Kamis, 10 Desember 2009

BUDAYA DAN FALSAFAH SUNDA KONTRIBUSINYA DALAM MENGHADAPI DISINTEGRASI SOSIAL

Oleh : Nandang Rusnandar


Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke,
aya ma baheula aya tu ayeuna,
hanteu ma baheula hanteu tu ayeuna,
hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang,
hana ma tunggulna aya tu catangna

‘Ada dahulu ada sekarang, tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang;
ada masa lalu ada masa kini,
bila tidak ada masa lalu tidak ada masa kini,
ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak akan ada batang,
ada tunggulnya tentu ada catangnya’

Amanat dari Galunggung


Tukilan kalimat Karuhun yang tertuang dalam Naskah Amanat Dari Galunggung, yang mengingatkan kita akan akar budaya yang harus tetap dipelihara untuk kesinambungan antara generasi ke generasi dan kesadaran sejarah. Kesadaran tersebut terus dituntut agar kita tidak tercerabut dari akar budaya yang telah lebih dahulu mapan pada jamannya.
Akhir-akhir ini Bangsa Indonesia dilanda krisis yang sangat memprihatinkan. Keadaan ini diperparah lagi dengan situasi dan krisis perekonomian yang menghimpit seluruh rakyat Indonesia, situasi politik dan pertarungan elite politik di pusat pemerintahan, terus melanda ke daerah-daerah. Krisis disintegrasi malah mengedepan di daerah-daerah, sehingga muncul berbagai polemik, meminta referendum, otonomi bebas atau merdeka ? Kesalahan fatal yang terjadi kini cukup signifikan, yaitu dengan diberlakukannya otonomi di TK II, padahal yang paling penting dan cukup mendesak untuk persatuan RI ini adalah sistem federasi bagi setiap daerah TK I di seluruh Nusantara.
Sistem federasi cukup untuk mengakomodasi gejolak yang sedang marak di mana-mana, karena hal itu dapat memberikan keleluasaan bergerak dan mengangkat potensi daerahnya masing-masing untuk mengembangkan diri sesuai dengan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alamnya. Pembagian 75 dan 25 untuk pusat cukup untuk memberikan solusi, bahwa setiap daerah tidak merasa diperas pusat dalam hal eksploitasi SDA-nya. Sedangkan kini, bagi setiap daerah dirasakan ketidakadilan dan bahkan mereka merasa bahwa daerah hanya merupakan sapi perah yang terus menerus dieksploitasi. Sementara di daerahnya sendiri pembangunan tidak dirasakan.
bagaimana dengan Jawa Barat ? Imbas terhadap Jawa Barat sebagai daerah yang saampar samak dengan Ibukota RI - sungguh merupakan imbas yang tak dapat dilepaskan begitu saja. Jawa Barat sebagai hinterland dari ibukota, sangat berat dirasakan. berbagai upaya pemerintah mencari solusi, namun yang nampak hanya kamulflase yang pada akhirnya tetap tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Jawa Barat. Akibatnya, Banten meminta referendum untuk menjadi propinsi tersendiri. Benarkah demikian ? Apabila itu terjadi, maka rangkaian benang sutra kini mulai menipis dan poada suatu saat pasti terputus apabila hal itu tiudak cepat-cepat diatasi dengan baik.
Tetapi kita ingat bahwa di balik krisis itu terdapat dua makna yang tak dapat dipisahkan, yaitu ancaman dan peluang. Maka keduanya perlu kita siasati agar dapat menuju ke arah keadaan yang lebih baik.
Perjalanan Bangsa Indonesia, kni sedang menuju ke Indonesia Baru. Berbicara mengenai Indonesia Baru, maka tak lepas dari Jawa Baru, Sunda Baru, kini masyarakat Jawa Barat harus mampu menghidupkan spirit Jawa Barat Baru dengan latar belakang budaya dan sejarah yang dimilikinya. Perlu pengadopsian nilai-nilai karuhun yang telah disosialisasikan dahulu dan dijadikan pegangan hidup untuk survive.
Salah satu elemen penting dalam menghadapi masalah besar tersebut, dengan memanfaatkan sikap kepemimpinan yang berbasis Back to Karuhun diharapkan dapat menciptakan kesatuan wawasan yang berorientasi pada upaya pemecahan masalah disintegrasi sosial yang semakin meruncing. Juga dalam hubungan ini, sikap dari individu diharapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif dalam membentuk opini masyarakat terhadap sence of belonging ‘rasa saling memiliki’ dan sence of aproud ‘rasa kebanggaan’ terhadap budaya daerahnya. Sehingga Bangsa Indonesia dengan motto Bhineka Tunggal Ika ‘Kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan’ . Motto ini sudah harus diubah dengan persatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam persatuan. Dan gejala disintegrasi sosial mudah-mudahan hanya merupakan fenomena reformasi yang tidak perlu meruncing dan menjadikan kita terpecah. Biarlah fenomena itu merupakan bayang-bayang sebagai ungkapan rasa keterbukaan dari sikap yang primordial dan feodalistik. Saling bagi rasa dalam penghayatan dan pengembangan budaya daerah itu perlu terus ditumbuhkembangkan sehingga terwujud dalam bentuk kebudayaan nasional yang mampu hidup dalam kancah yang mensejagat.
Mari kita sepakati bahwa dengan mengerti dan membanggakan budaya lokal, bukan berarti agul ku payung butut ‘membanggakan hal yang sudah usang’, melainkan kita harus menemukan benang merahnya agar dapat menjawab apa makna di balik kearifan Karuhun yang mampu mengatasi ancaman dan tantangan yang sedang kita hadapi sekarang ini.
Kecemburuan sosial dan perpecahan masyarakat yang berlatar ekonomi, atau karena meluasnya jurang pemisah antara pusat dan daerah disebabkan era reformasi yang digulirkan, menimbulkan disintegrasi nasional. Ketegangan dan pertentangan sosial yang kini terjadi itu, biasanya bersifat sementara menjelang tercapainya proses penyesuaian kembali ‘readjusment process’ tata kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Hal itu memerlukan perhatian dan pembinaan yang memadai untuk mencapai hasil sesuai dengan tujuan pembangunan bangsa.
Perhatian terhadap pengembangan perangkat nilai dan elan vital budaya bangsa yang dapat mengikat dan memperkuat persatuan dan kesatuan seringkali tertunda kalau tidak dilupakan sama sekali. Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, proses pembangunan bangsa atau integrasi nasional justru menuntut perubahan, pergeseran, penyesuaian, dan juga pengembangan nilai-nilai budaya baru. Sesungguhnya perkembangan kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia yang majemuk sejak proklamasi kemerdekaan itu berlangsung amat cepat dan menimbulkan dampak sosial budaya yang amat luas. Sehingga C. Greetz (1963) menyebutnya sebagai ‘integrative revolution’. Proses itu memperluas kesadaran akan kesamaan dan perbedaan primordial dalam kelompok-kelompok sosial yang terbatas ke arah persatuan yang lebih luas dalam kerangka keterpaduan masyarakat bangsa. Bagi bangsa Indonesia, revolution integrative itu mengandung arti bahwa ikatan kelompok primordial yang dilandasi oleh hubungan kerabat, keagamaan, dan kebahasaan setempat meluas ke dalam kelompok yang lebih besar yang melihat keseluruhan masyarakat bangsa. Sehingga keberhasilan pembangunan bangsa atau integrasi nasional dalam masyarakrat majemuk dapat diartikan sebagai pergeseran ikatan primordial yang tradisional dan bersifat lokal ke arah identitas nasional yang baru.
Jawa Barat yang kaya akan nilai-nilai budaya dan falsafah hidup, sangat diharapkan mampu mengisi dan menjadi anutan bangsa Indonesia pada tatanan dan tataran Indonesia Baru; di mana di dalamnya pasti ada Jawa Barat Baru dan Sunda Baru -- yang kita songsong di depan. Salah satu nilai budaya dan falsafah Sunda itu adalah: Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh ‘Tri Silas’. Merupakan motto yang sangat melekat pada hati setiap individu masyarakat Jawa Barat. Tri Silas ini merupakan sebuah sistem yang harus menjadi pedoman setiap individu dalam menghadapi segala bentuk fenomena kehidupan ini, baik di lingkungan terkecil (keluarga) maupun dalam kancah yang lebih luas lagi (negara); apalagi dalam menghadapi situasi dan kondisi seperti sekarang ini.
Segala upaya harus diusahakan dengan tata cara yang benar titih rintih nete taraje nincak hambalan, nyusun jeung ngentep seureuh. Dapat disimpulkan dalam kata yang lebih populer yaitu PROPORSIONAL dan PROFESIONAL.
Dalam kitab kuno orang Sunda -- yang dahulu menjadi sebuah pegangan dalam hidup dan berkehidupan,-- yaitu nasihat dari Rakeyan Darmasiksa kepada putranya SangLumahing Taman dan bahkan kepada kita semuanya yang menyatakan bahwa, bila tanah air ini dikuasi oleh orang lain maka lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah daripada tanah air yang pada akhirnya jatuh ke tangan orang lain. Lebih jelasnya :Lamun miprangkeuna kabuyutan na Galunggung, antuk na kabuyutan, awak urang na kabuyutan, nu leuwih dipraspade, pahi deung na Galunggung, jaga beunangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lampung, ku sakalih, muliyana kulit lasun dijaryan, madan rajaputra, antukna beunang ku sakalih.../ ( Koropak 632, Amanat Glunggung)
Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di kabuyutan. Apa-apa yang lebih sulit dipertahankan dirapihkan semua dengan yang di Galunggung. Cegahlah terkuasinya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah daripada bila kabuyutan akhirnya jatuh ke tangan orang lain.
Kehidupan yang mensejagat sangat memungkinan nilai-nilai manusiawi yang terkandung dalam budaya Sunda yang selama ini menjadi pedoman masyarakat Sunda, akan terkikis bahkan lenyap ditelan nilai-nilai baru yang belum tentu sesuai dengan fitrah Ki Sunda. Untuk itu diperlukan usaha menggali dan mentransformasikan nilai-luhur Ki Sunda yang selaras ke dalam kehidupan modern. Ini memerlukan kaberanian serta kemampuan yang terus menerus dari para pemangku budaya dan pemangku kebijakan.
Gejala disintegrasi yang muncul pada akhir-akhir ini, mungkin juga karena wawasan akan budaya di antara kita belum mantap. Sebagai upaya pembinaan dan pengembangan nilai-nilai budaya perlu dilakukan penyebarluasan informasi tantang latar dan kehidupan sosial budaya masyarakat dari berbagai budaya dengan segala dinamikanya.
Sehingga proses otonomi daerah yang seluas-luasnya, menuntut kepada para pemangku kebijakan di masa yang akan datang untuk merujuk ke akar budaya dalam setiap gerak dan dinamikanya. Hal itu disebabkan budaya daerah akan lebih dominan dan lebih berperan dalam mengatasi proses globalisasi.

