencapai kedalaman 50 meter.
Percaya atau tida itu bukti sejarah !

Jumat, 08 Januari 2010

Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Sawah Kabupaten Bekasi

Oleh: nandang rusnandar

Kampung Sawah yang terletak di Kabupaten Bekasi, merupakan sebuah kampung yang boleh dikatakan kampung ‘buferzone’ antara Ibukota Jakarta dengan wilayah sekitarnya. Hal tersebut mengakibatkan adanya pengaruh terhadap sistem mata pencaharian masyarakat sekitar. Apabila masyarakat Jawa Barat yang berada di daerah memiliki ciri mata pencaharian yang homogen, maka bagi masyarakat Kampung Sawah yang berada di daerah buferzone tersebut, diferensiasi dalam mata pencahariannya sudah berkembang, sehingga tidak lagi homogen, heterogenitas matapencaharian mulai nampak di daerah ini. Hildred Geertz menghubungkan jenis mata pencaharian dengan komposisi sosial, komposisi tersebut adalah ‘the urban elite’, yang terdiri atas kalangan diplomatik, penguasaha baik asing maupun pribumi; kemudian mereka yang disebut ‘the urban middle class’ yaitu yang terdiri atas kalangan pegawai menengah, pamongpraja, guru dan anggota tentara, dan yang terakhir disebut ‘the urban proletariat’ yang terdiri atas golongan buruh, pembantu rumah tangga, tukang beca, pedagang kecil, dan lain-lain. Melihat dari komposisi sosial sesuai dengan mata pencaharian penduduk Kampung Sawah termasuk ke dalam The urban Proletariat’. Namun Hildred Geertz sendiri tidak secara spesifik mengemukakan tentang klasifikasi ataupun komposisi sosial mata pancaharian masyarakat desa, ia hanya menulis “most villages are therefore fairly homogeneous both in economics condition and in general outlook” (1964 :23).
Perkembangan jaman yang cukup panjang dan berlanjut secara kontinu, menjadikan manusia tetap bertahan hidup. Proses perkembangan yang cukup panjang ini, secara hipotesis merupakan usaha manusia dalam mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan dalam mempertahankan hidup manusia di jaman dahulu pada sebuah komunitas yang masih sederhana, dilakukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan saja. Berbeda dengan komunitas yang lebih maju, mereka mencoba di samping untuk memenuhi kebutuhan juga untuk disimpan dan atau ditukar dengan barang lain demi memenuhi kebutuhan benda lainnya. Jadi tidak saja benda yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang bersifat primer, melainkan dapat pula dijadikan atau ditukarkan dengan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan yang bersifat skunder.
Pada awalnya, mata pencaharian hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mengalami beberapa proses, dimulai dengan berburu, kemudian meramu dan pada akhirnya bercocok tanam. Menurut beberapa ahli, perkembangan mata pencaharian dari berburu, meramu kemudian menjadi bercocok tanam merupakan suatu peristiwa besar dalam proses perkembangan kebudayaan manusia (Adimihardja, dalam Ekadjati, 1980 : 166). Sedangkan Kuntjaraningrat antara lain mengemukakan, sejak manusia timbul di muka bumi ini, kira-kira 1 juta tahun lalu, ia hidup dari berburu, sedangkan baru kira-kira 10000 tahun yang lalu ia mulai bercocok tanam. Rupanya bercocok tanam tidak terjadi sekonyong-konyong, tetapi kepandaian itu timbul dengan berangsur-angsur di berbagai tempat di dunia. Mungkin usaha bercocok tanam yang pertama merupakan aktivitas mempertahankan tumbuh-tumbuhan di tempat tertentu. Kemudian mengalami perkembangan (1967: 31-32) Sementara itu, Adiwilaga, mengemukakan, sangat boleh jadi perkembangan pertanian itu tidak sederhana seperti digambarkan dalam hipotesa ini. Lodwek Milk meminta perhatian bahwa sejak awal permulaan dari kehidupan manusia di muka bumi ini, ada dua kelompok manusia yang satu dengan yang lain berbeda cara hidupnya. Yang satu kelompok pada dasarnya mempunyai hakekat yang cenderung ke arah bercocok tanam, kelompok yang satu lagi, sama sekali tidak mempunyai kecenderungan untuk bercocok tanam, melainkan memelihara ternak dan mengembala ternak. (1975 :5).
Dari uraian di atas, dapat ditarik satu kesimpulan sederhana bahwa perkembangan sistem mata pencaharian ini merupakan perkembangan dari hal yang sederhana; berburu, meramu, kemudian bercocok tanam. Bercocok tanam ini pun tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui suatu proses perjalanan yang panjang dengan memerlukan pengalaman yang terus menerus. Dalam perkembangan selanjutnya, bercocok tanam pun mengalami perubahan yang mendasar, yaitu bercocok tanam di atas lahan basah dan lahan kering. Dewasa ini bercocok tanam di atas lahan basah kita kenal dengan sistem pertanian bersawah, sedangkan bercocok tanam di atas lahan kering kita kenal dengan berladang atau berkebun (huma, salah satu sistem pertanian padi yang dilakukan di atas lahan kering). Data lama yang menyatakan jumlah luas sawah di Pulau Jawa menyebutkan bahwa sekitar 3.848.000 ha, dan kurang lebih 1.162.811 ha berada di Jawa Barat (Adimihardja, dalam Ekadjati,1980 :171). Kini lahan persawahan tersebut semakin menyusut sesuai dengan perkembangan kebutuhan untuk peruntukkan perumahan dan lahan peruntukkan industri.
Jawa Barat memiliki iklim yang baik untuk kebutuhan bercocok tanam atau bertani, yaitu iklim tropis dengan dua musim yang sangat mempengaruhi terhadap pertanian. Dengan iklim ini pula Indonesia merupakan negara agraris dan salah satu wilayahnya yaitu Jawa Barat yang sangat subur, sehingga pertanian menjadi prioritas. Dan rakyatnya pun menjadikan pertanian adalah mata pencaharian utama.
Dalam kaitan dengan masalah mata pencaharian hidup masyarakat di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, Wertheim dalam ‘Indonesian Society in Transition’ membagi cara bercocok tanam masyarakat Indonesia menjadi tiga pola mata pencaharian utama, yaitu masyarakat pantai, masyarakat sawah, dan masyarakat ladang. (Adimihardja, dalam Ekadjati,1980 : 175). Apa yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sawah Desa Cikaregeman Kabupaten Bekasi Jawa Barat, dalam bermatapencahariannya, mereka melakukan beberapa cara yang sesuai dengan kondisi dan topografi daerahnya. Kehidupan utama masyarakat Kampung Sawah Desa Cikarageman Kabupaten Bekasi adalah bercocok tanam di sawah dan ladang. Hasil bercocok tanam padi di sawah dan di ladang (huma) tidak saja untuk dikonsumsi dalam kebutuhan keseharian, melainkan dijual kepada masyarakat lainnya. Begitu pula hasil pertanian pokok lainnya yaitu Cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan Laja ‘Alpinia Galanga’ dijual ke kota Malang dengan cara diambil oleh ‘Bos Cikur’ yang datang dalam waktu seminggu sekali. Sedangkan hasil palawija lainnya seperti kacang panjang, sereh, kacang tanah, hasail perkebunan lainnya buah tangkil dan daunnya dijual ke pasar-pasar yang ada di sekitar kota Bekasi sendiri dan pasar induk Kota Bogor dan pasar induk Kramat Jati Jakarta.
Mata pencaharian lainnya, seperti PNS, berdagang, membuat kursi dari bambu, penjahit, dan bahkan tujuan utama para pemuda Kampung Sawah yaitu sebagai buruh di pabrik-pabrik yang bertebaran di sekitar daerah Bekasi kota, Karawang, dan Kawasan Cikarang Lipo. Memang Kampung Sawah yang berada di Kabupaten Bekasi ini merupakan daerah yang berdekatan dengan kawasan industri yang sangat banyak memerlukan tenaga buruh. Pabrik-pabrik yang menjadi tujuan utama adalah pabrik semen, kertas, eletronik dan Astra group. Dengan banyaknya pabrik yang ada di sekitar Bekasi berdampak menyedot tenaga ke arah industri, sehingga para pemuda enggan untuk melakukan kegiatan pertanian, mereka lebih memilih jadi buruh di pabrik.
Sistem penggajian yang dilakukan oleh pabrik sedikit lebih menjanjikan karena disesuaikan dengan standar UMR Kota Bekasi, yaitu Rp. 1.016.000,00 setiap bulannya ditambah dengan uang makan, transport, dan tunjangann kesehatan. Maka dengan adanya sistem penggajian seperti ini, mereka beranggapan lebih baik menjadi buruh dibanding dengan petani. Ada motto yang mendukung mengapa mereka lebih baik mengambil menjadi buruh daripada petani. Bagi mereka, mending jadi buruh, teu aya rugina. Sepuh we nu tani mah ‘lebih baik jadi buruh, tidak ada ruginya. Orang tua saja yang menjadi petani’.
Para pengrajin tradisional yang membuat kerajinan kursi dan rak sepatu yang terbuat dari bambu hitam, mereka jual ke daerah Tangerang, Bogor, Jakarta dan perumahan di sekitar Kota Bekasi. Beberapa pengrajin yang mengerjakan kerajinan kursi ini merupakan home industri yang memperkerjakan buruh dari keluarga terdekat. Harga hasil kerajinan kursi males ‘kursi santai yang disimpan di bale-bale di depan rumah’ biasanya dapat dijual dengan harga Rp. 150.000,00 hingga Rp. 200.000,00. persatuannya, sedangkan rak sepatu dijual dengan harga Rp. 70.000,00 persatuannya Sementara bahan baku bambu hitam yang dahulu didapat di sekitar rumah dan kampung Sawah sendiri, sekarang ini sudah di’impor’ didatangkan dan dibeli dari luar kota seperti dari Sukabumi. Selain home industri pembuatan kerajinan kursi dan rak sepatu, mereka juga biasanya membuat berbagai anyaman, seperti anyaman samak ‘tikar’ yang terbuat dari daun pandan, yang banyak didapat di sekitar kampung Sawah sendiri. Anyaman lainnya yang juga menjadi komoditas yang dapat dijual ke luar daerah adalah anyaman susug ‘perangkap ikan’ dan anyaman alat-alat dapur lainnya. Hasil dari home industri ini dijual ke luar daerah, yaitu ke pasar-pasar tradisional di sekitar Kota Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Jakarta.

