Rabu, 31 Maret 2010

KEARIFAN EKOLOGIS KARUHUN SUNDA MELALUI UGA TANAH (C)AWISAN [1]

Nandang Rusnandar

Uga bagi masyarakat Sunda, merupakan salah satu bentuk pengungkapan prediksi antisipatif dari generasi karuhun untuk dipedomani mengenai kejadian-kejadian pada masa yang akan datang. Uga Bandung secara khusus dan uga Sunda secara umum banyak yang mengutarakan mengenai bagaimana pentingnya memelihara lingkungan hidup. Orang Baduy di daerah Banten misalnya mempunyai suaka pemujaan yang disebut Sasakadomas dan tempat-tempat yang dianggap suci lainnya. Menurut kepercayaannya tempat suci itu merupakan sasaka pusaka buana yang harus dijaga diraksa ‘harus dipelihara dan dijaga’ dari kerusakan. Demikian pula dengan tanah cawisan yang dianggap suci ini harus dijaga dari kerusakan alam. Hal itu pun terlihat pula di Kampung Adat Dukuh di Garut Selatan, di sana ada lokasi tanah cawisan yang dianggap suci dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang.

Uga yang menyatakan akibat dari sebuah perbuatan dan pada akhirnya alam menjadi korban, termasuk manusia di dalamnya, sehingga mereka semua menuju suatu tempat yang telah dicawiskeun ‘diperuntukkan’, dapat dilihat pada uga di bawah ini,

  1. Bandung téh bakal kakeueum, bakal pindah ka tegal harendong.
  2. Jaga Bandung bakal jadi sagara, ngarungsina ka tegal haréndong. Tegal haréndong téh leuweung panyampayan. Petana téh ti Cipelah bras ka Citambur anjog ka hiji leuweung, tah éta tegal haréndong.
  3. Jaga Bandung bakal kakeueum, sabeulah urang Bandung ka kidul bagéanana ka Gunung Cikuray, sabeulahna ka kalér, bagéanana ka Gunung Tangkubanparahu

Uga di atas menunjukkan adanya akibat yang ditimbulkan ketika Bandung mengalami perubahan, dari kota menjadi kakeueum air atau menjadi lautan. Penduduk Bandung akan mengungsi atau pindah tempat menuju ke tempat yang telah ditentukan, Tegal Haréndong, Gunung Cikuray untuk penduduk Bandung Selatan sedangkan Gunung Tangkubanparahu untuk penduduk Bandung Utara. Tegal Haréndong adalah suatu tempat yang letaknya sangat samar, hanya disebutkan berada di sebuah hutan panyampayan di daerah Citambur.

  1. Di mana manusa teu merhatikeun Cikapundung, Pasir Buniwangi jeung Pasir Négla, bakal urug, tuluy mangpet ngabendung wahangan. Jeung dimana ngemplangna nepi Maribaya Cibodas, nu ngabendung tuluy bedah, Bandung kaléléd, kakeueum ; laju Bandung jadi talaga deui.

Uga di atas menyatakan Bandung akan mengalami kejadian perubahan alam yang mengakibatkan Bandung menjadi kakeueum, talaga ‘terendam air, dan telaga’, diakibatkan oleh keserakahan manusia yang berada di kota Bandung tanpa melihat akibat yang ditimbulkan di kemudian hari. Makna dari kata kakeueum dan talaga dapat menunjukkan makna konotatif dan denotatif, yaitu sesak oleh manusia, keadaan semacam itu mengakibatkan kota Bandung diibaratkan sebagai lautan, atau akibat dari perbuatan yang tidak bertanggungjawab dan melupakan kearifan lokal, maka Bandung menjadi kakeueum dan talaga, seperti dalam Uga /4/ bagi manusia yang tidak lagi memerhatikan Cikapundung dan Citarum maka akibatnya banjir di mana-mana, maka ada kemungkinan Bandung akan menjadi telaga kembali.