Sebagai panutup dari tulisan ini, mari kita cermati lebih dalam lagi peringatan Karuhun kita yang baru-baru ini ditemukan pada sebuah prasasti di Kawali - Panjalu Ciamis (Prasasti Kawali VI) yang berbunyi : Ini peureu tigal nu atisti rasa aya ma nu ngeusi dayeuh iweu ulah batenga bisi kakereh ‘Ini tulisan peninggalan orang yang mendalami ilmu, semoga ada orang yang mengisi kota ‘generasi penerus’, jangan lengah atau banyak tingkah agar tidak celaka’.


Daftar Pustaka :
  • Dr. Anhar Gonggong. 1998. Wawasan Keanekaragaman Lingkungan Budaya Mempengaruhi Jatidiri Bangsa. (Makalah)
  • Drs. Atja dan Drs. Saleh Danasasmita. 1981. Sanghyang Siksakanda Ng Karesian. “Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 Masehi”. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  • Drs. Atja dan Drs. Saleh Danasasmita. 1981. Amanat dari Galunggung “Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong Garut”. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  • Prof. Dr. Budhisantoso. 1991/1992. Pengembangan Kebudayaan Nasional Menjelang Tinggal Landas. (Makalah)
  • Drs. Hidayat Suryalaga. Jati Diri, Sikap dan Nilai-nilai Budaya Sunda “Upaya Mencari Kiat untuk Menemukenali Jatidiri, Sikap dan Nilai Budaya Sunda dan Upaya Transformasinya”. (Makalah, 15-16 Juli 1997)
  • Undang-Undang Dasar RI 1945
  • Drs. Nandang Rusnandar. 1999. Prasasti Kawali VI. (dalam Kawit No. 52 1999)

SAWANGAN KANA AJEN INAJEN NU DIKANDUNG DINA KECAP SUNDA [Numutkeun leksikografis, etimologis, semantis, heurmanetik]

Ku : Nandang Rusnandar


Aya sababaraha harti kecap Sunda nu kapanggih dina hasil panalungtikan, di antarana wae nu kacatet tina buku Drs. R. Mamun Atmamihardja (Sajarah sunda I. 1956) hasil anjeunna nyukcruk tina rupi-rupi kamus, harti kecap Sunda teh nyaeta :

A. Dina Basa Sansakerta :

SUNDA, jangkar kecapna Sund, moncorong, caang. SUNDA, jenengan Dewa Wisnu. SUNDA, jenengan satria buta (daitya) dina carita Upa Sunda sareng Ni Sunda. SUNDA, satria wanara dina carita Ramayana SUNDA, tina kecap cuddha SUNDA, ngaran gunung di kalereun Bandung (Prof.Berg)

B. Dina Basa Kawi :

SUNDA, hartosna cai -SUNDA, hartosna tumpukan SUNDA, hartosna pangkat SUNDA, hartosna waspada

C. Dina Basa Jawa :

SUNDA, hartosna nyusun SUNDA, hartosna ngarangkep SUNDA, tina candra-sangkala hartosna dua (2) SUNDA, tina kecap ‘unda’ hartosna naek SUNDA, tina kecap ‘unda’ hartosna ngapung

D. Dina Basa Sunda :

1. SUNDA, tina sa-unda tina sa-tunda, hartosna tempat pare, (leuit).

2. SUNDA, tina s o n d a, hartosna alus

3. SUNDA, tina s o n d a, hartosna punjul

4. SUNDA, tina s o n d a, hartosna senang

5. SUNDA, tina s o n d a, hartosna sugema

6. SUNDA, tina s o n d a, hartosna panuju

7. SUNDA, dina sundara, hartosna lalaki kasep, tegep.

8. SUNDA, dina sundari, hartosna awewe geulis

9. SUNDA, dina sundara, jenengan Dewa Kamajaya

10.SUNDA, hartosna endah.

Upami dietang kecap Sunda teh numutkeun papayan etimologi aya 25 hartos. Tiasa jadi baris nambihan deui saupami leukeun mapay kamus basa sanesna, upami bae dina kamus Basa-Kawi-Perancis, hartos kecap Sunda nya eta ‘Kacida pisan endahna tur hejo ngemploh’ (Viviane Sukanda Tessier, dina diskusi pengamat Kabudayaan, 1990).

1. SUNDA, jangkar kecapna sund (bandingkeun sareng sun- B.Inggris nu hartina panonpoe), caang, moncorong, cahayana maparin sumber kahirupan keur sakumna mahluk.

2. SUNDA, jenengan Dewa Wisnu. Dupi pancen Wisnu teh nya eta miara alam dunya. Yen tugas Sunda teh ‘miara Alam’. "Heh manusa, ulah nyieun karuksakan anjeun di bumi", kitu pidawuh-Na

3. SUNDA, satria buta (daitya). Conto dina pawayangan nu disebat detya, nya eta Gatotkaca (putra Bima sareng Arimbi). Gatotkaca teh mibanda pasipatan nu kalintang saena teguh tanggoh tur nyatria, gede tanaga tur luhur panemuna, leber wawanen dina mancegkeun bener jeung adil.

4. SUNDA, satria wanara. ‘wana’=leuweung, ‘ra’=jelema nu hade. Tegesna jelema nu hirup di pileuweungan, di pahumaan. Pasipatanana: tara kuuleun, resep digawe, tangginas. pro aktif, aktif-kreatif (rancage) tur dinamis (binekas, binangkit).

5. SUNDA, tina kecap ‘cuddha’, tegesna putih. Kecap ‘putih’ dina basa Sunda 'clik putih, clak herang' = beresih pisan, wening, setra. ‘Lemah putih’ = uteuk nu beresih. ‘Ati putih’, teu goreng sangka, henteu suudon.

6. SUNDA, ngaran gunung nu kacida luhurna diantara G. Burangrang sareng G.Tangkubanparahu, nalika jaman samemeh aya Talaga Bandung. Ma'na kecap ‘gunung’ dina rasa Sunda, nuduheun hal nu gede, sapertos bae dina rumpaka "Papatet" pangrajah dina bubuka ieu makalah. 'Gunung tanpa tutugan' sok aya nu ngahartoskeun lambangna Kaagungan Alloh nu taya wates-wangenna. ‘Gugunungan’, lambang jagat ageung sareng jagat alit nu pinuh ku rahmat Alloh SWT. Ku kituna tetela Sunda teh ngandung sipat nu luhung, luhur.

7. SUNDA, hartosna cai. Lambang subur ma'mur. Nyaho pamiangan sareng nyaho pangbalikan (siklus; laut - saab - mega - hujan - walungan - laut).

8. SUNDA, hartosna tumpukan. Numpuk tuduh nyusun ka luhur. Teges na ngandung ma'na loba, beunghar, sarwa teu kurang.

9. SUNDA, hartosna pangkat. ‘hasilna gawe, ku kesang, ku elmu panemu’. Anu engkena nimbulkeun pangajen ti batur. Pangkat teh jadi ciri ajen inajen (kualitas) manusa.