1. Sistem Sewa Tanah Garapan
Kagiatan ekonomi yang menjadi pekerjaan utama bagi masyarakat kampung Sawah Desa Cikarageman Kabupaten Bekasi adalah pertanian. Sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sawah ada dua macam, yaitu pertanian basah ‘sawah’ dan pertanian kering ‘ladang’. Hampir 90 % penduduk di daerah ini adalah petani, namun sangat disayangkan bahwa sistem kepemilikan tanah, sudah lepas kepada pengembang, sehingga penduduk di sini sudah tidak lagi memilikinya, mereka hanya sebagai penyewa. Lepasnya tanah milik penduduk itu terjadi pada masa-masa sebelum masa reformasi, pada waktu itu ada semacam agitasi terhadap masyarakat bahwa tanah yang ada di sekitar harus dijual, sehingga banyak masyarakat yang menjualnya dengan harga yang sangat murah. Akibatnya, kini masyarakat merasa sangat menyesal. Pada akhirnya mereka hanya menggarap tanah dari hasil sewa yang dilakukan kepada salah satu perusahaan yang menguasainya yaitu “PT. Wiguna”. Sebagai contoh salah satu informan yang menjual tanahnya pada waktu itu dihargai sangat murah, dengan hanya Rp. 11.000,00 permeternya, namun kini harga tanah di area itu harganya sangat melonjak yaitu Rp. 100.000,00 permeternya. Kejadian itu mengakibatkan masyarakat Cikarageman hanya sebagai penyewa yang sewaktu-waktu tanahnya dapat diambil oleh perusahaan dalam pengembangan perumahan dan pengembangan industri dan lain-lain.
Sistem sewa tanah garapan dilaksanakan dan diatur oleh aparat desa. Pengaturan ini dilaksanakan agar tidak terjadi perselisihan di antara masyarakat itu sendiri, sehingga setiap orang mendapat jatah yang merata. Memang pada awalnya, pembagian luas lahan garapan ini tidak merata, namun kemudian aparat desa menengahinya dan pada akhirnya dirata-ratakan menjadi 1000 m² untuk setiap orangnya. Ada juga warga masyarakat yang memiliki lebih dari luas yang ditentukan itu, hal tersebut disebabkan dia telah lebih dahulu menyewa lahan tersebut. Menurut beberapa informan yang ditemui, mereka menyewa tanah itu dengan harga yang telah ditentukan oleh desa dan mereka pun tidak tahu berapa pihak desa membayar kepada “PT. Wiguna”, harga sewa dalam satu tahun untuk luas lahan 1000 m² adalah sebesar Rp. 70.000,00. Mereka harus menyetor uang ke kas desa pada awal tahun penggarapan. Jumlah luas lahan setiap orangnya dalam menyewa lahan tergantung kepada kemampuan seseorang untuk membayarnya. Apabila seseorang yang ingin menambah luas lahan garapan harus ‘membeli’ dari penyewa lain yang mau melepaskan lahan garapannya. Namun dengan demikian seseorang enggan melepas lahannya yang telah disewanya itu.


2. Penggarapan Pertanian Lahan Basah ‘Sawah’
Menurut penuturan informan, mereka dapat menyewa tanah kurang lebih hampir sama dengan rata-rata penduduk yang ada di Kampung Sawah. Namun ada juga beberapa warga yang memiliki di atas rata-rata, hal tersebut dikarena ia telah terlebih dahulu menyewa kepada PT Wiguna, dan ini telah berlangsung beberapa waktu.
Masyarakat Kampung Sawah, masih merupakan masyarakat yang tradisional dalam menggarap sistem pertanian sawah. Dikatakan bahwa komoditas andalan menjadi sumber bahan makanan pokok menjadikan sebuah ketergantungan terhadap hasil pertanian tersebut. Padi adalah andalan utama yang dijadikan bahan pokok makanan keseharian tersebut. Pada kenyataannya tanaman padi ini dibudidayakan tiak saja di lahan basah atau di sawah, melainkan dibudidayakan di lahan kering ‘huma’ yang dalam pembudidayaannya dibarengkan dengan tanaman palawija.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa keterbatasan lahan menjadi kendala bagi masyarakat kampung Sawah, baik lahan basah ‘sawah’ dan lahan kering ‘ladang’ yang rata-rata minimal dimiliki sekitar 1.000 m² perorangnya. Kendala lainnya adalah pengolahan tanah masih sangat sederhana, tenaga buruh melibatkan tenaga kerja keluarga dekat atau buruh yang biasa ada di lingkungan kampungnya. Pembayaran untuk ongkos tenaga kerja ini memerlukan biaya yang cukup tinggi, ada dua mcam cara pembayaran tenaga kerja buruh sawah dan ladang ini yaitu (a) tenaga buruh lepas dibayar sebesar Rp. 50.000,00 perharinya, disebut tenaga buruh lepas ini disebabkan ia tidak menerima jatah makan ketika bekerja. dan (b) tenaga buruh biasa yang dibayar sebesar Rp. 30.000,00 perhari ditambah dengan makan dua kali (pagi sore), ngopi dua kali (pagi sore) dan rokok satu bungkus (biasanya rokok yang diberikan bermerk Minak Jinggo seharga Rp. 3.500,00, atau rokok Sampoerna seharga Rp. 7.000,00). Makanan kecil untuk ngopi yang diberikan pada waktu pagi hari biasanya terdiri atas makanan ringan seperti nasi ketan, kulub sampeu ‘ketela rebus’, kue-kue kecil. Ngopi pagi biasanya disuguhkan pada kira-kira pukul 10.00 pagi dan ngopi sore diberikan pada pukul 16.00 sore, dengan porsi yang berbeda, yaitu kue-kue kecil dengan air kopi. Sedangkan makan diberikan pada pagi hari seiktar pukul 08.00 pagi dan siang hari pada pukul 12.00 atau 13.00 siang hari.
Sudah sejak tahun 1960-an, pemerintah telah memperkenalkan varietas padi unggulan ditanam, namun masyarakat Kampung Sawah masih menanam padi unggulan jenis lokal, yaitu padi ‘Sadane dan CR’. Kedua jenis ini masih mendominasi penanaman padi bagi para petani yang ada. Sistem penanaman padi sudah dilakukan sebanyak tiga kali panen dalam setahunnya, hal itu menyebabkan penghasilan para petani dapat dianggap stabil. Namun ketika terjadi kelangkaan pupuk maka ongkos produksi meningkat, karena harga pupuk yang melambung tinggi. Solusi yang diperlukan oleh para petani dengan mempergunakan pupuk kandang atau istilahnya dengan ‘berak’. Harga berak pun cukupmahal yaitu Rp. 8.000 perkarungnya. Untuk memenuhi kebutuhan pupuk berak seluas lahan 1.000 m² diperlukan sebanyak 10 karung untuk sekali tanam.
Ongkos produksi yang diperlukan dalam pengolahan sawah dalam satu kali panen dapat diuraikan sebagai berikut,
(a) Buruh tenaga yang diperlukan sebanyak 10 hari kerja @ Rp. 50.000 = Rp.500.000,00
(b) Pupuk Berak 10 karung @ Rp. 8.000,00 = Rp. 80.000,00
Sedangkan penghasilan dalam satu tahun dengan panen tiga kali dapat dihitung :
(a) luas tanah garapan 1.000 m² rata-rata 5 kwintal padi. @ Rp. 300.000,00 = Rp. 1.500.000,00
(b) dalam satu tahun 3 kali panen @ Rp. 1.500.000,00 = Rp. 4.500.000,00.
Sedangkan penggarapan sawah kering ‘huma’ dilakukan di atas ladang yang penanamannya bersamaan dengan palawija. Padi huma tidak menjadi andalan masyarakat Kampung Sawah, tapi sudah menjadi suatu kebiasaan. Tidak seperti biasanya, ngahuma yang secara umum dilakukan oleh masyarakat Baduy di Provinsi Banten sangat berbeda dengan ngahuma yang di Kampung Sawah ini. Ngahuma di Banten dilakukan di sebuah ladang yang jauh dari tempat tinggal atau perkampungan, namun di Kampung Sawah ngahuma dilakukan di ladang yang berdekatan dengan rumah atau perkampungan. Ladang-ladang yang ada di sekitar perumahan dapat dijadikan huma yang disiangi dengan sistem palawija.