Uga lain yang masih senada,

5 Urang Bandung mah bakal ka tegal haréndong (ceuk riwayat di daérah pakidulan Pangaléngan, di dinya aya nu disebut Tegal Bandung, cawisan keur urang Bandung. (dipelakan ku urang pangaléngan tara jadi)

6 Di daérah Subang aya cabé panayogian nu geus tumoké (tos badé asak), Urang Bandung lumpat ka Tegal Bandung atawa Tegal Layapan di Subang. Bandung heurin ku tangtung

Setiap uga lokal memiliki obsesi sebagai orientasi tempat yang akan berkembang sesuai dengan perkembangan daerahnya, uga di atas misalnya, menggambarkan perkembangan di daerah yang ditandai dengan adanya daerah (c)awisan atau daerah peruntukkan yang ditentukan dalam uga itu sendiri. Dan apabila uga menjadi kenyataan bahwa Bandung menjadi lautan, maka ada korelasi antara kegiatan manusia yang merusak alam Bandung dengan hasil yang diakibatkannya, kemudian mereka akan pindah ke tempat yang sudah ditentukan dalam uga, seperti Tegal Harendong, Tegal Bandung, dan Tegal Layapan.

Kerarifan yang tertuang dalam uga dapat berfungsi sebagai antisipatif. Seperti daerah cawisan yang dianggap sebagai tempat yang disakralkan, maka akan membantu masyarakat setempat untuk menjadikan salah satu daerah konservasi alam sehingga tidak merusak dan mengeksploitasinya. Di samping itu uga pun dapat menjadi sarana pemberitahuan dan perhatian untuk berbuat waspada akan kehancuran alam yang disebabkan oleh ulah manusia.

Kearifan lokal yang terlupakan disebabkan oleh :

- Kurangnya minat para pemuda akan tradisi

- Sistem Pendidikan yang lebih mementingkan materi daripada nilai-nilai

- Orang tua yang tidak lagi mentransformasikan nilai-nilai tradisi

- Gaya hidup orang kota lebih banyak ditiru dan mereka melupakan tradisinya.

- Globalisasi informasi yang siap saji di depan meja mengubah sikap dan perilaku generasi muda untuk lebih melihat hal-hal yang berbau ‘modern’

Simpulan

Kita tidak terbiasa mengayun langkah antisipatif atas suatu fenomena alam, yang berakibat pada sebuah kejadian yang diprediksi uga. Bila upaya mengantisipasi itu tidak dilakukan secara sungguh-sungguh, prediksi uga akan terjadi dan menjadi kenyataan.

Seperti contoh dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kota Bandung atau rusaknya alam sulit untuk diatasi, tapi dapat diprediksi dengan memanfaatkan uga di satu pihak dan ilmu pengetahuan di pihak lain. Karena itu sangat diperlukan keseimbangan alam, eksploitasi alam tetap harus mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Adanya uga ini selayaknya dijadikan momentum untuk membiasakan langkah antisipatif ketimbang langkah reaktif. Apabila langkah reaktif yang temporal dan spasial, maka uga hanya merupakan sebuah ‘karya karuhun’ yang tidak berguna. Justru dengan adanya uga ini diharapkan para pembuat kebijakan membiasakan diri dengan langkah antisipatif. Sebab selama ini fenomena alam hanya dipahami sebagai sebuah kenyataan yang harus diterima begitu saja.

Harapan, antara pembuat kebijakan ‘pemerintah’ yang harus mampu mengungkap kearifan masyarakatnya dalam menghadapi fenomena alam ini, apalagi yang berhubungan dengan lingkungan alam. Begitu pula dengan para ahli yang menggeluti budaya harus mampu memberikan kontribusi pengetahuannya bagi pembuat kebijakan. Maka antara keduanya harus ada sinergitas, pemerintah harus memberikan peluang bagi para ahli dalam menekuni dan mengembangkan ilmunya demi pembangunan, sehingga pembangunan akan berbasis kearifan yang ditemukan oleh para ahli itu sendiri.



[1] Makalah dibacakan dalam [IA-ITB] Sarasehan Pemulihan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal tgl 28 Januari 2010 di Hotel Aston Jl. Braga Bandung.

4 komentar:

  1. UGA...prediksi masa depan yang mungkin akan terjadi dengan memperhitungkan faktor2 alam dan fikiran zaman itu...wallohu a'lamu...!

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Diantara kita, masyarakat, ahli lingkungan, dan pemerintah Harus saling menyadarkan dan sinergis.

    BalasHapus