10.SUNDA, hartosna waspada. ati-ati, pinuh ku duduga prayoga, asak jeujeuhan, matang timbangan, kahareup ngala sajeujeuh, ka tukang ngala salengkah. 'Waspada permana tingal", nyaho kana nu baris kasorang. Ieu teh jadi sahsawios sarat nu jadi pamingpin, nya eta ‘weruh sadurung winarah, awas waspada permana tingal’.

11.SUNDA, hartosna nyusun, henteu balatak pasolengkrah, ngentep seureuh, puguh gekgekanana.

12.SUNDA, hartosna ngarangkep. Dina babasan 'Boga pikir rangkepan' hartosna henteu bolostrong, dipikir heula nu asak, wiwaha.

13.SUNDA, hartosna angka 2. Angka 2 (dua), ngandung siloka-sasmita nu teu kinten jerona. 'Lalawanan : panas-tiis, suka-bungah. Papasangan ; istri-pameget, siang-wengi, itu-ieu sste. Ngenaan aworna nu dua (2), Haji Hasan Mustafa nyaurkeun; sapanjang neangan itu, ieu deui-ieu deui, sapanjang neangan bungah, susah deui susah deui,...'

14.SUNDA, hartosna naek. Kecap ‘naek’ ngagambarkeun kaayaan nu leuwih luhur, leuwih maju, leuwih hade, leuwih positip. Kecap naek tuduh kana "pagawean",

15.SUNDA, hartosna ngapung. 'Ngunda langlayangan',

16.SUNDA, hartosna alus. Kecap alus tuduh kana kaayaan nu dipikaresep.

17.SUNDA, hartosna punjul. onjoy atanapi aya leuwihna ti nu biasa. Punjul tuduh kana kualitas, kana prestasi.

18.SUNDA, hartosna senang. kana kaayaan batin, katumarimaan,

19.SUNDA, hartosna sugema. hate nu atoh tur tumarima, kulantaran nu diangen-angen (kahayang) kalaksanakeun.

20.SUNDA, hartosna panuju. tuduh yen nu dipigawe ku urang luyu sareng nu dipikahayang ku nu sanes.

21.SUNDA, hartosna lalaki kasep.

22.SUNDA, hartosna awewe geulis.

23.SUNDA, hartosna endah. tuduh kana rasa kalemesan budi (estetika). Kecap endah, ngandung harti/ma'na payus, pantes, alus, merenah.

24.SUNDA, hartosna Kamajaya. Dina mitologi Sunda, Dewa Kamajaya teh nya eta Dewa Cinta, nu nebarkeun rasa deudeuh asih.

25.SUNDA, hartosna panundaan (tempat nunda). Tiasa disebat oge ‘leuit’.

PERJALANAN SEJARAH KI SUNDA DALAM BAYANGAN MITOS PEMBENARAN

Oleh : Nandang Rusnandar
Apabila kita berbicara mengenai sejarah, maka kita berada di titik sentral perkembangan suatu masyarakat. Sebab hal itu dikatakan B.R. O’G Anderson dari Cornell University, bahwa Ilmu sejarah adalah ilmu yang memiliki kedudukan sentral dalam penelitian suatu masyarakat. Penulis pun yang bukan seorang sejarawan merasa terdorong dan tergugah dengan pernyataan ini, karena kemurnian sejarah itu sendiri. Sehingga ilmu-ilmu sosial lainnya seperti antropologi, sosiologi, ataupun ilmu politik, cenderung memberikan fotografis dari suatu saat tertentu atau suatu bagian dari masyarakat. Ini disebabkan karena sejarah menggambarkan suatu proses perkembangan dan juga menjelaskan bagaimana kita sampai tiba pada keadaan seperti saat ini.
Apabila kita melihat dengan jujur dan nurani terbuka, maka dalam melihat ilmu sejarah akan menemukan intisari ‘enas-enas’ dari sejarah itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa sejarah adalah suatu penelitian untuk melihat bagaimana masyarakat itu bergerak, berubah, berkembang, dan juga sekaligus mempersoalkan unsur-unsur dinamikanya. Namun apa yang terjadi ? Ilmu sejarah dan sejarawan selalu dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan sehingga ia -- sejarah dan sejarawan -- jauh untuk mengenal dirinya sendiri. Sebaliknya negarawan, politisi, dan juga cendekiawan selalu mengadakan appeal terhadap sejarah bangsanya -- dengan alat sejarawan -- agar dapat melegitimasi atau pembenaran kekuasaan. Pada akhirnya sejarah yang sesungguhnya benar, kini tenggelam dan terpendam oleh mitos-mitos sejarah yang dibuatnya.
Bagaimana perjalanan sejarah di Jawa Barat ? Kenyataan ini telah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, mulai dari datangnya VOC (selama 3,5 abad), dilanjutkan oleh pengaruh Mataram, Jepang, Orla selama (23 tahun) dan Orba (selama 32 tahun). Dengan kenyataan seperti itu, mari kita kembalikan lagi sejarah Jawa Barat yang sebenarnya, agar anak cucu kita (generasi mendatang) tidak lagi kehilangan jejak ‘pareumeun obor’. Dan janganlah sekali-kali menginterpretasikan ‘fill in’ Sunda oleh ilmu yang bukan Sunda, karena dampak yang akan dirasakan bahwa nuansa Sunda semakin tenggelam dalam mitos-mitos pembenaran, yang ada hanya kemasannya yang jelas-jelas bukan jati diri Sunda. Pada akhirnya enas-enas kasundaannya tidak ada.
Penelitian Sunda selalu ditutupi oleh mitos-mitos pembenaran. Hal itu tidaklah perlu heran, dan itu akan terus berlangsung bila tidak sadar akan jati diri yang sebenarnya dan melepaskan mitos pembenarannya. Hal ini telah diucapkan karuhun Sunda dalam uga.
Di Jawa Barat, ada beberapa fenomena yang menarik untuk diungkapkan, seperti bahasa Sunda bahasa tertua di dunia, Aksara Sunda, dan Kalender Sunda. Bahasa Sunda merupakan bahasa tertua dari Proto Sundic yang jadi akar bagi bahasa-bahasa yang ada di Dwipantara dan Nusantara (Mulai dari Madagaskar hingga ke kepulauan Hawaii Amerika bagian Timur). Mengapa hal itu terjadi ? Melihat dari beberapa fenomena yang ada di dalam bahasa Sunda, sangat menarik untuk dikaji, sehingga kajembaran ‘keluasan’ dan kekayaan bahasa Sunda bukan hal yang dapat disepelekan bahkan perlu diperhitungkan. Dalam ilmu geologi ada yang disebut The Sunda Mountain System, yaitu susunan gunung atau pengungan yang berawal dari kaki Gunung Himalaya hingga pegunungan di Hawaii. Mengapa disebut The Sunda Mountain System ? Karena Sunda bukan saja sebuah etnis, melainkan sebuah tatanan yang sangat besar dan sangat kuat. Bukti lain dikatakan bahwa Sunda merupakan pusat dunia ‘The lose Continent’ (Benua yang hilang ‘Atlantik’ itu adalah berpusat di Jawa Barat. Atau adanya Dataran Sunda dan Dataran Sahul, sehingga memunculkan kepulauan Sunda Besar dan Sunda Kecil. Namun dengan sistem politik yang kerdil, nama ini tenggelam hingga tidak ada dan tidak berarti. Orang tidak lagi mengetahui ikatan sejarah itu). Ditambah lagi dengan hasil penemuan seorang geolog Belanda Van Bemelen yang menyatakan bahwa 50.000 tahun yang lalu di daerah Pakar (Dago - Bandung Utara) telah ditemukan artefak cetakan mata anak panah / tombak dari campuran besi. Manusia purba Sunda yang ada di daerah Pakar pada waktu itu telah mampu mencampur besi sedemikian rupa. Betapa tinggi budaya Sunda. Namun apa yang terjadi ? Semuanya masih tertutup oleh mitos pembenaran elit dan cendekiawan yang terkooptasi.
Paparan elemen yang paling dasar dalam sebuah bahasa, adalah kata ‘kecap’. Dalam bahasa Sunda ada yang disebut Kecap-asal dan Asal-kecap. Kecap-asal yaitu kata yang pertama kali ada, sedangkan asal-kecap merupakan kecap-asal yang sudah diberi imbuhan “Rarangken”. Rarangken hareup ‘awalan’ untuk Kecap-asal disebut Kantil sedangkan untuk Asal-kecap adalah awalan. Rarangken tukang ‘akhiran’ untuk Kecap-asal disebut Kintil. Sedangkan untuk Asal-kecap disebut ahiran. Rarangken Hareup dalam bahasa Sunda mempunyai 25 buah, Rarangken tengah atau disebut selapan ‘sisipan’ ada 4 buah, dan rarangken tukang ada 6 buah sedangkan Rajekan ‘kata ulang’ mempunyai tiga jenis.
Rarangken dalam bahasa Sunda selengkapnya apabila kita biras ‘matriks’ akan menjadi delapan milyar kata kata. Artinya bahwa dengan adanya rarangkén terhadap kata, bisa membentuk berbagai macam kata yang sangat banyak. Apalagi bila dilihat dari segi arti kata yang tidak sama, sebab masing-masing kata mengandung arti yang mandiri.
Istilah dalam linguistik ada yang disebut pasangan minimal untuk mengetahui perbedaan arti kata apabila sebuah kata dicoba untuk dipasangkan dengan kata lain. Begitu pula dalam bahasa Sunda yang memiliki vokal tujuh buah ‘a, i, u, é, o, eu, dan e (pepet), akan menghasilkan 49 kata.
Kedua, Aksara Sunda dengan 33 jenisnya dapatkah itu sebuah fenomena yang menunjukkan bahwa Aksara Sunda adalah aksara Asli pribumi ? Sangat ironis, pernyataan seorang yang dianggap pakar dalam Kasundaan yang menyatakan bahwa aksara Sunda itu adalah Ka ga nga.... dst dan secara ‘ilmiah’ di- fill in dengan falsafah yang bukan falsafah Sunda !
Sementara itu, Dr. Uli Kozok (ahli pernaskahan dari Universitas Auckland ‘Selandia Baru’ (14 Oktober 1999) menyatakan bahwa Cakupan wilayah sangat luas temuannya dengan pola aksara yang dapat digolongkan dalam enam kelompok, yaitu :
(1) Hanacaraka (Sunda, Jawa, Bali);
(2) Ka-Ga-Nga (Kerinci, Rejang, Lampung, Lembak, Pasemah, dan Serawai);
(3) Batak (Angkolo-Mandailing-Toba-Simalungun-Pakpak-Dairi, Karo)
(4) Makasar Kuno (sampai abad ke-19);
(5) Bugis; dan
(6) Filipina (Bisaya, Tagalog, Tagbanuwa, Mangyan).
Sementara, Kozok menyatakan bahwa keenam tulisan di atas bisa dibagi lagi dalam dua kelompok utama, yakni aksara Hanacaraka yang secara struktural lebih dekat ke aksara India dan kelompok aksara Nusantara di luar Jawa dan Bali. Di sini pun para ahli memvonis bahwa aksara Sunda merupakan aksara yang berasal dari India. Pernyataan ini membuktikan bahwa budaya tulis menulis orang Sunda telah ada dari dahulu. Pembuktiannya adalah ketika Karuhun menciptakan Kalangider yang terus berlangsung dari tahun ke tahun yang tidak mungkin mengandalkan daya ingat. Pasti mereka memerlukan catatan. Jelas mempergunakan aksaranya. Mana buktinya akasara Sunda sudah dipergunakan sejak jaman dahulu ? Penulis masih ingat ketika mengadakan penelitian ke pelosok Jawa Barat beberapa tahun yang lalu (1993) hampir seluruh masyarakat desa yang memiliki naskah kuno menghancurkannya dengan cara membakar, mengubur, dan membuangnya. Hal itu terjadi karena adanya agitasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Mereka takut dengan ancaman, yang memiliki naskah kuno akan dipetruskan. Ditambah lagi dengan rasa kecewa oleh para ‘ahli’ yang meminjam untuk tidak dikembalikan. Banyak naskah yang dipinjam tidak dikembalikan dan mereka masih menunggu hak dan miliknya kembali.
Terakhir, mudah-mudahan dalam masa reformasi ini, manusia Sunda tersadar dan tidak lagi terkooptasi oleh mitos-mitos pembenaran, sehingga kita sendiri pusing dan bingung dibuatnya. Perjalanan sejarah Ki Sunda diharapkan dapat lurus dan kembali kepada jati dirinya. Dan jangan sampai terjadi lagi Urang Sunda ngomong make basa Sunda, ngamasalahkeun masalah Sunda keur urang Sunda di Sunda, teu meunang ku urang Sunda nu ngaku Sunda. ‘orang Sunda berbicara mempergunakan bahasa Sunda, mempermasalahkan masalah Sunda, untuk orang Sunda di Sunda, tidak boleh oleh orang Sunda yang mengaku Sunda’. Bahkan banyak orang Sunda kini hanya terbengong-bengong oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh orang luar.
Berlatar dari satu pemikiran bahwa pikiran manusia bukan saja dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran, namun sekaligus juga dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan hal-hal yang tidak benar. Seorang manusia bisa berdalih untuk menutupi kesalahannya, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun secara sistematis dan meyakinkan. Dalih semacam ini bisa memukau apalagi didukung oleh sarana otoritas.