3. Komoditas Utama : Cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan Laja ‘Alpinia Galanga’
Penggarapan lahan kering ‘ladang’ yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sawah ini ditujukan pada komoditas tertentu saja, yaitu cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan laja ‘Alpinia Galanga’. Kedua tanaman ini merupakan komoditas utama yang ditanam pada lahan kering karena kedua jenis tanaman ini memberikan hasil yang secara ekonomis cukup signifikan sekali. Tanaman ini merupakan tanaman yang dapat dijual dengan harga yang tinggi.
Sama halnya dengan sistem penggarapan lahan basah atau sawah, sistem penggarapan lahan kering atau ladang pun dalam ‘kepemilikan’-nya dilakukan dengan sistem sewa lahan garapan minimal 1.000 m² perorang kepada pihak PT .Wiguna.
Lahan garapan ladang bisanya ditanami dengan jenis tanaman yang dijadikan komoditi unggulan, yaitu Cikur ‘Kaempferia Galanga’ dan Laja ‘Alpinia Galanga’. Kedua jenis tanaman ini dijual ke luar daerah untuk dijadikan bahan baku jamu. Para bos cikur dari Kota Malang Jawa Timur dalam waktu yang secara periodik datang ke Kampung Sawah untuk membelinya. Dan para bos ini pula yang menentukan harga, sehingga para petani hanya menerimanya.
Tata cara para petani yang menggarap lahan kering untuk menanam cikur dan laja tahapannya dilakukan dengan cara pertama-tama, lahan dipacul ‘dicangkul’ maksudnya agar tanah menjadi gembur dan menjaga hara tanah. Setelah dicangkul dan digemburkan tanahnya, kemudian lahan dikamalirkeun, ‘membuat saluran air setiap jarak dua meter’ agar aliran air dapat menyebar dan merata ke seluruh bagian ladang. Tanah untuk menanam benih cikur kemudian digaritan ‘tanah yang akan ditanami, ditandai ditaur agar lurus dengan cara dari ujung satu ke ujung lainnya diberi garis lurus’. Kemudian petani menanamkan benih cikurnya di atas garis yang lurus tersebut, setelah itu di beri berak ‘pupuk kandang’ dan diurug dengan tanah secukupnya. Lama pengerjaan untuk lahan seluas 1.000 m² dari mulai mencangkul hingga menanam benih, biasanya dilakuan dalam waktu satu minggu dengan tenaga buruh sekitar 10 orang. Benih cikur yang diperlukan untuk lahn seluar 1000 m² kurang lebih 2,5 kuintal. Apabila Cikur tersebut dipanen dal;am waktu satu tahun, dari lahan seluas 1.000 m² dapat menghasilkan 1 ton cikur yang siap jual.
Strategi petani untuk meraup keuntungan yang lebih dan berlipat ganda, mereka biasanya tidak melakukan panen dalam jarak waktu satu tahun tanam, melainkan dengan jarak panen 2 tahun dari penananam. Caranya, ketika tanaman cikur telah berumur satu tahun, tidak langsung dipanen, melainkan cikur yang ada di urug kembali dan diberi pupuk berak, baru kemjudian setelah berumur dua tahun mereka akan memanennya. Hasil panennya akan melimpah dan berlipat ganda. Dari lahan seluas 1.000 m², dalam tahun pertama dapat menghasilkan 1 ton, setelah dua tahun akan menjadu 30 ton.
Ongkos produksi yang diperlukan dalam pengolahan ladang cikur dalam satu kali panen dapat diuraikan sebagai berikut,
1. Buruh tenaga yang diperlukan sebanyak 10 hari kerja @ Rp. 50.000 = Rp.500.000,00
2. Benih yang diperlukan sebanyak 2,5 kuintal @ Rp. 7.000,00 / Kg.= Rp. 1.750.000,00
3. Pupuk Berak 50 karung @ Rp. 8.000,00 = Rp. 400.000,00
4. Sedangkan penghasilan dalam satu tahun satu kalipanen dapat dihitung:
5. luas tanah garapan 1.000 m² rata-rata 1 ton. @ Rp. 9.000,00/ Kg = Rp. 9000.000,00
6. Jika panen dilakukan dalam dua tahun, biaya pengeluaran dapat dihitung : tenaga buruh 5 hari kerja @ Rp. 50.000,00 = Rp. 250.000,00 ditambah dengan pupuk berak 50 karung @ Rp. 8.000,00 = Rp. 400.000,00
7. Panen yang dihasilkan jika cikur berumur dua tahun dari luas lahan 1000 m² menjadi 30 ton cikur yang siap jual, dengan harga @ Rp. 9.000,00/ Kg.
Begitu pula dengan tanaman laja sistem perawatan dan penanamannya hampir sama dengan tanaman cikur. Hasil pertanian lain yang dapat dijual ke luar daerah dari Kampung Sawah ini antara lain Dun tangkil, tangkil, dan sereh.
Jika dilihat dari penghasilan rata-rata masyarakat Kampung Sawah yang 60 % adalah para petani ini, dari hasil pertanian sawah dan ladang kering boleh dikatakan lebih dari cukup. Penghasilan yang mencukupi ini dapat tergambarkan dari kepemilikan rumah tempat tinggal yang rata-rata seluas 6 m² X 12 m² atau 9 m² X 15 m² dengan rumah permanen terbuat dari baru bata dan campuran semen. Ekonomi keluarga pun sudah dikatakan cukup mapan, mereka bahkan mampu mengkredit motor dengan cicilan sebesar Rp. 1.000.000,00 untuk dua motor sekaligus.
Motto hidup para pemuda yang ada di Kampung Sawah yang menyatakan bahwa mending jadi buruh, teu aya rugina. Sepuh we nu tani mah ‘lebih baik jadi buruh, tidak ada ruginya. Orang tua saja yang menjadi petani’. Merupakan sebuah tindakan yang dapat merugikan mereka sendiri, karena bertani tidak dibatasi oleh umur atau usia, sedangkan menjadi buruh selalu dibatasi oleh umur, bahkan untuk menjadi buruh pun mereka masih harus menyuap para petugas agar mereka dapat diterima di perusahaan yang ditujunya. Hanya karena gengsi keluarga saja mereka mau menjadi buruh di suatu pabrik yang bergengsi, yang pada akhirnya mereka akan tetap kembali menjadi petani. Tapi petani pun di Kampung Sawah adalah dilema, karena lahan yang selama ini diolah adalah lahan milik orang luar yang sewaktu-waktu dapat diambil sesuai dengan kebutuhan. Dan pada akhirnya para petani di sana akan menjadi penonton.


Daftar Pustaka :
Adimihardja, dalam Ekadjati, 1980. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung. Giri Mukti Pasaka.
Adiwilaga, A.Prof. 1975. Ilmu Usaha Tani. Bandung, Alumni.
Kuntjaraningrat. Dr. Prof. 1967, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Djakarta, Dian Rakjat.




Kamis, 07 Januari 2010

KAMPUNG ADAT NAGA DI KABUPATEN TASIKMALAYA JAWA BARAT

oleh : Nandang Rusnandar

Tulisan ini, bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai berbagai tradisi yang masih hidup dan dipertahankan oleh masyarakat Kampung adat. Dan diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan masalah kebudayaan. Juga bisa dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengoperasionalkan program-program pembangunan dengan mempertimbangkan aspek-aspek budaya masyarakat.

Kebudayaan adalah hasil kreativitas manusia untuk menghadapi tantangan hidupnya. Atau merupakan hasil kumulasi dari seluruh aspek kehidupan masyarakat pendukungnya dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan nyata. Kebudayaan bukanlah milik perseorangan melainkan milik masyarakat. Oleh karena itu, kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kebudayaan tidak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat dan eksistensi masyarakat itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kebudayaan (Harsojo, 1982 : 144). Kesinambungan hidup, masyarakat dari masa ke masa terjaga dengan adanya kebudayaan, melalui pewarisan sejumlah tradisi yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan merupakan akumulasi kebiasaan-kebiasaan hidup yang telah diakui keberadaannya oleh masyarakat tersebut. Yudistira Garna dalam makalahnya mengenai perubahan sosial di Indonesia menjelaskan bahwa tradisi yang ada di dalam setiap masyarakat adalah tatanan sosial yang berwujud mapan, baik mapan sebagai bentuk hubungan antara unsur-unsur kehidupan maupun sebagai bentuk aturan sosial yang memberi pedoman tingkah laku dan tindakan anggota suatu masyarakat. Tak mengherankan kalau tradisi merupakan warisan sosial budaya yang selalu ingin dipertahankan oleh warga masyarakat pendukungnya sebagai identitas penting kehidupan mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam suatu kebudayaan selalu ada suatu kebebasan tertentu pada para individu. Kebebasan individu tersebut memperkenalkan variasi dalam cara-cara berlaku dan variasi itu pada akhirnya dapat menjadi milik bersama. Dengan demikian, di kemudian hari ia akan menjadi bagian dari kebudayaan atau mungkin beberapa aspek dari lingkungannya akan mempengaruhi perubahan yang memerlukan proses adaptasi.

Gelombang modernisasi merupakan fenomena sosial yang menyertai dinamika hidup masyarakat. Modernisasi yang dalam hal ini diartikan sebagai usaha untuk hidup sesuai dengan jaman dan konstelasi dunia sekarang (Koentjaraningrat, 1983 : 140-141), semakin dipertajam dengan berlangsungnya era globalisasi seperti sekarang ini, yang merebak ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Modernisasi sebagai konsep dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dapat diartikan sebagai suatu sikap pikiran yang mempunyai kecenderungan untuk mendahulukan sesuatu yang baru daripada yang bersifat tradisi, dan satu pikiran yang hendak menyesuaikan soal-soal yang sudah menetap dan menjadi adat kepada kebutuhan-kebutuhan yang baru (Harsojo, 1982 : 265). Sementara itu globalisasi / era kejagatan seringkali dimuati unsur-unsur budaya asing yang keberadaannya perlu dikaji lebih jauh kesesuaiannya dengan kebudayaan kita.

Menghadapi fenomena-fenomena sosial tersebut, tatanan hidup masyarakat yang berupa sejumlah tradisi penting dan menjadi pedoman hidup suatu masyarakat eksistensinya dipertaruhkan. Dalam hal ini, Yudistira Garna berpendapat bahwa pengaruh luar cenderung merupakan suatu kekuatan mutlak yang tidak mudah ditolak oleh masyarakat setempat, tetapi walaupun demikian kebudayaan tradisional memiliki mekanisme untuk menghindarkan diri atau memiliki strategi budaya yang tidak secara mentah-mentah tertelan pengaruh luar tersebut. Lebih jauh dijelaskan bahwa dinamika sosial yang terjadi ditunjukkan oleh cara-cara pengambilalihan unsur sosial atau budaya luar yang karena menghadapi ruang dan waktu memerlukan sikap dan tindakan yang akomodatif dari para anggota masyarakat yang hakekatnya tiada lain adalah untuk mengembangkan kehidupan mereka.

Negara Republik Indonesia yang wilayahnya sangat luas, merupakan sebuah negara besar yang dihuni oleh penduduk dalam jumlah yang besar pula, yakni lebih dari 260 juta jiwa. Penduduk di wilayah tersebut terdiri atas sejumlah kelompok masyarakat yang tinggal menyebar di berbagai pulau yang membentang dari ujung barat hingga ke ujung timur. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda satu sama lainnya, dan perbedaan tersebut dapat memberikan gambaran jati diri yang khas bagi setiap kelompok masyarakat yang memilikinya. Sudah tentu beragamnya kelompok masyarakat berikut karakteristik budaya yang mereka miliki mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Melihat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen, sudah tentu tidaklah mudah untuk menciptakan kondisi yang selaras dengan tujuan pembangunan nasional. Ada kemungkinan karena mereka dapat menerima pembaharuan atau modernisasi, baik yang berasal dari program-program pembangunan maupun yang diperoleh melalui arus informasi akibat desakan globalisasi yang terjadi pada saat ini. Namun tak bisa dipungkiri pula kalau hingga kini pun masih tersisa sejumlah kelompok masyarakat yang tak perduli dengan hal yang berbau modern. Kelompok masyarakat yang menggambarkan kondisi tersebut adalah masyarakat adat yang hidup dalam sebuah lingkungan adat yang sangat dipatuhinya. Mereka hidup dalam kelompok yang memisahkan diri secara formal dari tatanan budaya pada umumnya, seperti :

1. Kelompok Masyarakat adat Kampung Kuta di Cisaga Kabupaten Ciamis

2. Kelompok Masyarakat adat Kampung Naga di Salawu Kabupaten Tasikmalaya

3. Kelompok Masyarakat adat Kampung Pulo Panjang di Leles / Cangkuang Kab. Garut

4. Kelompok Masyarakat adat Kampung Dukuh di Pemungpeuk Kabupaten Garut

5. Kelompok Masyarakat adat Kampung Mahmud di Margahayu Kabupaten Bandung

6. Kelompok Masyarakat adat Kampung Ciptarasa, Bayah, Citorek, Cicemet, Sirnarasa, di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi

7. Kelompok Masyarakat adat Kampung Urug di Kiarapandak - Cigudeg Kabupaten Bogor

8. Kelompok Masyarakat adat Kampung Baduy / Kanekes di Leuwidamar Kabupaten Lebak.

Kampung-kampung adat tersebut di atas merupakan perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadatnya. Hal itu akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar kampung tersebut. Masyarakat Kampung adat, hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suatu kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat. Dengan demikian, Kampung adat adalah potret masyarakat yang mampu melepaskan keterikatan akan perkembangan modernisasi juga pengaruh globalisasi informasi yang tengah melanda seluruh pelosok dunia.

