Kamis, 22 Oktober 2009

Kala Sunda dan Orang Awam

Oleh NANDANG RUSNANDAR

"LAUK buruk milu mijah" itulah peribahasa yang cocok ditujukan kepada Sdr. Irfan Anshory yang menulis tentang "Mengenal Kalender Hijriah" dimuat pada Harian Pikiran Rakyat pada hari Sabtu tanggal 28 januari 2006, karena beliau kurang mengetahui apa yang dimaksud dengan Kala Sunda. Kala Sunda ditelaahnya hanya sepotong-sepotong (!?).

Saya ingat benar kata-kata Cak Nun, "Apabila kita akan berbicara sesuatu, maka pelajari dan hatamkan dahulu sesuatu". Begitu pula dengan Kala Sunda, pelajari dan hatamkan Kala Sunda, baru kita bicara Kala Sunda yang sebenarnya. Bila dipelajari dengan seksama akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif apa dan bagaimana ia yang sebenarnya, sebelum kita memvonis sedemikian rupa. Mudah-mudahan tulisan ini merupakan ajakan bagi Sdr. Irfan Anshory untuk lebih mengenal Kala Sunda dengan benar, sebenar ia mengenal kalender Hijriah sebagai perbandingan ilmu. "Iqro, iqro, iqro!" Itulah sepenggal wahyu pertama untuk Nabi Muhammad dari Malaikat Jibril. Iqro yang holistic akan membuka cakrawala pemikiran yang lebih objektif lagi.

Ada beberapa hal yang perlu diketahui dengan benar untuk Sdr. Irfan Anshory, semisal pertama, siapa pencipta Kala Sunda itu. Abah Ali bukan seorang pencipta, melainkan ia hanya seorang yang menemukan kembali titinggal karuhun Sunda yang telah ditinggalkan begitu lama. Karena bila Abah Ali seorang pencipta kalender Sunda, maka ia harus sudah hidup ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, karena Kala Sunda
sudah dipergunakan, seperti dalam Prasasti Batu Tulis di Bogor (Prasasti Sri Jayabupati), yang kemarin ribut digali oleh seorang menteri agama (menurut kepercayaan Islam, harusnya menteri tersebut termasuk orang yang musyrik, karena mempercayai hal yang berbau tahayul). Dalam batu tulis tersebut tertulis tanggal yang sempurna

//O// Swasti cakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadaci cuklapaksa. Ha. Ka. Ra. Wara tambir...." Selamat. Dalam tahun Saka 952 Bulan Kartika tanggal 12 bagian terang hari hari yang Kaliwon - Ahad – Wuku Tambir...." Tanggal 12s Kartika 952 C, bertepatan dengan tanggal 7 Juli 1045 M.

Kedua, akurasi Kala Sunda, bukan main hebatnya. Menurut perhitungan astronomi tertanggal 1 Januari 2000 dinyatakan bahwa umur satuan tahun rata-rata 365.24218967 per hari per tahun rata-rata, sedangkan Kala Surya Sunda 365.2421875 hari per tahun rata-rata, jadi ada kekurangan 0.0000027 hari per tahun rata-rata. Angka ini bila kita kalikan 460829.49308756, hasilnya 1 (satu) artinya bahwa 460830 (empat ratus enam puluh ribu delapan ratus tiga puluh) tahun akan ada perbedaan atau geseran 1 (satu) hari, merupakan tahun panjang 366 hari. Jadi akurasinya Kala Sunda adalah 460830 tahun baru geser satu hari. Hebat bukan? Mana ada kalender yang seakurasi seperti ini?

Apakah betul Kala Sunda merupakan modifikasi dari berbagai kalender yang ada? Dengan melihat akurasi sedemikian hebatnya, benarkah Kala Sunda seperti pinang dibelah dua dengan Kalender Jawa? Ah..... kelihatannya sih memang sama, tapi bila dilihat dengan seksama akan terlihat jelas bedanya. Atau betulkah kalender Hijriah begitu
akuratnya? Ah, yang benar saja, mungkin karena penulis tidak mempelajarinya dengan seksama. Ketetapan tarikh Masehi setelah diperbaiki ialah 3.333 tahun, sedangkan tarikh Saka 460830 tahun itu jelas bedanya.

Ketiga, Bila kita mempelajari Kala Sunda dengan seksama, kita akan mampu mengubah tanggal sejarah yang ada di Indonesia. Apa sebab? Hampir semua sejarawan tidak melihat perbedaan antara tanggal Caka dan Saka. Padahal, dalam kala itu ada yang berpatokan pada Kala Surya "Matahari" dan Kala Candra "Bulan", ini merupakan koreksi demi lurusnya sejarah kita.