Semoga !
Cag !

U G A

Oleh : Nandang Rusnandar

Penelitian yang mendalam mengenai ‘uga’ pada umumnya dan Uga Bandung pada khususnya masih terbatas sekali dilakukan, walaupun ada hanya sebatas tulisan lepas berupa artikel dalam media massa. Demikian juga halnya dengan penelitian yang secara khusus mengenai Uga Bandung sebagai Pengetahuan Orang Sunda dalam Memprediksi dan Mengantisipasi Fenomena Alam, belum ada yang melakukan penelitian. Penelitian yang dilakukan sebatas pengungkapan yang dituangkan dalam berbagai artikel dalam surat kabar, seperti yang dilakukan oleh Nina Herlina Lubis yang membahas mengenai Uga Kampung Dukuh.[1] Begitu pula dengan Surat Kabar lokal[2] menulis beberapa artikel sekaligus, di antaranya artikel yang berjudul Wangsit Siliwangi; dalam kolom Bray, Jakob Sumardjo mengungkapkan Uga mengenai Kepemimpinan Trias Politika Siliwangi yang diuraikan berdasarkan kajian hermeunetika.

Artikel lain yang berjudul Wangsit Siliwangi “Leubeut ku Siloka jeung Simbul” (Wangsit Siliwangi “penuh dengan siloka dan simbol”), hasil wawancara dengan Oman Abdurahman. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Suwarsih Warnaen, dkk. (1987) Dalam bukunya yang berjudul Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda, uraian mengenai Uga mulai dari halaman 5 (lima) sampai dengan halaman 17 (tujuh belas). Mereka mengungkapkan Uga secara umum di antaranya:

1) Uga Bandung : Sunda nanjung, lamun nu pundung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui. (wawancara, 1980)

2) Uga galunggung : Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung. (wawancara, 1980)

3) Uga Banten : Nagara kartaraharja lamun lebak cawene geus kapanggih. (wawancara 1980)

4) Uga Kawasen : Urang kudu peperangan, dina keur nyieun jalan tengah di Gunung Kendeng, maung ngembang dadap di cai buhaya ngembang kaso. Dina keur peperangan kade kudu bareng jeung kolot, urang ulah hareup teuing bisi kaleyek, ulah tukang teuing bisi katinggaleun.

5) Ari nu bakal jadi ratu, baju butut bobodong batok, anu jolna ti gunung surandil, banderana kararas cau.[3]

Bagi masyarakat Banjar khususnya masyarakat yang berdomisili di daerah Lakbok, Uga Kawasen ini lebih dikenal dengan istilah Buk Kawasen. Dalam tradisi masyarakat Agraris-tradisional, baik di daerah Sunda (Jawa Barat) harapan yang disimpan dalam bentuk ramalan disebut Uga. Hal tersebut dikarenakan masyarakat percaya bahwa perubahan sosial akan terjadi sesuai dengan ramalan para karuhun. Bagi tradisi Jawa, dikenal dengan istilah pralambang, dengan adanya ramalan yang terkenal dengan sebutan Ramalan Jayabaya, dengan ramalan ini, mayarakat Jawa yang sangat mempercayai akan lahir dan datangnya Ratu Adil. Bagi kalangan masyarakat suku Bangsa di sekitar kepulauan Melanesia termasuk suku-suku bangsa di Irian Jaya, kepercayaan itu biasa disebut orang-orang barat dengan istilah cargo cult (Worsley, 1957; Koentjaraningrat, 1963, Suwarsih, 1987 :7)

Dalam penelitian yang diketuai oleh Suwarsih Warnaen, dengan anggota : Dodong Djiwapradja, H. Wahyu Wibisana, Kusnaka Adimihardja, Nina Herlina Sukmana, dan Ottih Rostoyati, diuraikan bahwa uga sebagai suatu ramalan ‘prophecy’ atau dalam bahasa Sunda disebut tujuman di dalamnya mengandung pengertian adanya ramalan ke arah perubahan sosial dan politik, ‘prophetic ideology’, dalam pengertian uga, juga terkandung faktor waktu yang sudah ditentukan oleh karuhunleluhur’, dapat dipergunakan untuk melihat tanda-tanda zaman, dan dalam uga dapat dijadikan sebagai gerakan nativisme, yaitu gerakan sosial yang digerakkan oleh interpretasi yang ada di dalamnya. Untuk memahami apa yang ada dalam uga ini, maka cara menganalisis dan menginterpretasinya mempergunakan kata-kata kunci ‘key words’ yang terdapat dalam uga sehingga pada akhirnya makna dan arti uga itu dapat ditelusuri sesuai dengan makna yang ada dalam kata-kata itu sendiri dikaitkan dengan situasi sekarang.