Dengan ciri fisik seperti bentuk rumah yang masih mempergu-nakan arsitektur tradisional dan dengan segala bentuk pantangan yang harus dipatuhi tanpa reserve.

Kesahajaan hidup dan lingkungan kearifan tradisional adalah ciri mandiri dalam segala tingkah lakunya, sehingga dinamika hidupnya selalu diwarnai oleh keterikatan dirinya akan pedoman hidup yang telah mempranata dan merupakan harta kekayaan yang tak ternilai harganya. Masyarakat Kampung adat dengan kearifannya mampu bertahan hidup 'survive' dan tidak melepaskan kekhasannya yang menjadi ciri mandiri jati dirinya.

Atas dasar hal tersebut di atas, maka sangat diperlukan informasi, pengetahuan, dan pemahaman tentang kondisi budaya yang dimiliki setiap kelompok masyarakat tersebut, dalam rangka mengisi dan memperkaya khasanah budaya Indonesia umumnya dan Jawa Barat khususnya. Untuk sedikit gambaran mengenai kehidupan masyarakat adat, di bawah ini akan penulis paparkan gambaran Kampung adat Naga di Tasikmalaya.

Kampung Adat Naga di Tasikmalaya

Kampung Naga itu sendiri secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Dari Tasikmalaya menuju Kampung adat Naga berjarak 30 km, sedangkan dari Garut jaraknya 26 km. Adapun letak Desa Neglasari ke berbagai pusat pemerintahan, di antaranya ke ibukota kecamatan jaraknya mencapai 5 km, yang dapat ditempuh dalam waktu 15 menit; ke ibukota kabupaten berjarak 33 km dengan waktu tempuh 1 jam; sedangkan ke ibukota provinsi jaraknya mencapai 80 km yang bisa ditempuh dalam waktu 3 jam.

Menurut data potensi desa, bentuk permukaan tanah wilayah Desa Neglasari berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatagorikan sedang. Dari luas wilayah yang ada, sebagian besar digunakan untuk pertanian tanah kering, ladang, dan tegalan. Adapun selebihnya terpakai untuk perumahan dan pekarangan; sawah yang terdiri atas sawah teknis, sawah setengah teknis, dan sawah sederhana; serta peruntukan lainnya seperti pekuburan, tanah desa, dan sebagian lagi merupakan tanah milik negara.

Penduduk Desa Neglasari tinggal tersebar di 4 Rukun Warga (RW) yang terbagi lagi ke dalam 19 Rukun Tetangga (RT). Salah satu RW dan RT-nya adalah perkampungan adat Naga. Dalam kehidupan masyarakat di desa tersebut agama Islam merupakan satu-satunya agama yang dianut dan dijadikan sebagai pedoman hidup oleh mereka. Oleh karena itu, tak mengherankan kalau nuansa Islami begitu kental mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat di desa tersebut. Keselarasan dan keharmonisan hubungan antarwarga masyarakat terjalin dengan baik, sehingga mereka terjaga dari hal-hal yang dapat mengganggu kedamaian hidup mereka.

Untuk menjaga kelangsungan hidup, masyarakat Kampung Naga memiliki sumber mata pencaharian yang cukup beragam. Namun demikian, sebagian besar dari mereka lebih banyak yang menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian tanah sawah dan perladangan tanah kering, baik yang statusnya sebagai petani pemilik, petani penggarap, maupun buruh tani. Adapun diversifikasi matapencaharian lainnya yang ditekuni masyarakat Desa Neglasari bisa dikatakan cukup bervariasi, mulai dari perajin, petani, tukang cukur, dukun bayi, pedagang, hingga pegawai negeri.

Kampung Naga merupakan sebuah potret kehidupan yang tampak spesifik dan khas dalam menjalankan roda kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kampung Naga yang begitu kukuh memegang falsafah hidup yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, tampak tak bergeming terhadap apa yang terjadi di luar kehidupan mereka. Padahal sebagaimana kita ketahui pada era globalisasi yang melanda seluruh dunia seperti sekarang ini, sungguh tidaklah mudah untuk menepis dan menyeleksi berbagai unsur budaya luar yang masuk ke dalamnya. Modernisasi pada berbagai aspek kehidupan pun tidak bisa dielakkan lagi, terjadi baik disengaja maupun tidak. Meskipun gelombang modernisasi melanda berbagai kelompok masyarakat, tak terkecuali masyarakat yang berada di sekitar perkampungan masyarakat Kampung Naga, tidak berarti mereka pun harus hanyut di dalamnya. Mereka tetap hidup sebagaimana adanya dengan tetap mempertahankan eksistensi mereka yang khas.

Keteguhan mereka dalam memegang akar budaya yang dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Kampung Naga, teraktualisasikan melalui berbagai aspek kehidupan seperti dalam sistem religi, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kemasyarakatan yang semuanya terangkum ke dalam sistem budaya masyarakat Kampung Naga.

Masyarakat Kampung Naga juga mempercayai bahwa benda-benda pusaka peninggalannya mempunyai kekuatan magis. Benda-benda pusaka itu disimpan di tempat suci atau Bumi Ageung yang merupakan bangunan pertama yang didirikan di Kampung adat Naga. Selanjutnya, dari masa ke masa bangunan tersebut dirawat serta diurus oleh seorang wanita tua yang masih dekat garis keturunannya.

Meskipun penduduk Kampung Naga dan sa-Naga adalah penganut agama Islam yang taat, mereka pun tetap memegang teguh adat istiadat yang telah turun temurun. Sebagai rasa hormat kepada nenek moyangnya, mereka menjalankan dan memelihara adat istiadat itu.

Kendati pun mereka dianggap sebagai masyarakat yang teguh memegang adat istiadat, masih memungkinkan bagi mereka untuk menerima pengaruh dari luar sepanjang tidak merusak atau mengganggu kehidupan adat istiadat warisan budaya nenek moyang mereka. Mereka mempunyai pancen untuk memelihara dan melestarikan budayanya. Apabila dilanggar, berarti durhaka kepada nenek moyang yang seharusnya mereka junjung tinggi. Mereka mengatakan sieun doraka 'takut durhaka'.

Dari uraian di atas, mengenai salah satu kampung adat, yaitu Kampung Adat Naga yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, kita dapat mengetahui bahwa unsur-unsur kebudayaan (sistem pengetahuan) yang dimiliki suatu komunitas masyarakat kecil akan berbeda bila dibandingkan dengan komunitas masyarakat yang lebih besar. Hal itu disebabkan karena kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat dinamis, bukan sesuatu yang bersifat kaku atau statis. Demikian pula pengertian tentang kebudayaan, bukan lagi sebagai sekumpulan barang seni atau benda-benda, tapi kebudayaan akan selalu dikaitkan dengan gerak hidup manusia dalam kegiatannya, seperti membuat peralatan hidup, norma-norma, sistem pengetahuan, sistem jaringan sosial, kehidupan ekonomi, sistem religi atau kepercayaan, adat istiadat, serta seperangkat aturan yang masih didukung oleh masyarakat tersebut.

Selanjutnya, bahwa kehidupan di seluruh masyarakat kampung adat yang ada di Jawa Barat, memang terlihat agak eksklusif dibanding dengan masyarakat sekelilingnya. Mereka masih melakukan tradisi kehidupan yang sederhana sesuai dengan pedoman hidupnya. Sehingga wujud kebudayaan yang spesifik sangat berpengaruh pada pola-pola kehidupan, bahkan menjadi pedoman bagi kelangsungan hidup anggota masyarakatnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat kampung-kampung adat yang terkurung oleh gelombang modernisasi, tidak membiarkan diri hanyut di dalamnya. Mereka berupaya mempertahankan eksistensinya melalui kekuatan spiritual, seperti yang tercermin dalam norma-norma yang dijadikan sebagai pedoman hidupnya. Secara tidak sadar mereka mengaktualisasikan diri melalui sistem pengetahuan tradisional yang menjadi dasar dan pedoman akan kesadaran moral, keyakinan religius, kesadaran nasional, dan kemasya-rakatan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem pengetahuan suatu masyarakat, merupakan identifikasi dari tinggi rendahnya peradaban yang dimiliki masyarakat tersebut. Maka dengan demikian sistem pengetahuan dapat pula dijadikan barometer bagi tinggi rendahnya budaya suatu bangsa. Hal itu disebabkan karena sistem pengetahuan merupakan aktualisasi dari segala sikap dan perilaku manusia atau masyarakat yang secara empiris dapat dirasakan, dilaksanakan, dilestarikan, dan dipedomani sebagai sesuatu yang dapat memberikan keseimbangan dalam kehidupannya.

Sistem pengetahuan ini pun mengatur seluruh aktivitas hidup dan kehidupan untuk keseimbangan dan berinteraksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakatnya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itu, sistem pengetahuan suatu masyarakat tercakup dalam segala aspek yang mengatur hidup dan perilaku manusia.

