Kamis, 10 Desember 2009

U G A

Oleh : Nandang Rusnandar

Penelitian yang mendalam mengenai ‘uga’ pada umumnya dan Uga Bandung pada khususnya masih terbatas sekali dilakukan, walaupun ada hanya sebatas tulisan lepas berupa artikel dalam media massa. Demikian juga halnya dengan penelitian yang secara khusus mengenai Uga Bandung sebagai Pengetahuan Orang Sunda dalam Memprediksi dan Mengantisipasi Fenomena Alam, belum ada yang melakukan penelitian. Penelitian yang dilakukan sebatas pengungkapan yang dituangkan dalam berbagai artikel dalam surat kabar, seperti yang dilakukan oleh Nina Herlina Lubis yang membahas mengenai Uga Kampung Dukuh.[1] Begitu pula dengan Surat Kabar lokal[2] menulis beberapa artikel sekaligus, di antaranya artikel yang berjudul Wangsit Siliwangi; dalam kolom Bray, Jakob Sumardjo mengungkapkan Uga mengenai Kepemimpinan Trias Politika Siliwangi yang diuraikan berdasarkan kajian hermeunetika.

Artikel lain yang berjudul Wangsit Siliwangi “Leubeut ku Siloka jeung Simbul” (Wangsit Siliwangi “penuh dengan siloka dan simbol”), hasil wawancara dengan Oman Abdurahman. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Suwarsih Warnaen, dkk. (1987) Dalam bukunya yang berjudul Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda, uraian mengenai Uga mulai dari halaman 5 (lima) sampai dengan halaman 17 (tujuh belas). Mereka mengungkapkan Uga secara umum di antaranya:

1) Uga Bandung : Sunda nanjung, lamun nu pundung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui. (wawancara, 1980)

2) Uga galunggung : Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung. (wawancara, 1980)

3) Uga Banten : Nagara kartaraharja lamun lebak cawene geus kapanggih. (wawancara 1980)

4) Uga Kawasen : Urang kudu peperangan, dina keur nyieun jalan tengah di Gunung Kendeng, maung ngembang dadap di cai buhaya ngembang kaso. Dina keur peperangan kade kudu bareng jeung kolot, urang ulah hareup teuing bisi kaleyek, ulah tukang teuing bisi katinggaleun.

5) Ari nu bakal jadi ratu, baju butut bobodong batok, anu jolna ti gunung surandil, banderana kararas cau.[3]

Bagi masyarakat Banjar khususnya masyarakat yang berdomisili di daerah Lakbok, Uga Kawasen ini lebih dikenal dengan istilah Buk Kawasen. Dalam tradisi masyarakat Agraris-tradisional, baik di daerah Sunda (Jawa Barat) harapan yang disimpan dalam bentuk ramalan disebut Uga. Hal tersebut dikarenakan masyarakat percaya bahwa perubahan sosial akan terjadi sesuai dengan ramalan para karuhun. Bagi tradisi Jawa, dikenal dengan istilah pralambang, dengan adanya ramalan yang terkenal dengan sebutan Ramalan Jayabaya, dengan ramalan ini, mayarakat Jawa yang sangat mempercayai akan lahir dan datangnya Ratu Adil. Bagi kalangan masyarakat suku Bangsa di sekitar kepulauan Melanesia termasuk suku-suku bangsa di Irian Jaya, kepercayaan itu biasa disebut orang-orang barat dengan istilah cargo cult (Worsley, 1957; Koentjaraningrat, 1963, Suwarsih, 1987 :7)

Dalam penelitian yang diketuai oleh Suwarsih Warnaen, dengan anggota : Dodong Djiwapradja, H. Wahyu Wibisana, Kusnaka Adimihardja, Nina Herlina Sukmana, dan Ottih Rostoyati, diuraikan bahwa uga sebagai suatu ramalan ‘prophecy’ atau dalam bahasa Sunda disebut tujuman di dalamnya mengandung pengertian adanya ramalan ke arah perubahan sosial dan politik, ‘prophetic ideology’, dalam pengertian uga, juga terkandung faktor waktu yang sudah ditentukan oleh karuhunleluhur’, dapat dipergunakan untuk melihat tanda-tanda zaman, dan dalam uga dapat dijadikan sebagai gerakan nativisme, yaitu gerakan sosial yang digerakkan oleh interpretasi yang ada di dalamnya. Untuk memahami apa yang ada dalam uga ini, maka cara menganalisis dan menginterpretasinya mempergunakan kata-kata kunci ‘key words’ yang terdapat dalam uga sehingga pada akhirnya makna dan arti uga itu dapat ditelusuri sesuai dengan makna yang ada dalam kata-kata itu sendiri dikaitkan dengan situasi sekarang.