Nina HL, jauh sebelumnya merupakan anggota peneliti yang diketuai oleh Suwarsih Warnaen, sehingga dalam uraiannya mengenai pengertian uga sama dengan apa yang diungkapkan dalam penelitian sebelumnya. Ia menyitir uga Dukuh sebagai berikut : Di ahir jaman bakal loba parahu. Urang Dukuh mah makena parahu belang “Di akhir zaman nanti akan terdapat banyak perahu. Orang Dukuh akan memakai perahu belang”. Dalam uraiannya, dapat disimpulkan bahwa Uga yang dipercayai oleh komunitasnya merupakan suatu harapan yang bersifat mesianistis, bisa menjadi kekuatan sosial yang mendorong ke arah tindakan-tindakan untuk mengubah situasi sehingga melahirkan gerakan sosial. Dengan Uga juga, sangat dipercaya bahwa perubahan sosial pasti akan terjadi sesuai dengan ramalan yang tersurat dan tersirat di dalamnya. Uga dapat diinterpretasikan sesuai dengan tingkat kepercayaan orang yang menginterpretasikannya. Bagi orang tua, Uga bisa untuk melihat ‘tanda-tanda zaman’, meramalkan adanya perubahan sosial dan politik pada masa yang akan datang di lingkungan mereka sendiri. Dan Uga sangat berhubungan dengan masalah waktu, waktu di sini sangat relatif kejadiannya. Namun bila sesuatu telah terjadi sesuai dengan kenyataan, maka ungkapan geus nepi kana uga-na, geus nepi kana waktu nu ditujum ku karuhun. ‘sudah sampai pada waktunya, sudah tiba pada saatyang diramalkan oleh leluhur’ merupakan jawaban dari kejadian itu.

Oman Abdurahman dalam wawancaranya, menyatakan bahwa untuk memahami uga, kita dapat mempergunakannya dengan akal dan pengetahuan bukan dengan hal-hal yang bersifat mistis, walaupun masyarakat pada umumnya sangat mempercayai bahwa uga dapat dipahami lewat hal-hal yang mistis. Ia mencontohkan cara pengurainya berdasarkan arti dan makna kata yang tersurat di dalamnya, sehingga dapat dimengerti ke mana arah dan tujuannya uga yang dimaksud tersebut. Seperti adanya kalimat pajajaran anyar dapat diartikan bahwa dewasa ini merupakan perkembangan dan perubahan sosial dalam sistem pemerintahan otonomi daerah. Sementara Jakob Sumarjo, sangat mempermasalahkan bahasa yang dipergunakan dalam uga yang ada sekarang ini. Apakah bahasa tersebut asli atau tidak ? Karena dilihat dari kata-kata yang dipergunakannya merupakan kata-kata yang dapat dikategorikan kata-kata sekarang. Jadi kesimpulannya bahwa kata-kata yang dipergunakan dalam Uga Wangsit Siliwangi bukan merupakan kata-kata yang diucapkan atau disampaikan langsung oleh raja Sunda pada waktu itu. Terlepas dari itu semua, bagi Jakob Sumardjo, dalam menafsir Wangsit Siliwangi ada yang mempergunakan akal sehat dan logika yang dikaitkan dengan sejarah dan perkembangan jaman, bahkan ada pula yang menafsir dengan cara mistis.

2.1.1 Pengertian Uga

‘Uga’ dengan bentuk lainnya yang ada di seantero dunia, sudah ada sejak dahulu kala. Hal tersebut dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan baik itu dari ajaran agama, ataupun folklor yang ada di setiap bangsa. Dalam istilah agama Islam disebut dengan ‘nubuat’ yang mengandung ramalan ke depan.

Dalam Kamoes Basa Soenda, dikatakan bahwa Oega nya eta waktoe parobahan, babakoena parobahan kaajaan nagara atawa bangsa (Moen geus nepi ka oegana, tangtoe tanah oerang merdeka “Uga adalah waktu perubahan terutama perubahan keadaan negara atau bangsa (pabila sudah sampai kepada uganya, tentu tanah air kita merdeka”(Satjadibrata, 1948 :249). Sedangkan dalam Kamus Basa Sunda, yang disusun oleh Lembaga Basa & Sastra Sunda (1980 : 547) dikatakan bahwa uga berarti tujuan nu aya patalina jeung parobahan penting, babakuna parobahan kaayaan nagara atawa daerah; Geus nepi kana ugana, geus nepi kana waktuna nu ditujum ku karuhun ‘Suatu ramalan yang ada hubungannya dengan perubahan penting suatu negara atau daerah; Sudah sampai pada waktu yang ditetapkan nenek moyang’. KH. Hasan Mustafa (1890), dalam sebuah tulisannya memberikan pengertian uga yang lebih deskriptif bahwa:

Basa uga ditelahkeunana kana omongan anu méré béja piayaeun naon-naon kangeunahan atawa bancang pakéwuh (kasusahan) di ahir, tapi lain anu bangsa lahir, saperti kana tangkal cau, jaga bakal jantungan. Ieu jelema jagana bakal diruang; tapi kapakéna uga mah kanu moal kapanggih, tapi ku pikiran tahayulan jelema tangtu kapangih, ngan teu nyaho di urang kénéh atawa ku anak incu. Nu matak ari aya nu rada sarupa jeung taksiran sok diaoromongkeun ‘geus tepi ka ugana’ atawa ‘samorong ceuk uga’

Ari conto-contona omongan baheula,

“Jaga mah, barudak, sajajalana disaungan”. Béh karéta api.

“Gancang carita béja, mun geus aya balabar kawat”. Béh telegram.

“Jaga mah, barudak, batu turun keusik naék”. Béh anak somah naék pangkat, anak ménak teu pangkat.

“Jaga mah, barudak, ngateuran ka nu digawé gé mawa kéjo dina iteuk, nandakeun angker gawé” Béh nu dagang di pagawéan.

Kitu deui kana cacandran nagara, jaga mah barudak, Bandung heurin ku tangtung /…/ éta gé jadi omong geus tepi kana ugana. Jeung sajaba ti éta loba deui uga geus tepi jeung nu acan, nurutkeun tahayul pikiranana, nu jadi basa jangji kudu ngabukti, subaya kudu mangrupa. Malum perkara tahayul ti unggal ati, anu keur ngarep-ngarep kaanéhan. (Rosidi, 1989 :350-351)

Artinya :

“Kata Uga diartikan terhadap pembicaraan mengenai berita tentang sesuatu yang akan terjadi baik berita yang baik ataupun berita bencana di suatu waktu nanti. Uga tidak diartikan berita sesuatu yang nyata, seperti “pohon pisang nantinya berjantung” atau “Manusia nantinya akan dikubur” Tapi Uga diartikan terhadap hal yang bersifat abstrak, dengan pemikiran yang dipercayainya, maka uga akan dapat dimengerti dan dirasakan. Tapi apakah uga itu dapat dirasakan langsung atau nanti oleh anak cucu. Maka bila ada yang sama dengan tafsiran selalu disebutkan ‘sudah sampai pada waktunya’ atau ‘sesuai dengan/kata ramalan’

Contoh-contoh uga :

“Anak-anak, kelak di akhir jaman, sepanjang jalan dinaungi’ Muncul Kereta.

“Berita yang cepat, bila ada berita kawat” Muncul Telegram.

“Anak-anak, kelak di akhir jaman, batu turun, pasir naik” Terbukti, anak cacah memiliki pangkat / terpandang, dan anak menak tidak berpangkat.

“Anak-anak, kelak di akhir jaman, memberi makan orang yang kerja dengan cara membawa nasi dengan tongkat”. Muncul atau adanya pedagang yang datang ke tempat kerja.

Begitu pual dengan cacandran / uga mengenai perjalanan negara “Anak-anak, kelak di akhir jaman, Bandung sesak dengan ‘tangtung’ /…/” Hal tersebut sudah terbukti ‘geus nepi kana ugana’. Ada banyak uga yang sudah terbukti dan yang masih belum terbukti, menurut kepercayaannya bahwa ‘janji harus terbukti, harapan harus nampak’ maklum kepercayaan datang dari setiap hati, manusia yang sedang menunggu datangnya keunikan”

Uga merupakan suatu keniscayaan atau kepastian, hal tersebut dikarenakan dalam pengertian yang terungkap pada anak kalimat geus nepi kana ugana ‘sudah sampai pada saatnya’. Dalam pengertian anak kalimat di atas dapat dilihat bahwa kejadian yang diharapkan sudah nampak di depan mata dan dialami sesuai dengan apa-apa yang diramalkan. Kesimpulan pengertian yang diberikan oleh beberapa informan mengenai Uga, adalah “ramalan yang diberikan oleh karuhun, mengenai apa yang akan terjadi di kemudian hari”. Dalam buku Diktat untuk murid-murid SGB yang berjudul Kasusastraan Sunda, dikatakan bahwa uga disebut juga Tjatjandran nya eta tjarita karuhun nu ngagambarkeun kaajaan nagara djst., nu bakal kasorang, saperti tjatjandran Djajabaja, atawa di urang aya oge kolot-kolot baheula geus njarebutkeun Sumedang ngarangrangan, galunggung ngadeg tumenggung, Sukapura ngadaun ngora, Bandung heurin ku tangtung, Tjiandjur katalandjuran, Tjiamis amis ku maneh, Banagara sor ka tengah ’Uga disebut juga cacandran yaitu cerita nenek moyang yang menggambarkan keadaan negara dan sebagainya yang bakal dialami, seperti cacandran masyarakat Sunda menurut orang tua dahulu sudah menyatakan bahwa Sumedang ngarangrangan, galunggung ngadeg tumenggung, Sukapura ngadaun ngora, Bandung heurin ku tangtung, Tjiandjur kataladjuran, Tjiamis amis ku maneh, Banagara sor ka tengah.’