Begitu pula sistem pengetahuan yang ada dan dimiliki oleh masyarakat adat Kampung-kampung adat di Jawa Barat, adalah merupakan manifestasi dan aktualisasi dari seluruh aktivitas masyarakatnya dalam berinteraksi untuk mencari keseimbangan baik dirinya - orang per orang - maupun orang dengan alam sekelilingnya. Bahkan di samping itu, sistem pengetahuan ini dapat pula dijadikan sebagai benteng dalam menghadapi arus budaya luar yang mencoba memasuki wilayah budaya miliknya. Dengan kata lain bahwa pengetahuan mengenai pamali, teu wasa, buyut, atau tabu yang berlaku di kampung-kampung adat merupakan salah satu bentuk penyeimbang dalam berinteraksinya. Pandangan mengenai masyarakat kampung adat adalah masyarakat yang kuat memegang tradisi warisan nenek moyangnya adalah benar, tetapi masyarakat kampung adat tersebut tidak mengisolir diri dari masyarakat di sekitarnya, mereka bersama-sama dengan anggota masyarakat lain ikut berpartisipasi secara aktif. Mereka berintegrasi dengan masyarakat lainnya terutama dalam kepentingan hidup bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama pula.

Ketentuan-ketentuan adat seperti pamali, tabu atau lebih dikenal lagi dengan sebutan pantangan dan sebagainya hanya berlaku bagi orang-orang di lingkungan kampung adat sendiri.

Bentuk-bentuk penyeimbang lainnya dapat dilihat dari nilai-nilai yang terdapat dalam ungkapan sehari-hari sebagai pedoman hidupnya khususnya untuk Kampung Naga, seperti yang tertuang dalam tiga kata : amanat, wasiat, dan akibat. Ketiga ungkapan ini adalah bentuk pengetahuan yang harus ditaati, dilaksanakan, dan dipedomani sebagai ajaran yang mengandung kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupannya. Ketiga ungkapan itu mengandung fungsi nilai-nilai filosofis di samping fungsi sosial dan fungsi nilai religius magis.

Kampung-kampung adat di Jawa Barat yang memiliki ciri-ciri keunikan tersendiri, kukuh dalam memegang falsafah hidup, tak bergeming akan perubahan jaman; di mana gelombang modernisasi dan globalisasi yang terus melanda. Arus modernisasi dan globalisasi telah membawa perubahan yang menggilas seluruh aspek kehidupan, sehingga kita sebagai manusia yang hidup di jamannya secara langsung ikut pula dalam perubahan-nya, baik yang terjadi dalam tata nilai maupun dalam norma-norma. Salah satu dampaknya membuat manusia menjadi schinzofrenia 'terpecah kepribadiannya', dan menyebabkan terjadinya pergeseran nilai sakral menjadi profan.

Kampung-kampung adat jika dikaji dari segi budaya, termasuk kampung adat yang mampu mempertahankan eksistensinya dari generasi ke generasi. Walaupun dalam perjalanan sejarahnya Kampung-kampung adat tersebut pernah menghadapi berbagai masalah bahkan sampai sekarang di mana era globalisasi melanda dunia, mereka tak bergeming dalam kepatuhan dan kelestarian sistem budaya yang dianut sejak dahulu. Budaya yang mengatur semua gerak langkahnya, adalah benteng yang kokoh dan menjadi pegangan erat kaumnya. Sehingga nuansa perubahan di luar dirinya tidak menjadi beban berat.

Kelestarian budaya masyarakat kampung adat dapat diukur dari potret kesahajaan hidup dalam menghadapi gelombang modernisasi. Mereka hidup dalam kesederhanaan, akan tetapi di balik kesederhanaan itu tercermin kebebasan dan kearifan yang sangat dalam. Sistem pengetahuan tradisionalnya adalah gambaran kekayaan batin mereka, dan itu merupakan barometer betapa tinggi budaya mereka, sehingga merupakan panutan bagi masyarakatnya.

Dalam sistem kepemimpinan pada umumnya, di kampung-kampung adat bersifat kokolot sentris, puun sentris, olot sentris, atau kuncen sentris, artinya segala bentuk kegiatan selalu berpusat kepada mereka selaku pimpinan yang secara turun menurun. Kampung adat sebagai pranata sosial memberikan ciri bahwa adat istiadat adalah ciri utamanya. Sehingga regenerasi pun akan terus berlanjut dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya.

Sejalan dengan kehidupan dewasa ini, sebagian dari masyarakat kampung adat mampu berintegrasi dengan situasi dan kondisi masyarakat di luar. Dalam kehidupan sehari-hari, dewasa ini sudah mulai menerima bentuk-bentuk perubahan. Bentuk perubahannya tidak mendasar ke dalam bentuk tradisi, misalnya dengan kehadiran TV, bentuk rumah yang lebih artistik --dibanding dengan bentuk rumah yang lain--, radio, bentuk rumah dengan mempergunakan kaca, dan asesoris interior rumah (kehadiran kursi tamu). Hal itu diakui secara langsung oleh masyarakat. Apabila jauh mengusik dan menerobos tradisi, mereka tetap khawatir akan akibatnya.

Kearifan dalam menghadapi tantangan alam, di mana faktor alam sangat dibutuhkan, mereka dengan arif melaksanakan sistem teknologi penjagaan alam yang alami, dengan menjaga leuweung tutupan, leuweung larangan, atau leuweung karamat sebagai penyeimbang sehingga terjadi keselarasan antara kelestarian hutan lindung dengan manusia. Di samping itu dalam menyelaraskan hidup dengan keadaan alam -- karena keadaan kampung adat sebagian besar yang ada di Jawa Barat terletak di sebuah lengkob 'lembah' dengan kontur tanah yang bertebing, (lihat kampung adat Naga, Dukuh, Kuta, dan Urug) dan sebagian lagi ada di badan bukit, seperti Kampung Adat Ciptarasa-- maka penyesuaian dalam mendirikan rumah, mereka membuat sengked batu 'trap-trap dari batu' antara pelataran rumah yang satu dengan rumah yang lainnya. Bahkan dalam pembuatan rumah pun menabukan tembok, untuk menjaga kestabilan tanah.

Bukan suatu kebetulan bahwa dalam Kampung Adat, kita menemukan kearifan-kearifan dan nilai-nilai falsafah hidup dalam menjaga kelestarian tradisi yang telah melembaga, karena mereka menyadari bahwa hanya dengan melestarikan tradisinyalah eksistensi hidupnya akan lebih mantap. Kampung-kampung adat merupakan kampung yang memiliki keunikan tersendiri; khususnya dalam nilai-nilai luhur dan falsafah hidup, dalam menjalankan salah satu tradisi Sunda yang dipedomani sebagai satu ajaran oleh masyarakatnya.

Budaya yang dipedomaninya, merupakan pegangan anggota masyarakat yang relevan dengan situasi dan kondisi alam sekitarnya. Bahkan menjadi benteng penghalang bagi pergeseran nilai-nilai yang diakibatkan adanya gelombang modernisasi dan globalisasi.

Kampung-kampung adat sebagai kampung tradisional dapat dijadikan sebuah musium budaya, karena memiliki keunikan budaya. Keunikan budaya ini adalah mozaik budaya Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya yang sangat penting bagi para pakar untuk mengungkap lebih jauh nilai-nilai dan falsafah hidup manusia dalam memberikan informasi bagi kekayaan nilai-nilai budaya Indonesia umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Harsoyo, 1982, Pengantar Antropologi, Bina Cipta, Bandung

Keontjaraningrat, 1983, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, jakarta, Gramedia.

Nandang Rusnandar, Drs. Dkk. 1992, Ungkapan Tradisional yang Mengandung Nilai Moral dan Nilai Tabu atau Magis di Masyarakat Kampung Kuta Kabupaten Ciamis dan Kampung-kampung adat Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat, Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Teguh Meinanda dan D. Akhmad 1981, Tanya Jawab Pengantar Antropologi, CV. Armico, Bandung.

T.O. Ihromi (Ed), 1980, Pokok-pokok Antropologi, Gramedia, Jakarta.

Yudistira Garna, 1980, Makalah : Perubahan Sosial di Indonesia, Tradisi, Akomodasi, dan Modernisasi (Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia III di Bandung).

KEARIFAN EKOLOGIS KARUHUN SUNDA

Oleh : Nandang Rusnandar

Menjaga Kelestarian Alam
Nenek moyang "karuhun" Sunda telah memiliki kearifan dalam penataan lingkungan (ekologi). Salah satu contoh yaitu orang Rawayan (Baduy) adalah salah satu sisa-sisa karuhun Sunda jaman dahulu yang dikenal kuat memegang prinsip adat. Mereka memiliki kearifan ekologis yang tercermin dari pegangan hidup mereka, yaitu seperti ungkapan berikut:
• Ngaraksa Sasaka Pusaka Buana mengandung makna, menjaga warisan suci di atas bumi. Adapun yang dimaksud dengan "warisan suci di atas bumi" adalah kelestarian alam yang masih terjaga. Tanah yang masih tetap subur, sumber air yang belum tercemar, udara yang bersih, sehat, nyaman belum terkena polusi, serta bumi yang masih terjaga keseimbangan ekologisnya. Sasaka Pusaka Buana adalah buana bumi yang masih tetap layak, sehat, nyaman untuk dihuni oleh manusia dan makhluk lainnya, yang kelak akan diwariskan kepada anak cucu kita.
• Lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung, artinya: Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung. Ini adalah esensi hidup dari konsep konservasi yang menyatakan menjaga dan melestarikan kelangsungan proses perubahan alamiah secara wajar.
• Ngasuh ratu ngajayak menak, ngabaratakeun nusa teulu puluh teulu, bagawan sawidak lima, panca salawe nagara. Maksudnya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, paling tidak secara moril harus loyal kepada pemerintah dan pimpinan negara, dengan berbagai upaya dan cara. Begitu pula para pemimpin bangsa dan masyarakat. Dalam upaya menjaga kewajibannya dan menghindarkan diri dari tindak nista tercela, perlu ikut mendukung dengan keteladanan. Secara spiritual, dengan berdoa dan bertapa, agar negara dan bangsa senantiasa selamat sejahtera, aman damai abadi. Terhindar dari segala macam bencana dan malapetaka. Dalam bahasa Jawa, sikap itu dirangkum dalam kredo: "Memayu rahayuning bangsa, memayu rahayuning buwana" (mengupayakan kesejahteraan bangsa, mengupayakan perdamaian dunia).
• Mipit kudu amit, ngala kudu menta (memetik harus permisi, mengambil mesti meminta). Jika prinsip ini dipadukan dengan prinsip "lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung", maka prinsip orang Rawayan untuk menjaga kelestarian alam merupakan prinsip yang lengkap, utuh, dan serasi.
Dengan mematuhi prinsip itu orang Rawayan menerima alam menurut kondisi kodrati. Mereka tabu untuk mengubah wajah atau permukaan bumi. Oleh karena itu, dalam menentukan lokasi rumah, kampung, desa, atau lahan pemukimannya, mereka memiliki salah satu alternatif dari beberapa macam lahan yang bersifat baik dan layak huni.