Nina HL, jauh sebelumnya merupakan anggota peneliti yang diketuai oleh Suwarsih Warnaen, sehingga dalam uraiannya mengenai pengertian uga sama dengan apa yang diungkapkan dalam penelitian sebelumnya. Ia menyitir uga Dukuh sebagai berikut : Di ahir jaman bakal loba parahu. Urang Dukuh mah makena parahu belang “Di akhir zaman nanti akan terdapat banyak perahu. Orang Dukuh akan memakai perahu belang”. Dalam uraiannya, dapat disimpulkan bahwa Uga yang dipercayai oleh komunitasnya merupakan suatu harapan yang bersifat mesianistis, bisa menjadi kekuatan sosial yang mendorong ke arah tindakan-tindakan untuk mengubah situasi sehingga melahirkan gerakan sosial. Dengan Uga juga, sangat dipercaya bahwa perubahan sosial pasti akan terjadi sesuai dengan ramalan yang tersurat dan tersirat di dalamnya. Uga dapat diinterpretasikan sesuai dengan tingkat kepercayaan orang yang menginterpretasikannya. Bagi orang tua, Uga bisa untuk melihat ‘tanda-tanda zaman’, meramalkan adanya perubahan sosial dan politik pada masa yang akan datang di lingkungan mereka sendiri. Dan Uga sangat berhubungan dengan masalah waktu, waktu di sini sangat relatif kejadiannya. Namun bila sesuatu telah terjadi sesuai dengan kenyataan, maka ungkapan geus nepi kana uga-na, geus nepi kana waktu nu ditujum ku karuhun. ‘sudah sampai pada waktunya, sudah tiba pada saatyang diramalkan oleh leluhur’ merupakan jawaban dari kejadian itu.

Oman Abdurahman dalam wawancaranya, menyatakan bahwa untuk memahami uga, kita dapat mempergunakannya dengan akal dan pengetahuan bukan dengan hal-hal yang bersifat mistis, walaupun masyarakat pada umumnya sangat mempercayai bahwa uga dapat dipahami lewat hal-hal yang mistis. Ia mencontohkan cara pengurainya berdasarkan arti dan makna kata yang tersurat di dalamnya, sehingga dapat dimengerti ke mana arah dan tujuannya uga yang dimaksud tersebut. Seperti adanya kalimat pajajaran anyar dapat diartikan bahwa dewasa ini merupakan perkembangan dan perubahan sosial dalam sistem pemerintahan otonomi daerah. Sementara Jakob Sumarjo, sangat mempermasalahkan bahasa yang dipergunakan dalam uga yang ada sekarang ini. Apakah bahasa tersebut asli atau tidak ? Karena dilihat dari kata-kata yang dipergunakannya merupakan kata-kata yang dapat dikategorikan kata-kata sekarang. Jadi kesimpulannya bahwa kata-kata yang dipergunakan dalam Uga Wangsit Siliwangi bukan merupakan kata-kata yang diucapkan atau disampaikan langsung oleh raja Sunda pada waktu itu. Terlepas dari itu semua, bagi Jakob Sumardjo, dalam menafsir Wangsit Siliwangi ada yang mempergunakan akal sehat dan logika yang dikaitkan dengan sejarah dan perkembangan jaman, bahkan ada pula yang menafsir dengan cara mistis.

2.1.1 Pengertian Uga

‘Uga’ dengan bentuk lainnya yang ada di seantero dunia, sudah ada sejak dahulu kala. Hal tersebut dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan baik itu dari ajaran agama, ataupun folklor yang ada di setiap bangsa. Dalam istilah agama Islam disebut dengan ‘nubuat’ yang mengandung ramalan ke depan.