Istilah Uga bisa berasal dari kata ngayuga yang berarti membimbing atau duga ‘duga’. Dalam Kamoes Basa Soenda (1948 : 149) kata yoega berarti, naon-naon nu diwudjudkeun ‘apa-apa yang diwujudkan’; ngayoegakeun berarti ngawudjudkeun, ngalahirkeun orok djeung ngadjaga kasalamateanana ‘mewujudkan, melahirkan bayi dengan menjaga keselamatannya’. Dalam ungkapan tradisional Sunda dikenal adanya ungkapan yang menyatakan fungsi orang tua dengan frase Indung nu ngandung, bapa nu ngayuga ‘Ibu yang mengandung, Bapak yang membimbing dan menjaga keselamatannya’. Hubungan antara kata uga dan yuga, yaitu sama-sama mempunyai pengertian untuk membimbing dan menjaga keselamatan dari orang tua (karuhun) kepada ‘bayi’ dalam artian anak atau masyarakat. Dalam pengertian yang lebih luas bahwa uga merupakan suatu bimbingan dari karuhun kepada seuweu siwi ‘generasi yang akan datang’, karena dengan bimbingannya yang merupakan cecepengan ‘pedoman hidup’ manusia kini dapat hidup dengan selamat. Suria Saputra, memberi pengertian mengenai uga sebagai berikut : Istilah Uga bisa jadi asal muasalnya tina kecap ‘Yuga’ atawa ‘duga’. Di Jawa Tengah boh di Tatar Sundaremen disebut ‘ogan’ saperti ‘ogan lopian’ (gambar lopian), nya éta jimat milik Batara Kresna, nu hartina ‘ramalan’.[4]

Uga terlahir dari sebuah cara berfikir karuhun berdasarkan kausalitet ‘sebab akibat’ yang dilatarbelakangi pola hidup agraris tradisional, sehingga melahirkan manusia-manusia yang weruh sadurung winarah ‘tahu akan kejadian-kejadian yang akan datang’, karena manusianya sudah legok tapak genteng kadek ‘banyak pengalamannya’.

Berdasarkan pengertian di atas, bahwa uga merupakan suatu tujuman atau ramalan ‘prophecy’ yang menyangkut kehidupan sosial dan politik di kalangan orang-orang Sunda. Dalam pengertian uga, juga terkandung faktor ‘waktu’ yang sudah ditentukan oleh karuhun. Suwarsih Warnaen, mengatakan bahwa uga sebagai suatu ramalan, tentu akan menimbulkan banyak interpretasi terhadap kata-kata yang digunakannya. Bahkan tidak jarang kata-kata yang terkandung dalam uga diartikan banyak orang secara harfiah atau secara kongkrit. Hal itu menyangkut sejauh mana keyakinan orang terhadap kebenaran ramalan yang terkandung dalam uga itu. Keadaan ini dapat menimbulkan frustasi bagi orang-orang yang mempercayainya, karena yang ditunggu sesuai dengan interpretasinya terhadap ramalan yang terkandung dalam uga tidak kunjung datang. Namun demikian, bagi orang-orang yang mempercayai kebenaran uga itu, mempergunakannya sebagai ‘prophetic ideology’ dalam usaha memahami pertanda zaman. Sebagai suatu ramalan maka uga cenderung untuk membicarakan hal-hal yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, uga lebih mencerminkan pandangan hidup manusia (1987 : 5-8).

Dari uraian itu, dapat ditarik satu kesimpulan mengenai pengertian dan makna uga. Dalam kehidupan masyarakat Sunda uga dapat berarti sebuah ramalan atau prediksi mengenai perubahan dalam kehidupan baik yang berhubungan perubahan secara fisik, perubahan politik, ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya dengan jangkauan waktu yang pasti terjadi. Bagi masyarakat Sunda, uga dapat bermakna sebagai pedoman dan bimbingan dalam menentukan langkah untuk menyongsong perubahan yang akan terjadi. Uga merupakan tradisi lisan, biasanya diucapkan dalam bentuk simbolisasi, sehingga untuk memaknainya memerlukan interpretasi berdasarkan 5S (lima S, silib-sindir, suluk, siloka, dan simbul) agar bentuk-bentuk simbol yang diterimanya itu tidak melenceng jauh dalam arti yang sebenarnya.

2.1.2 Uga Bandung sebagai Tradisi Lisan

Menurut Suripan Sadi Hutomo (1991 :11) dan Yus Rusyana (2006: 8) tradisi lisan itu mencakup beberapa hal, yakni (1) yang berupa kesusastraan lisan, (2) yang berupa teknologi tradisional, (3) yang berupa pengetahuan ‘folk’ di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan ‘folk’ di luar batas formal agama-agama besar, (5) yang berupa kesenian ‘folk’ di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (6) yang berupa hukum adat. (dalam uraian Yus Rusyana, dikatakan bahwa untuk keadaan di Indonesia hukum adat dikeluarkan dari tradisi lisan sebab sudah merupakan bagian khusus dari ilmu hukum Indonesia (2006 : 8)). Tradisi lisan adalah cerita yang hidup secara lisan, tersebar dalam bentuk tidak tertulis, disampaikan dari bahasa mulut. Cerita lisan ini adalah bagian dari persediaan cerita yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat terutama dalam masyarakat tunaksara (Yus Rusyana, 1981 :1). Tradisi lisan merupakan bagian dari budaya dan sekaligus mencerminkan pula budaya keseluruhannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa cerita selalu mengandung unsur-unsur kehidupan sosial budaya dan seperangkat nilai budaya yang unik dari masyarakatnya pada saat diciptakan.

Sastra lisan tidak mempunyai naskah. Jika sudah berbentuk tulisan naskah itu hanya merupakan cacatan yang tidak mungkin mencakup keseluruhan pernyataan sastra lisan itu, misalnya mengenai guna dan perilaku yang menyertainya (Yus Rusyana, 1981 :2) Walaupun demikian dari sastra lisan yang sudah direkam dapat kita tarik unsur-unsur yang pada akhirnya akan memperlihatkan makna secara keseluruhan dipandang dari aspek bahwa cerita itu merupakan karya sastra lisan.

Dengan demikian Uga Bandung adalah tradisi lisan masyarakat Sunda yang diperoleh dari penuturan orang Sunda sendiri yang berada di lingkungan Kota Bandung.

2.1.3 Uga Bandung dalam Kehidupan Sosial Budaya

Dalam kehidupan sekelompok etnik, di dalamnya terkandung berbagai atau sejumlah adat istiadat, kepercayaan, bahasa dan kebiasaan yang dilakukan dalam keseharian atau ciri lain sebagi bagian dari kebudayaannya. Semuanya itu merupakan warisan yang telah diterimanya sejak dahulu dan menjadi kebiasaan bagi generasi kini.

Begitu pula dengan Uga Bandung, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat atau etnik Sunda, dan khususnya masyrakat di kota Bandung sebagai pendukungnya. Di dalam uga tersebut dapat dikenali kehidupan budaya masyarakat pendukungnya. Dengan kata lain bahwa untuk mempelajari suatu masyarakat antara lain kita dapat mempelajari tradisi lisan yang ada di dalamnya. Karena tradisi lisan dapat memberikan gambaran tentang masyarakat pendukungnya, maka tradisi lisan merupakan bagian dari sistem kebudayaan (Boas, 1935, Nimpuno, 1999: 61).

Uga atau cacandran yang meramalkan sesuatu akan terjadi di masa yang akan datang, dapat pula disebut ‘the bible of the folk’. Dengan demikian uga dapat dikatakan merupakan futurisme yang berbeda dengan futurologi ilmiah yang berdasarkan data statistik, pengamatan dan analisis yang menggunakan metodologi ilmiah. Sedangkan uga hanya disusun berdasarkan ilham, insting, penghayatan ‘kotemplasi’. Dengan kearifannya, karuhun mampu mengabstraksikan dan menggeneralisasikan putaran perjalanan hidup manusia sehingga melahirkan uga. Uga dalam bentuk kata-kata yang dihubungkan dengan tanda-tanda alam, baik secara simbolik atau perlambang atau dilisankan secara harfiah. Contoh uga perlambang adalah Uga Bandung, dinyatakan bahwa bangsa Indonesia baru bisa adil dan sejahtera bila Kawah Ratu (penguasa) bersatu dengan Kawah Upas (rakyat). Atau dengan kata lain bahwa para pemimpin bangsa sudah mau menerima aspirasi rakyat baru Indonesia makmur dan adil.