Klasifikasi Lahan
Masyarakat Sunda pada masa lalu sangat memperhatikan kualitas tanah dalam pemilihan lahan untuk lokasi bangunan rumah, tempat hunian atau perkampungan baru. Pemilihan lahan selalu mempertimbangkan bagaimana letaknya, kemiringannya, bekas apa pada masa lalunya, warna dan aroma tanah, serta bentuk alamiah lahan tersebut. Semua itu akan memberi pengaruh kepada para penghuninya.
Penjelasan tentang kualitas atau klasifikasi lahan tersebut diterangkan dalam naskah kuno Sanghyang Siksakandang Karesian, paling sedikit ada sembilan belas jenis tanah yang mempunyai pengaruh buruk dan dapat mendatangkan bahaya atau bencana pada penghuninya.
Lahan yang dianggap "sampah bumi" atau mala ning lemah adalah: Tanah sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan, lemah sahar, dangdang wariyan, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kolomberan, jariyan, dan sema. (Sutrisno Murtiyoso, Klasifikasi Lahan pada Masyarakat Sunda Kuno, majalah Sasakala LSAI, 1989). Sedang lahan yang bersifat baik, mendatangkan kesejahteraan kepada penghuninya, dapat dipilih dari 6 jenis lahan berikut: galudra ngupuk, pancuran emas, satria lalaku, kancah nangkub, gajah palisungan, dan bulan purnama. Untuk jelasnya pengertian tentang lahan tersebut berikut rinciannya:
1. Sodong: Ceruk pada tebing, biasanya terbentuk pada aliran sungai yang berbelok sehingga sisi luarnya tergerus dan menjadi lubuk (Sunda: leuwi) tempat persembunyian ikan (Coolsma). Dapat diartikan sebagai ceruk atau goa dangkal yang umumnya pada tebing.
2. Sarongge: Tempat angker yang dihuni roh jahat, tempat-tempat dipercaya menjadi "pangkalan" setan, jurig, dan ririwa.
3. Cadas Gantung: Padas bergantung, sehingga di bawahnya terbentuk naungan (shelter) alami.
4. Mungkal Pategang : bungkah berkelompok tiga, mungkin sebidang lahan yang dikelilingi oleh bongkahan karang atau gundukan batuan di sekelilingnya.
5. Lebak : lurah tau ngarai, yakni permukaan lantai jurang, terlindung dari pandangan dan sinar matahari.
6. Rancak : batu besar bercelah atau lahan-lahan yang dikurung oleh batu-batu besar sehingga sulit dihampiri.
7. Kebakan Badak: kubangan atau kolam yang dipergunakan untuk berkubang oleh badak.
8. Catang Nunggang : batang kayu roboh dengan bangkot sebelah bawah. Merupakan lahan yang ditengahnya dipisahkan oleh satu selokan/ngarai, namun dihubungkan oleh suatu jembatan alami berupa cadas atau karang.
9. Catang Nonggeng : batang kayu roboh dengan bangkot di atas. Yakni, sebidang lahan yang lokasinya terletak pada lereng yang curam.
10. Garunggungan : tanah membukit kecil.
11. Garenggengan : tanah kering permukaannya, namun di bawahnya berlumpur.
12. Lemag Sahar : tanah panas, sangar, tempat bekas terjadinya pembunuhan, atau pertumpahan darah.
13. Dangdang Wariyan : dangdang berair, kobakan. Yakni, lahan yang legok di tengah dan kedap air sehingga menggenang.
14. Hunyur : sarang semut atau sarang rayap, yang berupa bukit kecil atau gundukan tanah, lebih kecil dari gunung (Sunda: incuna gunung. Gunung, pasir, hunyur).
15. Lemah Laki : tanah tandus, atau tanah berbentuk dinding curam.
16. Pitunahan Celeng : tempat berkeliaran babi.
17. Kolomberan : kecomberan, atau genangan air yang mandeg.
18. Jarian : tempat pembuangan sampah.
19. Sema : kuburan.
Sebaliknya, lahan yang bersifat baik dan sesuai untuk lokasi pemikiman penduduk, dapat dipilih di antara enam jenis lahan, yang perinciannya adalah:
1. Galudra ngupuk : lahan yang mendatangkan kekayaan duniawi.
2. Pancuran emas : lahan yang miring ke selatan dan barat. Mendirikan bangunan pada lokasi ini pemilik rumah akan kaya raya dan banyak istrinya.
3. Satria lalaku : lahan yang miring ke selatan dan timur. Penghuni lokasi ini hidup prihatin namun tidak kekurangan harta benda, serta penuh kehormatan.
4. Kancah nangkub : lokasi di puncak perbukitan atau gundukan tanah dan dikelilingi pegunungan. penduduk atau penghuni lokasi ini sehat sejahtera.
5. Gajah palisungan : lahan datar di atas gundukan tanah miring ke arah timur dan barat. Pemilik lokasi pada lahan seperti ini alamat bakal mendatangkan kekayaan duniawiah nan tumpah ruah.
6. Bulan purnama : desa atau perkampungan yang mengambil lokasi pada lahan yang dialiri sungai dekat mata air (di arah utara). Sedangkan arah bangunan dan arah rumah lokasinya berderet di arah barat dan timur.
Adapun tipe lahan yang buruk lokasinya dan tidak layak untuk tempat mendirikan rumah atau kampung adalah:
1. Gelagah katunan : dataran rendah yang dikelilingi oleh lahan yang lebih tinggi.
2. Cagak gunting : yakni lahan "segi tiga" yang diapit oleh dua jalur jalan atau dua alur sungai.
3. Jalan ngolecer : lebih dikenal dengan "nyunduk sate", yakni lahan atau bangunan persis ditotok atau jadi tumpuan jalur jalan raya.
Beberapa jenis klasifikasi tanah/lahan, yang baik maupun yang buruk, semua ditentukan oleh para karuhun Sunda jaman dahulu secara empiris, berdasarkan pengalaman hidup secara nyata. Namun bila ditelaah secara ilmiah, klasifikasi jenis lahan yang baik dan yang buruk menurut kepercayaan masyarakat Sunda kuno ini, tidak banyak berbeda dengan teori "Site Planning" modern.
Sebagai peraturan yang berlaku di masyarakat, maka ketentuan tentang mala ning lemah tadi tak boleh dilanggar, bahkan pengetahuan itu dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat. Hal ini diungkapkan dalam pesan yang tercantun pada Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian sebagai berikut:
Eta kehna kanyahokeun, dituhuna diyogyana, aya ma nu majar mo nyaho, eta nu mo satya di guna di maneh, mo teuing dicarek dewata arang. Tan awuring inanti dening kawah, lamun guna mo dipiguna, lamun twah mo dipitwah, sehingga ning guna kreta, kena itu tangtu hyang tangtu dewata.
"Itu semua patut diketahui, tepatnya dan perlunya. Bila ada yang mengatakan tidak perlu tahu, itulah yang tidak akan setia kepada keahlian dirinya, mengabaikan ajaran leluhur kita, pasti ditunggu oleh neraka; bila keahlian tidah dimanfaatkan, bila kewajiban tidak dipenuhi untuk mencapai kebajikan dan kesejahteraan, karena semua itu ketentuan dari Hyang dan Dewata”

ARSITEKTUR DAN TATA RUANG

Oleh : Nandang Rusnandar


Arsitektur Tradisional Sunda (Bentuk Bangunan)

Menurut sejarawan Drs. Saleh Danasasmita (almarhum) bentuk bangunan tradisional Sunda memang amat sederhana. Penduduk tatar Sunda jaman dulu tergolong masyarakat ladang. Sifat paling menonjol dalam masyarakat ladang adalah kebiasaan pindah tempat mengikuti letak peladangannya. Pengaruh langsung dari keadaan ini tentu saja dalam hal bangunan yang harus sederhana dan tidak permanen. Hal yang dianggap tabu oleh masyarakat adalah penggunaan genteng untuk atap rumah dan pemanfaatan paku. Semua dianggap benda-benda asing yang tidak cocok dan ditolak pemanfaatannya (Saleh Danasasmita, "Latar Belakang Sosial Sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan antara Kerajaan Galuh dengan Pajajaran", 1975).

Kalau kita teliti lebih lanjut, bentuk bangunan masyarakat Sunda lebih banyak mengacu pada kesadaran lingkungan. Artinya bentuk atap bangunan selalu disesuaikan dengan kondisi alamiah lingkungan. Untuk daerah pegunungan yang banyak hujan dan tiupan angin keras, orang akan memilih bentuk atap yang kokoh, tertutup, hingga tidak mudah lepas diterpa angin.

Pendek kata, bangunan rumah tinggal bagi penduduk Tatar Sunda dianggap memadai asal bisa memberi keteduhan dari curah hujan dan matahari, dan melindungi dari bahaya binatang buas. Untuk itu bangunan rumah berbentuk rumah panggung bertengger di atas pilar kayu dengan dinding sederhana guna melindungi dari terpaan angin. Untuk menjaga kehangatan di dalam rumah, cukup dengan menyalakan api (Sunda: hawu).

Kesederhanaan bentuk dan gaya arsitektur tradisional Sunda, banyak mengacu pada "bentuk atap dan pintu" yang berbeda pada masing-masing bangunan. Bentuk-bentuk bangunan tradisional Sunda yaitu: Suhunan Jolopong (suhunan panjang), Jogo Anjing, Badak Heuay, Parahu Kumereb (Limasan), Julang Ngapak, Buka Palayu, Buka Pongpok.

a. Suhunan Jolopong (Suhunan Lurus)

Bentuk jolopong adalah bentuk rumah (bangunan) yang memiliki suhunan yang sama panjangnya di kedua bidang atap yang sejajar dengan itu. Bentuk jolopong memiliki dua bidang atap. Kedua bidang ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah, bahkan jalur suhunan itu sendiri merupakan sisi bersama dari kedua bidang atap yang sebelah menyebelah.