Dalam putaran sejarah, kita mengenal adanya kalender Hijriah dan Masehi. Pada waktu Islam menguasai pulau Jawa, yaitu pada zaman Mataram, penanggalan menjadi tidak tertib dan semrawut. Hal itu disebabkan penanggalan Hijriah bercampur dengan penanggalan Caka. Sultan Agung berusaha untuk menertibkan masalah ini. Dilakukanlah
penelitian oleh para empu, ahli nujum, pujangga, ulama, dan lain-lain yang akhirnya diputuskan untuk membuat satu sistem penanggalan baru.

Penanggalan ini merupakan gabungan 3 (tiga) sistem penanggalan yang ada saat itu yaitu Kala Candra Caka Sunda, Kala Surya Saka Sunda, dan Kala Hijriah. Kalender itu mengambil angka tahun dari Kala Surya Saka Sunda, ialah tahun 1555, nama bulan, hari, dan tanggal diambil dari kala Hijriah, sedangkan tata cara perhitungan penanggalannya diambil dari Kala Candra Caka Sunda. Naman-nama lain seperti wara, wuku, windu
tetap dipergunakan. Sedangkan nama tahun dalam sewindu diganti dengan nama baru yang berbau Arab, seperti Alip, He, Jim awal, Je, Dal, Be, Wau, dan Jim ahir, yang tadinya berasal dari nama binatang. Perbedaan itu terlihat seperti:

Sunda: Manis, Pahing, Pon, Wage, Kaliwon
Jawa : Wage , Kaliwon, Manis, Pahing, Pon.

Penetapan tanggal persemian bersamaan juga pada saat peresmian Keraton Mataram pada hari Jumat Manis/Legi (Jawa), tanggal 1 Muharam tahun Alip 1555, Windu Kuntara, Wuku Kulawu, Wukukumasa Prangbakat, masawuku Kasanga. Tanggal ini bersamaan dengan 1 Muharam 1043 Hijriah dan bersamaan pula dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi. Dalam buku Primbon Adji Caka Manak Pawukon 1000 taun:

"Bareng saadening karaton Djawa Islam ing Mataram, ing sadjumenenge Sri Sultan Agung Prabu Anjakrakusuma, ana kaparenging karsa Nata jasa taun Djawa, awewaton taun Kamariah ija iku taun mitutut petungan rembulan, kang bisa njakup antarane kabudajan. Hindu lan Arab bareng paugeraning Taun Djawa iku wis kalakon kaangit kalajan mupakate para sudjana sardjana ahlum nujum, bandjur wiwit katindakake tumapake ana ing nusa Dja lan madura (kadjaba ing Banten kang orang kelebu wilajah Mataram)..."

Penanggalan baru ini diberi nama Kala Jawa Islam yang biasa disingkat dengan Kala Jawa, Tarikh Jawa, Alamanak Jawa, Tahun Jawa atau Tahun Saka. Peresmian itu dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram, wilayahnya meliputi daerah Mataram dan seluruh daerah bawahannya. Di Jawa Barat hanya Banten yang tidak termasuk bawahan Mataram, maka Banten tidak memakai penanggalan Jawa ini.

Apabila kita bandingkan antara tanggal peresmian Kalender Jawa tahun 1555 C dengan penanggalan yang dipergunakan dalam Batu Tulis Sri Jaya Bupati di Bogor yang berangka tahun 952 C. Jadi adanya Kala Sunda lebih dahulu dibanding dengan Kala Jawa yang baru diresmikan, sekira 606 tahun perbedaannya. Waduh jauh sekali keberadaannya antara Kala Sunda yang sudah dipakai oleh karuhun kita dengan Kala Jawa yang baru
diresmikan oleh Sultan Agung. Katanya kaya pinang dibelah dua? Benarkah begitu?

Perjalanan sejarah dilanjutkan oleh torehan penjajahan Belanda (VOC), maka Kala yang resmi dipergunakan adalah Masehi. Apabila penelitian yang berkaitan dengan tahun saka maka sejarawan selalu menambahkannya dengan angka 78. Kenapa? Orang Belanda yang ahli "timur" yang bernama Dr. Dubois M. Engina F. (1858-1940) yang menemukan fosil-fosil di Jawa, beranggapan bahwa awal kala Mataram sama dengan Saka India
diambil dari tahun yang terdapat dalam Tahun Saka Surya saat itu ialah 1555.