Ramalan yang menyebutkan bahwa uga itu berlaku tidak hanya bersifat lokalitas saja melainkan luas ke seluruh dunia. Disebutkan dalam sebuah uga yang tertulis dalam sebuah lembaran kusam (Naskah kertas Nederlander) yang berbahasa Sunda campur Melayu ditulis dengan aksara Arab Pegon tertera di sana Yén engké bakal karandapan hujan racun ! Kita lihat ramalan hujan racun itu terjadi di Negara-negara Eropa, Jepang, RRC, India, Kanada dan Amerika. Bahkan yang lebih mengenaskan yaitu ketika kejadian Chernobyl di Sovyet Rusia atau perang dengan menggunakan senjata biologi.

Uga dalam wujud pantun (cerita pantun), seperti Pantun Bogor : Paku Jajar di Lawang Gintung; Uga Lebak Cawene, Ronggeng Tujuh Kalasirna, Dadap Malang Sisi Cimandiri, Ngahiangna Pajajaran (Uga Wangsit Siliwangi), Ngadegna Pajajaran, Kujang Di Hanjuang Siang. Begitu pula Pantun-pantun yang berasal dari Aki Uyut Baju Rambeng dan Pantun Pa Cilong.

Uga dalam kakawihan barudak atau tembang barudak Sunda, seperti : Ayang-ayang Gung dan Prang pring Prang Pring Sabulu-bulu Gading atau Milang Bincurang.

Ayang-ayang Gung

Ayang-ayang gung, gung

Gung goongna ramé, mé

Ménak Ki Mas Tanu, nu

Nu jadi wadana, na

Naha maké kitu, tu

Tukang olo-olo, lo

Loba anu giruk, ruk

Ruket jeung kumpeni, ni

Niat jadi pangkat, kat

Katon kagoréngan, ngan

Ngantos Tuan Besar, sar

Sareng Kangjeng Dalem, lem

Lempa lempi lempong

Ngadu pipi jeung nu ompong

Jalan ka batawi ngemplong

Arti uga dari nyanyian atau kakawihan barudak di atas adalah kearifan karuhun yang disimbolkan yaitu ketidaksenangan rakyat terhadap pemimpim feodal, yang digambarkan oleh sikap Menak Ki Mas Tanu[5] yang menjadi bupati yang bersikap bunglon ‘tanu’ dan ber-KKN dengan kompeni karena ingin menjadi penguasa sehingga jalan menuju Batawi (Jakarta, pusat kekuasaan) mulus. Di sana ia bertemu dengan orang yang pikirannya kosong ‘Ngadu pipi jeung nu ompong’. Situasi dan kondisi saat ini pun kini masih berlaku, mau ber-KKN dan cepat naik pangkat ? Jadilah orang yang berwatak Ki Mas Tanu walaupun pikirannya kosong (mungkin gambaran sekarang bagi para anggota DPR).

Ramalan yang muncul dalam kakawihan barudak yang meramalkan akan lahir zaman di mana situasinya akan berubah, seperti kehidupan ekonomi dan religi masyarakat Sunda akan berubah terpengaruh oleh sistem ekonomi dan religi dari luar, yaitu :

Milang Bincurang

Prang …pring

Prang…pring

Saunda-unda perang

Nya perang di pangadegan

Turuni puyuh

Hayam tanah babarancang

Dikéncréng-kéncréng kucubung

Kucubung kuruwek dugel, muntel

Dalam bait kakawihan di atas, disebutkan saunda-unda perang, nya perang dipangadegan pada setiap aspek kehidupan terjadi perubahan, menuntut perubahan dalam prinsip atau pangadegan yang berasal dari kata adeg yang berarti sikap.

Kakawihan barudak dalam permainannya ada yang menunjukkan ramalan mengenai sebuah gambaran atau situasi yang tidak dapat diketahui arah dan tujuannya, akan tetapi meminta korban, yaitu permainan oray-orayan :

+ Oray-orayan

= Oray naon ?

+ Oray bungka

= Bungka naon ?

+ Bungka laut

= Laut naon ?

+ Laut dipa

= Dipa naon ?

+ Di pandeuri ….ri.ri…ri.ri[6]

Nyanyian yang lahir dalam situasi yang gawat, sebagai sebuah simbol agar musuh tidak mengerti, yaitu :

Ja leuleu ja,

tulak tuh ja éman gog

Seureuh leuweung bay[7]

Nyanyian orang dewasa yang biasa dinyanyikan dalam sebuah sisindiran, lahir pada jaman tanam paksa Belanda, penanaman kopi di Bandung, yaitu :

Dengkleung déngdék

Buah kopi raranggeuyan

Ingkeun anu déwék

Ulah pati diheureuyan

Pada masa itu kopi menjadi komoditi masyarakat di Jawa Barat yang tak lepas dari kehidupan kesehariannya. Sehingga kopi, tidak saja menjadi kalangenan ‘kebiasaan’ untuk minum, melainkan kopi juga, menjadi kebiasaan dalam segala bentuk acara makan makanan ringan. Kata ngopi yang dalam arti sebenarnya adalah minum kopi, menjadi acara makan makanan ringan, yang diminum bukan kopi melainkan teh, atau makan penganan. “Geus ngopi ?” atau “Urang ngopi, yu !” Sebuah pertanyaan dan ajakan untuk makan atau sekedar makan makanan ringan.

Kakawihan barudak yang lahir pada waktu masyarakat sedang dalam keadaan susah dan timbul rumor banyaknya orang yang kaya mendadak, karena nyegik atau munjung :

Ambil-ambilan turuktuk hayam samantu

Saha anu diambil kami mah teu boga incu

boga gé anak minantu

Nani-Nani (atau siapa saja nama salah seorang anak peserta permainan ini dipanggil) ka dieu,

Purah nutu, purah ngéjo

Purah ngasakan baligo

Nyerieun sukuna, kacugak ku kaliagé

Aya ubarna, urat gunting campuragé

Tiguling nyocolan dagé

Maling endog … maling endog… !

Bandung sebagai kota pendidikan dengan munculnya Sakola Raja (di Jalan Merdeka, Polwiltabes Sekarang), para orang tua di seluruh pelosok (Jawa Barat) selalu menginginkan semua anaknya menjadi orang-orang terdidik, terhormat dan mampu berterima kasih kepada orang tua. Mereka berharap agar anaknya pergi dan datang ke Kota Bandung untuk menuntut ilmu maka lahirlah nyanyian :

Néléngnéngkung néléngnéngkung

Geura gedé geura jangkung

Geura sakola di Bandung

Geura makayakeun indung

Situasi dan kondisi kehidupan secara global pun tidak luput dari perhatian karuhun Sunda, karena semua merupakan fenomena alam yang sangat disadari oleh karuhun dan menjadi peringatan yang harus diperhatikan oleh anak cucu atau generasi mendatang. Jaman edan seperti saat ini telah diperingtakan agar anak cucu berhati-hati dalam menghadapinya. Wangsit dari Raja Pajajaran yang ada di Kabuyutan Galunggung, menyebutkan bakal terjadi jaman edan dan situasi yang tidak terkendali. Di antara wangsit yang terungkap adalah :

/…/

Budak teu ngawaro jeung teu heman ka kolot;

murid teu tuhu ka guru;

Raja sabuana salah pamakéna;

Pandita salah pamakéna;

Panghulu salah pamakéna;

antukna patulak tawur tanpa wastu ilang buana /…/

[“Uga” Seri III, Baranangsiang No. 4 Tahun 1967]

Pepatah petitih dahulu mengingatkan bahwa pribadi atau lembaga harus dihargai : Guru wong atua karo, artinya tatanan masyarakat akan berlangsung baik apabila generasi muda hormat dan taat dan menghargai gurunya, pemerintah adil dan agung wibawa, serta para ulama arif bijaksana. Tapi kenyataannya semua kacau tanpa wastu “martabat” dan kenyataannya nampak seperti sekarang. Kekacauan ini pun terus berlangsung, sehingga Karuhun Sunda dengan kearifan melihat kota–kota di Jawa Barat akan berkembang seperti apa yang dilihat melalui mata bathinnya yang disusun dalam Uga Bandung, yaitu :

Bandung heurin ku tangtung

Cianjur katalanjuran

Sukabumi tinggal resmi

Sumedang Ngarangrangan

Sukapura ngadaun ngora

Galunggung ngadeg tumenggung

Garut jadi pangirut

Kenyataan itu kini sudah terjadi, misalnya Kota Bandung yang menjadi sebuah kota metropolitan, sudah heurin ku tangtung, PKL di mana-mana susah untuk diantisipasinya, gedung-gedung mall di mana-mana, keinginan dan kehendak yang saling tumpang tindih nampak di kota Bandung ini. Kota Cianjur, perkembangannya kini hanya sebagai kota yang hanya dilewati. Kota Sukabumi tinggal sebuah nama saja, ibukotanya akan pindah ke Pelabuhanratu. Hal tersebut terjai karena sudah ada rencana akan mengembangkan kotanya menjadi kota pariwisata dan ibukota akan berpindah ke daerah pesisir. Kota Sumedang, kini hanya sebuah kota pensiunan, ramainya pindah ke Jatinangor. Garut ? Nah, ini dia Sukapura akan ngadaun ngora, hal itu pun terbukti kini Tasikmalaya sedang berbenah untuk menjadi sebuah kota yang megah dengan pembangunan di sana-sini. Galunggung Ngadeg Tumenggung ? Kini sudah terbukti, ibukota kabupaten berdiri di Kota Singaparna yang berada di suku Gunung Galunggung.