Bentuk atap jolopong merupakan bentuk atap yang sederhana dan dari bentuk ini berkembang bentuk-bentuk atap yang lain. Bentuk atap jolopong banyak digunakan pada atap saung (dangau) di sawah di Tatar Sunda. Saung umumnya dibangun di sawah dan dipergunakan sebagai tempat petani menunggu tanamannya dan beristirahat sejenak melepas lelah, sambil menghirup udara segar.

b. Jogo Anjing (sikap anjing sedang duduk)

Bentuk atap jogo anjing atau tagog anjing adalah bentuk atap yang memilikii dua bidang atap yang berbatasan pada garis batang suhunan. Bidang atap yang pertama lebih lebar dibanding dengan bidang atap lainnya, serta merupakan penutup ruangan. Sedangkan atap lainnya yang sempit, memiliki sepasang sisi yang sama panjang dengan batang suhunan bahkan batang suhunan itu merupakan puncaknya. Pasangan sisi (tepi) lainnya lebih pendek bila dibandingkan dengan panjang suhunan. Pada umumnya sisi bawah tidak disangga oleh tiang. Bidang atap yang sempit ini hanya sekedar tudung agar cahaya matahari atau air hujan tidak langsung menyemburi ruangan dalam bagian depan.

Tiang-tiang depan pada bangunan dengan atap tagog anjing lebih panjang dibandingkan dengan tiang-tiang belakang, batang suhunan terletak di atas puncak tiang depan. Ruangan sebenarnya berada di bawah atap belakang. Atap depan hanya berfungsi sebagai emper saja.

c. Badak Heuay (badak bermulut menganga)

Bangunan dengan atap bentuk badak heuay sangat mirip dengan bentuk atap tagog anjing. Perbedaanya hanya pada bidang atap belakang. Bidang atap ini langsung lurus ke atas melewati batang suhunan sedikit. Bidang atap yang melewati suhunan ini dinamakan rambu.

d. Parahu Kumereb (perahu menelungkup)

Bentuk atap ini memiliki empat buah bidang atap. Sepasang bidang atap sama luasnya, berbentuk trapesium sama kaki. Letak kedua bidang atap ini sebelah menyebelah dan dibatasi oleh garis suhunan yang merupakan sisi bersama. Jadi kedua bidang atap ini menurun masing-masiing dari garis suhunan itu. Batang suhunan yang merupakan sisi bersama lebih pendek dari sisi alasnya. Sepasang bidang atap lainnya berbentuk segitiga sama kaki dengan kedua titik ujung suhunan merupakan titik puncak segitiga itu. Kaki-kakinya merupakan sisi bersama dengan kedua bidang atap trapesium.

Di daerah lain di Jawa Barat (Kecamatan Tomo Kabupaten Sumedang), bentuk atap parahu kumereb disebut bentuk atap jubleg nangkub (lesung yang menelungkup).

e. Julang Ngapak (sikap burung Julang merentangkan sayap)

Agak sulit menjelaskan dengan saksama bentuk atap julang ngapak. Padahal istilah itu sudah dikenal oleh masyarakat Sunda sejak beberapa waktu lampau. Ir. Maclaine Pont, misalnya mengemukakan tentang bentuk atap pada "Sunda Besar" yang bercirikan bentuk suhunan yang mencuat di kedua ujungnya dan adanya tameng-tameng yang menggantung di depannya (Ir.Maclaine Pont,1933. Javaansche Architectuur, DJAWA, Tijdschrift van het Java Instituut, Jog-Jakarta, 166). Bentuk atap demikian dulu banyak dijumpai di daerah Garut, Kuningan, dan tempat lain di Jawa Barat.

Bentuk atap julang ngapak adalah bentuk atap yang melebar di kedua bidang sisi bidang atapnya. Jika dilihat dari arah muka rumahnya bentuk atap demikian menyerupai sayap burung julang (nama sejenis burung) yang sedang merentang.

Bila diperhatikan dengan saksama, bentuk atap julang ngapak, memiliki empat buah bidang atap. Dua bidang pertama merupakan bidang-bidang yang menurun dari arah garis suhunan, dua bidang lainnya merupakan kelanjutan (atap tambahan) dari bidang-bidang itu dengan membentuk sudut tumpul pada garis pertemuan antara kedua bidang atap itu. Bidang atap tambahan dari masing-masing sisi bidang atap itu nampak lebih landai dari bidang-bidang atap utama. Kedua bidang atap yang landai ini disebut leang-leang.

f. Buka Palayu (menghadap ke bagian panjangnya)

Nama bangunan buka palayu untuk menunjukkan letak pintu muka dari rumah tersebut menghadap ke arah salah satu sisi dari bidang atapnya. Dengan demikian, jika dilihat dari arah muka rumah, tampak dengan jelas ke seluruh garis suhunan yang melintang dari kiri ke kanan. Nama bangunan tersebut dipergunakan oleh penduduk di daerah Kabupaten Sumedang (Kecamatan Tomo) untuk bangunan-bangunan lama yang kini masih banyak ditemukan, terutama di sepanjang jalan raya yang menghubungkan kota-kota Cirebon - Bandung di daerah kecamatan tersebut.

Pada umumnya, rumah-rumah dengan gaya buka palayu didirikan atas dasar keinginan pemiliknya, untuk menghadapkan keseluhan bentuk bangunan dan atapnya ke arah jalan yang ada di depan rumahnya. Potongan buka palayu pada umumnya mempergunakan bentuk atap suhunan panjang atau suhunan pondok yang juga disebut rumah jure. Disebut demikian karena mempergunakan jure-jure yaitu batang kayu yang menghubungkan salah satu atau kedua ujung garis suhunan dengan sudut-sudut rumah.

g. Buka Pongpok (menghadap ke bagian pendeknya)

Sama halnya dengan buka palayu, rumah dengan gaya buka pongpok didirikan atas dasar keinginan pemiliknya untuk menghadapkan pintu muka ke arah jalan. Rumah buka pongpok adalah rumah yang memiliki pintu masuk pada arah yang sejajar dengan salah satu ujung dari batang suhunan. Jika dilihat dari arah muka rumah, keseluruhan batang suhunan tersebut tidak nampak sama sekali. Yang nampak terlihat ialah bidang atap segi tiga dari rumah tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya potongan buka palayu dan buka pongpok dipadukan menjadi potongan campuran yang disebut sirit teuweul. Potongan yang lebih baru ini, menunjukkan bahwa batang suhunan memiliki dua arah yang berbeda dan masing-masing membentuk sudut tegak lurus, dengan pintu muka mengarah sejajar dengan salah satu batang suhunan.

Susunan Ruangan Rumah

Susunan ruangan-ruangan rumah tempat tinggal pada masyarakat Sunda umumnya adalah sebagai berikut:

Pada rumah tinggal dengan atap suhunan jolopong atau panjang, pada umumnya terdiri atas:

· Ruangan depan, disebut emper atau tepas

· Ruangan tengah, disebut tengah imah atau patengahan

· Ruangan samping, disebut pangkeng atau kamar.

· Ruangan belakang, terdiri atas: (a). dapur, disebut pawon, (b). tempat menyimpan beras, disebut padaringan.

Pada rumah tinggal dengan atap leang-leang, ruangan-ruangannya, pada umumnya terdiri atas:

· Ruangan depan (emper)

· Ruangan tengah (tengah imah)

· Kamar tidur (pangkeng)

· Dapur (pawon)

Pada umumnya rumah-rumah dengan bentuk atap jure, sistem pembagian ruangan adalah sebagai berikut :

· Ruangan paling depan di bawah atap disebut balandongan

· Ruangan depan dalam rumah disebut tepas

· Ruangan tengah disebut patengahan (tengah imah)

· Ruangan-ruangan samping disebut pangkeng

· Ruangan belakang disebut pawon (dapur)

Sistem pembagian ruangan pada rumah tempat tinggal berhubungan dengan pandangan masyarakat tentang kedudukan dan fungsi masing-masing anggota keluarga penghuni suatu rumah. Pembagian itu didasarkan pada tiga daerah yang terpisah dibedakan penggunaannya, yaitu: daerah wanita, daerah laki-laki, dan daerah netral (dipergunakan bagi wanita dan laki-laki). Penjelasan lebih lanjut dapat diketahui pada Sub Bab 6.3 berikut.

Fungsi Tata Ruang Bangunan

Rumah bagi orang Sunda identik dengan "dunia" yang lebih besar. Rumah dalam bahasa Sunda adalah imah atau bumi, dalam bahasa Indonesia sepadan dengan bumi atau dalam pengertian yang sesungguhnya yaitu dunia. Namun demikian, rumah bagi orang Sunda sebagai keseluruhan dapat dipandang sebagai memiliki sifat kewanitaan. Hal ini dapat diamati dengan adanya ucapan kumaha nu di imah 'bagaimana istri saja' yang sering diungkapkan oleh seorang suami. Ungkapan tersebut tercermin bagaimana peranan seorang wanita atau istri yang sangat menentukan di rumah, istri sebagai tuan di rumah. Dari pembagian di atas, tidak melepaskan pengertian secara makro antara prinsip kelaki-lakian dan kewanitaan tetap dominan.

Pengaturan tata ruang tradisional Sunda, tidak terlepas dari sistem pengetahuan yang tercermin dari kosmologinya, dapat dilihat dari setiap pembangunan rumah biasanya didahului dengan perhitungan-perhitungan yang didasarkan pada hari / tanggal kelahiran istri ditambah suami yang memiliki rumah tersebut. Pada saat waktu ditetapkan, maka dilakukan hajatan untuk meminta restu karuhun dan agar terhindar dari pengaruh kekuatan-kekuatan yang dianggap buruk. Dengan demikian, pengetahuan tentang tata ruang dalam pandangan manusia Sunda tampak dengan jelas memadukan konsep dunia gaib dengan dunia manusia yang menjelma kontras, tetapi saling mengisi antara dunia laki-laki dan dunia wanita.

Rumah tradisional Sunda selalu terintegrasi secara harmonis dengan bangunan-bangunan lainnya dengan alam lingkungan sekitarnya, membentuk pola pemukiman tertentu. Pola pemukiman mereka membentuk deretan rumah yang berhimpitan dua baris dan saling berhadapan, terpisah oleh satu pelataran yang berfungsi sebagai jalan. (Anwas Adiwilaga, 1975 : 55). Pelataran atau halaman (buruan) biasanya terbagi dua; halaman depan dan belakang. Halaman depan dibiarkan terbuka untuk tempat anak-anak bermain dan tempat orang tua berbincang, akan tetapi bagi wanita biasanya mengobrol di bagian belakang (dapur), dengan demikian halaman depan identik dengan daerah laki-laki. Halaman belakang biasanya merupakan tempat aktivitas wanita. Di sini terdapat sumur, kolam, dan biasa pula terdapat berbagai jenis tanaman yang berkhasiat sebagai obat dan tanaman bumbu dapur. Di daerah Priangan, peranan sumur dan kolam sangat penting, karena keduanya berhubungan dengan air yang memiliki kaitan erat dengan kepercayaan akan kesuburan atau dunia bawah (Hiding, 19121, Weesinmg, 1978 :55)

Bentuk bangunan rumah Sunda biasanya berbentuk panggung, berdasarkan pandangan kosmisnya, kedudukan secara makro dalam jagat raya ini terletak di antara dunia bawah dan dunia atas, maka dengan demikian rumah berada di daerah netral yang merupakan penghubung di antara dua dunia tadi. Manifestasi rumah panggung tadi, mengingatkan kita pada saung ranggon yang tingginya mencapai 4 meter, menunjukkan bahwa manusia Sunda adalah peladang (ladang = huma) di mana arti imah identik dengan huma.