Angka inilah yang dijadikan awal tahun Mataram, yang bersamaan dengan tahun Masehi 1633 Masehi. Selisih kedua tarikh ini adalah 78 tahun. Angka ini sama dengan selisih tahun Saka India dengan Masehi, maka di sini pulalah kerancuan dimulai. Semua dianggap tahun Saka, padahal ada yang berdasarkan Candra dan Surya, itu sangat berbeda. Karena kita lihat lagi bahwa memindahkan tahun Caka ke tahun Masehi tidak hanya dengan menambahkan angkat 78 tahun saja, sebab dalam sejarah kita banyak menggunakan Kala Candra, seperti kalau dipindahkan ke tahun Hijriah dapatlah ditambah dengan angka 515 tahun, sebab mempergunakan perhitungan candra. Nah angka tanggal sejarah yang kini ada pun harus berubah.

Satu tahun Kala Surya umurnya 365 hari, sedangkan Kala Candra umurnya 354 hari, jadi ada perbedaan kira-kira 11 hari. Bila 1.000 tahun x 11 hari = 11.000 hari: 354/tahun = kira-kira 31 tahun perbedaannya. Maka jika kita melihat Tahun 0001 Caka Sunda itu bukan 0079 Masehi Julian, melainkan tahun 122 Masehi Julian.

Keempat, Sebagai bahan iqro untuk memperdalam kekayaan Sunda yang tidak hanya kalender saja, penulis mengajak semuanya untuk menengok sejarah. Ketika Ki Sunda dahulu membuat kalender ribuan tahun yang lalu, maka umur Ki Sunda sudah sangat tua. Hal itu terbukti dengan penemuan baru yang dimuat dalam harian ini pada tanggal 23-24 Januari 2001 "Ditemukan Bukti Keberadaan Benua Atlantis" Oleh Winda D. Riskomar. "Diduga keterkaitan masyarakat Atlantis dengan Indonesia, yang pada waktu itu bernama Sunsa-Dwipa..." (Sunda = Sunda, Dwipa = Pulau, Sunsa Dwipa = Pulau Sunda; penulis & Bah Ali). Jadi menurut keterangan di atas, umur Ki Sunda sebanding dengan Masyarakat Atlantis yang hilang.

Nah, ketika itu, masyarakat Sunda pasti sudah megenal "basa" Hal itu terbukti semua benda yang ada di Sunda pasti mempunyai nama. (Dalam penataran Dialektologi tahap I Juni-Agustus 1976-Proto Austronesia Etyma Constituting An Austronesian Cognate List, oleh Dr. Bernd Nothofer, digambarkan bahwa Porto Sundic (Sunda) adalah induk bahasa Melayu, Madura, Bali, Jawa, dsb.) Jelas di sini bahwa Ki Sunda sebelum bisa mengutak-atik kalender, mereka sudah menguasai "Calistung": membaca, menulis, dan berhitung. Menulis dengan aksaranya sendiri bukan berguru dari bentuk tulisan orang lain, dan berhitung pun sudah mengenal apa yang kita disebut perhitungan secara matriks, atau
istilah Sunda Biras. Bukti penggunaan perhitungan secara matrikh dapat dilihat dalam bahasa, karawitan, dan kalender itu sendiri.

Dengan adanya tulisan ini, maka penulis berharap bagi masyarakat Sunda, perlu identitas primordial yang dijadikan suatu ikatan kebersamaan. Dalam hal ini Kala Sunda yang diciptakan Karuhun harus menjdai suatu pride dan obligation bagi Ki Sunda sendiri.

Kita harus membuat konsensus bersama yang sangat esensial dalam melestarikan Kala Sunda ini, sebagai pembentuk identitas kolektif bangsa. Kala Sunda harus menjadi sumber inspirasi dan aspirasi generasi muda Ki Sunda. Dengan adanya kalender ini harus menjadi tolok ukur masyarakatnya, seperti apa yang dikemukakan dalam "Winkler Prins Ensiklopaedie Zesde Gegeel Nieuwe Druk. 1951", "Umumnya, dengan adanya kalender atau penanggalan di sebuah masyarakat jadi bukti untuk mengukur derajat peradabannya, karena ketelitian pananggalannya memperlihatkan ukuran tingkatan epintaran/intelektual masyarakatnya".

Semoga.***

Penulis, Pemerhati Sosial Budaya Sunda.

1 Feb 2006