Begitu pula dengan Uga Cilauteureun yang tersebar di daerah Garut, yaitu sebuah uga yang memperingatkan kepada anak cucu atau generasi sekarang, bahwa jaman edan akan berlangsung, di antaranya uga itu menyatakan :

Uga cicirén kaasih ti kolot urang baheula,

tanda kamelang haté,

bisi seuweu siwi Sunda,

kagoda milu édan jeung jalma nu baragajul,

lolong kana pajamanan

Makmak-mekmek hayang sugih,

loba dunya luhur pangkat,

ka batur teu inggis néjéh,

najan kudu ngahianat,

asal laksana tékad,

lir kokoro manggih Mulud,

poho kana bebeneran

Dalam situasi jaman edan itu, uga lain menyatakan :

Nagara ilang komara,

rahayat pinanggih lara,

sagala kias teu mental,

sakabéh pamingpin bingung

Semua itu memang benar adanya dan terbukti sesuai dengan kata-kata karuhun tadi, banyak orang yang ingin naik pangkat dan terpakai oleh atasan dengan cara menghianati terhadap tujuan pokoknya. Dan akibatnya rakyat jadi korban.

Ungkapan tradisional Sunda yang merupakan kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman panjang dari sebuah komunitas. Karuhun kita membuat ungkapannya itu menyimpan makna yang dalam yang semuanya lahir karena pengalamannya, baik pengalaman yang manis, pahit, mengenaskan atau pengalaman spiritual.

Uga Wangsit Siliwangi, ketika Prabu Siliwangi akan ngahiyang ‘mangkat’, beliau memberikan wejangan : “Wahai rakyatku, barang siapa yang mau menjadi orang yang berpangkat pergilah ke timur. Barang siapa mau menjadi orang yang mau ngabarata atau suci hati, pergilah ke barat, barang siapa mau menjadi pesuruh orang yang datang dari timur, pergilah ke utara, dan barang siapa mau menjadi orang yang sengsara tapi sejati dalam “Sunda” tapi menderita seperti saya, ikutlah ke kidul ’selatan’ bersama saya. Dari wangsit itulah muncul sindiran kepada orang Sunda yang benar-benar mempertahankan prinsip kasundaannya. Sindiran itu muncul dalam peribahasa Asa aing uyah kidul. Uyah ‘garam’ berarti sari atau inti; kidul ‘selatan’ tempat orang-orang yang ikut bersama Prabu Siliwangi.

Simbol yang dilambangkan dengan warna, di Banten dapat dilihat dari benang pengikat rokok (tali rokok daun kawung) dipergunakan sebagai tanda “ungkapan rasa” dari si pengirim kepada orang yang dikirim, seperti rokok mole ‘rokok tembakau yang digulung dengan daun kawung ‘enau’’ kemudian diikat dengan benang yang berwarna:

warna héjo ‘hijau’ = hayang paténjo;

warna hideung ‘hitam’ = Nineung;

warna bodas ‘putih’ = putih bersih;

warna beureum ‘merah’ = ngajak eureun, pegat kasuka;

warna paul ‘biru langit’ = hayang disusul;

warna biru ‘biru’ = milu;

warna wungu‘violet/bungur’ = ditunggu;

warna hawuk ‘abu-abu’ = ngundang datang;

warna gading ‘krem’ = ngabejaan gering;

warna koneng ‘kuning’ = keuheul.

Simbol-simbol seperti itu pun dewasa ini sering dianalogikan kepada kejadian-kejadian alam, baik politik, ataupun segala aspek kehidupan manusia. Sebelum Presiden Megawati Soekarnoputri naik menjadi Presiden Indonesia, jauh sebelumnya muncul gejala di masyarakat, orang-orang membuat cincin dari uang logam kuningan Rp. 100,00 Gejala alam tersebut menunjukkan bahwa presiden Indonesia nanti adalah perempuan, karena cincin dianalogikan sebagai perempuan. Begitu pula ketika Susilo Bambang Yudoyono atau lebih kita kenal dengan sebutan SBY (Baca dalam bahasa Sunda : és beyé ‘es yang masih cair’). Gejalanya muncul ketika dalam setiap perayaan tujuhbelas agustusan, di setiap pelosok kampung banyak atribut air yang berwarna warni dalam kantong plastik (seperti es bungkus yang harganya Rp. 100-an) digantungkan di atas pohon kering dan menjadi hiasan untuk meramaikan pesta rakyat tersebut. Maka dari situlah gejala alam dibaca oleh masyarakat bahwa SBY naik menjadi presiden. Tapi dia hanya sebagai orang yang mampu “meramaikan dengan warna-warninya” dan hanya sebagai hiasan belaka. Kita lihat gejala di atas, SBY menyusun kabinet dengan sebutan Kabinet Indonesia Bersatu, karena melihat keanekawarnaannya dari berbagai parpol.

Dinamika budaya dewasa ini dapat kita lihat dari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang sedang mengalami perubahan terus menerus menjadikan anggota dari setiap masyarakat mencoba untuk mengungkapkan “rasa” melalui verbal yang sesuai dengan pengetahuannya. Ungkapan verbal biasanya terlontar berdasarkan gejala yang timbul di lingkungannya. Budaya Sunda pun tidak statis melainkan sangat dinamis, hal itu terlihat dari ungkapan yang menyatakan bahwa manusia Sunda harus mampu menyesuaikan arus kehidupan dan perubahan jaman tanpa meninggalkan budayanya sendiri : Ngindung ka waktu ngabapa ka jaman atau ngigelan jaman jeung ngigelkeun jaman.

Bila sejarah merupakan sebuah gambaran tentang pengalaman kolektif atau individual di masa lampau, maka folklor pun harus seperti itu. Perbedaannya sejarah disusun atau direkonstruksi berdasarkan kaidah-kaidah tertentu, namun folklor tidak dibakukan dan hanya disampaikan secara oral, jenis realita tidak disesuaikan dengan fakta historis. Folklor harus dilihat sebagai endapan memori rakyat tetapi potensial menjadi sumber sejarah dan di samping itu folklor dapat menjadi sebuah fenomena kebudayaan.



[1] Harian Umum Pikiran Rakyat, Sabtu 14 Oktober 2006

[2] Mingguan berbahasa Sunda Galura, Minggu 1 Nopember 2007

[3] Mingguan berbahasa Sunda Kudjang, Jumat, 24 Juli 1981, ditulis oleh A.K. Djajasoepena.

[4] Suria Saputra “UGA” dalam Majalah Baranangsiang No. 2 taun 1967.

[5] MA. Salmun (1972), Majalah Intisari, menulis bahwa Mas Tanu itu adalah Tanujiwa, orang Sumedang yang mendapat perintah dari Campuijs ‘Belanda’ untuk membuka hutan Pajajaran dan mendirikan Kampung Baru di Bogor dan Jatinegara. Dengan kedekatannya dengan VOC di Batavia, ia berhasil menjadi Bupati Bogor pertama (1689-1705), namun pada akhirnya memberontak dan dibuang ke Tanjung Harapan Afrika. (Sejarah Bogor tidak pernah mencatat Tanujiwa sebagai Bupati, dalam Danasasmita, 1983: 84)

[6] permainannya, sejumlah anak-anak berjajar saling memegang pundak anak yang didepannya, mereka menyanyikan kakawihan tersebut, dan ada dua orang anak berdiri dan berpegangan tangan membentuk sebuah terowongan, ketika kata-kata ri….ri… diucapkan maka anak yang paling akhir ditangkap oleh dua anak yang berpegangan tangan

[7] Ketika orang Priangan mengintip pasukan Mataram di jalan yang akan dilewatinya, orang yang berjaga di garis depan melihatnya kemudian memberi tanda dengan nyanyian. Ja berarti pasukan Jawa atau pasukan Mataram, tulak tuh ja eman berarti siap-siap beri perlawanan