Tidak ada ketentuan khusus tentang letak dan arah menghadap rumah, hanya di kalangan masyarakat tertentu, rumah menghadap ke suatu arah yang dianggap lebih tinggi derajatnya, misalnya di Kampung Naga, menghadap arah utara-selatan, karena menghadap kepada tukuh kampung atau pancer kampung. Di Baduy rumah membujur utara-selatan, sedangkan pintu rumah menghadap barat-timur, hal ini disebabkan letak sasaka domas yang ada di daerah sebelah selatan (Saleh Danasasmita, 1986 :54). Letak rumah di Kampung Pulo (Garut) menghadap utara-selatan, sedangkan atapnya membujur arah timur-barat, hal ini dimungkinkan karena adanya makam "Embah Arief Muhammad" yang dianggap sebagai pancer. Di daerah Indramayu, rumah harus menghadap ke gunung, mengingatkan pada konsep kaja-kelod di kalangan orang Bali yang beragama Hindu-Bali.

Konsep dasar pembagian ruang pada rumah tradisional Sunda, berlaku klasifikasi dua, yaitu ruang tepas 'depan' dan ruang belakang; terdiri atas ruang padaringan 'tempat menyimpan beras' dan dapur. Di antara kedua ruang tersebut ada ruang pemisah atau ruang antara, yaitu ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang penghubung. Tepas adalah ruang laki-laki, berfungsi sebagai tempat menerima tamu, walaupun wanita boleh masuk ke ruangan ini. Ruang tengah 'tengah imah' merupakan daerah netral digunakan untuk berkumpul seluruh anggota keluarga, mereka berbaur di tempat ini, dan berfungsi pula sebagai penghubung antara ruang tepas 'depan' dengan ruang belakang 'dapur'. Ruang pangkeng 'tidur', merupakan kategori daerah wanita dan sangat dominan menggambarkan ciri kewanitaan. Siapa pun dilarang masuk ke dalam ruangan ini, kecuali suami istri. Ruang tidur ini biasanya terletak di sebelah kanan agak menyudut dari arah kamar. Secara struktural letaknya agak menjauh dari ruang padaringan dan ruang tamu yang biasanya terletak di daerah tepas yang agak menjorok ke arah sudut kiri.

Ruang belakang terdiri atas dua ruang utama, yaitu padaringan dan dapur, letaknya yang lebih umum di arah timur-barat. Dunia wanita dalam klasifikasi ruang tercermin di daerah ini, di mana beras tersimpan dan sesajen tersedia untuk para lelembut ‘Nyi Sri yang memiliki sifat kewanitaan', laki-laki sama sekali dilarang masuk ke area ini, pamali 'tabu', karena baik sesajen dan penempatan beras di dalam ruangan ini ditata dan dibuat oleh wanita. Begitu pula dengan ruang dapur adalah ruang segala aktivitas

Perlu dijelaskan di sini, bahwa meskipun telah diungkapkan bahwa rumah itu mengandung daerah laki-laki dan daerah wanita secara jelas, namun dalam cara memandang rumah itu dengan unit-unitnya yang lain bergantung pula pada konteksnya. Jadi dalam beberapa hal dapat pula dipandang rumah itu memiliki sifat laki-laki dan wanita, tetapi dalam konteks yang lain dapat bersifat salah satu.

Seperti telah dipaparkan di depan bahwa rumah secara makro merupakan lambang kewanitaan, terlihat dalam tata cara mewariskan rumah, di mana rumah tersebut jatuhnya kepada anak wanita dan atau kepada menantu wanita. Begitu pula dalam tata cara membangun rumah dan pindah memasuki rumah baru, biasanya perhitungan hari baik/buruk didasarkan pada hari kelahiran istrinya yang akan membangun rumah, sehingga pembangunan rumahnya dimulai dengan membangun padaringan.

Pembagian dua terhadap ruang-ruang rumah dan halaman menjadi daerah laki-laki dan daerah wanita yang dibatasi oleh ruang/daerah netral itu, harus dilihat sebagai kategorisasi yang bersifat ritual dan fungsional. Misalnya laki-laki secara adat tidak boleh masuk ke dalam padaringan, karena ruang tersebut hanya diperuntukkan bagi kaum wanita. Daerah padaringan identik dengan Dewi Sri, 'dewi padi' yang memiliki sifat kewanitaan. Makhluk-makhluk halus (dedemit, jurig, ririwa, kelong) yang bertalian dengan dunia di luar rumah, cenderung bersifat laki-laki dan dengan demikian harus dihadapi oleh laki-laki pula.

Ornamen dan Ukiran

Dalam pencarian bentuk ragam hias tradisional Sunda, terutama pola ukirannya, maka para seniman pun putar otak, mencari acuan bentuk. Seperti yang diungkapkan oleh R. Adolf lewat bukunya "Handleiding voor Deciratief Teekenan" (1928), ragam hias Pasundan bermotifkan tumbuh-tumbuhan menjalar, berhiaskan daun, bunga, dan buah-buahan. Di tengah, pojok, dan ujung hiasan atau ukiran terdapat kujang berpasangan yang bentuknya telah distylisir dengan serasi.

Bila hiasan itu berupa binatang, maka selain burung, bentuk maung dianggap mewakili gaya ragam hias Pasundan. Kepala dan wajah maung sering menghiasi sandaran dan tangan kursi zitje. Sedangkan bentuk jari kuku maung, menghiasi kaki meja dan kursi. Tapi bagaimanapun juga motif ragam hias tadi cuma hasil raba-raba. Belum menemukan bentuk ragam hias tradisional Sunda !

Pencarian bentuk ukiran atau ragam hias tradisional Sunda telah lama diamati oleh Andrian Holle. Seorang Tuan Belanda yang keranjingan budaya Sunda. Ia yang sehari-hari berbusana cara pribumi, amat paham dan lancar menggunakan bahasa Sunda. "Ia bicara lebih Sunda dari orang Sunda", menurut Eduard Julius Kerkhoven yang masih paman dari KAR Bosscha, warga kehormatan Bandung tempo doeloe.

Keluarga Holle yang malang melintang di daerah Kabupaten Garut, memiliki perkebunan teh di Cisurupan dan Parakan Salak (Sukabumi). Andrian Holle memiliki 'mooye paggers en bloemsheeters' (pagar indah dan taman bunga) tulis Kerkhoven (Rob Nieuwenhuys, "Komen en Blijven Tempo Doeloe", 1982)

Yang dimaksud dengan 'mooye paggers' ternyata, berupa pagar tembok rendah, berlubang-lubang menyerupai bentuk susunan 'sisik ikan', seperti yang kini menghiasi tembok luar kompleks pendopo Kabupaten Bandung di Alun-alun. Pada masa sebelum perang, tembok dengan hiasan 'sisik ikan' terdapat hampir di sekeliling Alun-alun, terutama memagari bangunan mesjid Agung Bandung alias 'Si Bale Nyungcung'.

Ada beberapa catatan pendapat, tentang motif hiasan berlubang-lubang pada tembok di sekeliling Alun-alun Bandung, dan juga ditemukan di beberapa daerah Tatar Priangan itu:

1. Air atau 'Cai' dan 'Ikan' yang hidup di balong, sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Sunda, sehingga tidaak mustahil bila ada sementara orang menyatakan bahwa, motif 'sisik ikan' merupakan ragam hias tradisional Sunda.

2. Sedangkan Prof. Kemal. P. Wolf Schoemaker dalam tulisannya tentang "Keboedayaan Islam" (1935) menyatakan, bahwa hiasan tersebut bermotif lengkungan 'tapak kuda' yang amat digemari di negri-negri Islam, terutama di negri Magribi.

3. Tentang motif hiasan yang menyerupai 'sisik ikan' atau lengkung 'tapak kuda', sebagian orang lainnya berpendapat, bahwa hiasan itu lebih mirip susunan lengkung 'katumbiri' (pelangi atau bianglala). Katumbiri atau pelangi yang merona warna-warni, amat disenangi oleh masyarakat Sunda yang gemar hidup dan berbusana serba berwarna cerah (Bld: Kleuring / Ingg: colourful). Ungkapan rasa kagum akan kehidupan pelangi yang memantulkan warna-warni alami, tersirat dalam lirik Tembang Sunda 'Kuwung-Kuwung' berikut ini:

Kuwung-kuwung nu melengkung / cahayana lir emas sinangling / katingalna warna-warna / Cahaya gilang gumilang / Henteu bosen nu ningali / Lenglang taya aling-aling / Lenglang taya aling-aling / Warna paul anu lucu / Hejona pon kitu deui / Beureum koneng cahayana / Lir emas anyar disanggih / Lamun dicipta ku rasa / matak katarik birahi / Cahya sa bumi alam / ting gurilap cahyana / Numutkeun ku saur sepuh / Wangsitna seuweu siwi / baheula dumugi ka kiwari / yen aya sasakala.

‘Keindahan yang terungkap dalam lirik tembang Sunda "Kuwung-Kuwung" tadi, terekspresikan pula dalam ragam hias yang terdiri atas susunan lengkung-lengkung 'bianglala', yang bertaut selang seling secara rapih dan serasi. Satu rangkuman bentuk lahiriah yang mengandung makna simbolis yang mendalam’.

Sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Dr. Haryati Soebadio, bahwa kita tidak perlu terlalu menjlimet mempertanyakan asal-muasal ragam hias tadi. Maka dalam rangka pencarian bentuk ragam hias tradisional Sunda, kiranya motif 'sisik ikan' tadi dapat menghiasi kembali pagar tembok Mesjid Agung Bandung yang kini telah direnovasi.