Dalam Kamoes Basa Soenda, dikatakan bahwa Oega nya eta waktoe parobahan, babakoena parobahan kaajaan nagara atawa bangsa (Moen geus nepi ka oegana, tangtoe tanah oerang merdeka “Uga adalah waktu perubahan terutama perubahan keadaan negara atau bangsa (pabila sudah sampai kepada uganya, tentu tanah air kita merdeka”(Satjadibrata, 1948 :249). Sedangkan dalam Kamus Basa Sunda, yang disusun oleh Lembaga Basa & Sastra Sunda (1980 : 547) dikatakan bahwa uga berarti tujuan nu aya patalina jeung parobahan penting, babakuna parobahan kaayaan nagara atawa daerah; Geus nepi kana ugana, geus nepi kana waktuna nu ditujum ku karuhun ‘Suatu ramalan yang ada hubungannya dengan perubahan penting suatu negara atau daerah; Sudah sampai pada waktu yang ditetapkan nenek moyang’. KH. Hasan Mustafa (1890), dalam sebuah tulisannya memberikan pengertian uga yang lebih deskriptif bahwa:

Basa uga ditelahkeunana kana omongan anu méré béja piayaeun naon-naon kangeunahan atawa bancang pakéwuh (kasusahan) di ahir, tapi lain anu bangsa lahir, saperti kana tangkal cau, jaga bakal jantungan. Ieu jelema jagana bakal diruang; tapi kapakéna uga mah kanu moal kapanggih, tapi ku pikiran tahayulan jelema tangtu kapangih, ngan teu nyaho di urang kénéh atawa ku anak incu. Nu matak ari aya nu rada sarupa jeung taksiran sok diaoromongkeun ‘geus tepi ka ugana’ atawa ‘samorong ceuk uga’

Ari conto-contona omongan baheula,

“Jaga mah, barudak, sajajalana disaungan”. Béh karéta api.

“Gancang carita béja, mun geus aya balabar kawat”. Béh telegram.

“Jaga mah, barudak, batu turun keusik naék”. Béh anak somah naék pangkat, anak ménak teu pangkat.

“Jaga mah, barudak, ngateuran ka nu digawé gé mawa kéjo dina iteuk, nandakeun angker gawé” Béh nu dagang di pagawéan.

Kitu deui kana cacandran nagara, jaga mah barudak, Bandung heurin ku tangtung /…/ éta gé jadi omong geus tepi kana ugana. Jeung sajaba ti éta loba deui uga geus tepi jeung nu acan, nurutkeun tahayul pikiranana, nu jadi basa jangji kudu ngabukti, subaya kudu mangrupa. Malum perkara tahayul ti unggal ati, anu keur ngarep-ngarep kaanéhan. (Rosidi, 1989 :350-351)

Artinya :

“Kata Uga diartikan terhadap pembicaraan mengenai berita tentang sesuatu yang akan terjadi baik berita yang baik ataupun berita bencana di suatu waktu nanti. Uga tidak diartikan berita sesuatu yang nyata, seperti “pohon pisang nantinya berjantung” atau “Manusia nantinya akan dikubur” Tapi Uga diartikan terhadap hal yang bersifat abstrak, dengan pemikiran yang dipercayainya, maka uga akan dapat dimengerti dan dirasakan. Tapi apakah uga itu dapat dirasakan langsung atau nanti oleh anak cucu. Maka bila ada yang sama dengan tafsiran selalu disebutkan ‘sudah sampai pada waktunya’ atau ‘sesuai dengan/kata ramalan’

Contoh-contoh uga :

“Anak-anak, kelak di akhir jaman, sepanjang jalan dinaungi’ Muncul Kereta.

“Berita yang cepat, bila ada berita kawat” Muncul Telegram.

“Anak-anak, kelak di akhir jaman, batu turun, pasir naik” Terbukti, anak cacah memiliki pangkat / terpandang, dan anak menak tidak berpangkat.

“Anak-anak, kelak di akhir jaman, memberi makan orang yang kerja dengan cara membawa nasi dengan tongkat”. Muncul atau adanya pedagang yang datang ke tempat kerja.

Begitu pual dengan cacandran / uga mengenai perjalanan negara “Anak-anak, kelak di akhir jaman, Bandung sesak dengan ‘tangtung’ /…/” Hal tersebut sudah terbukti ‘geus nepi kana ugana’. Ada banyak uga yang sudah terbukti dan yang masih belum terbukti, menurut kepercayaannya bahwa ‘janji harus terbukti, harapan harus nampak’ maklum kepercayaan datang dari setiap hati, manusia yang sedang menunggu datangnya keunikan”

Uga merupakan suatu keniscayaan atau kepastian, hal tersebut dikarenakan dalam pengertian yang terungkap pada anak kalimat geus nepi kana ugana ‘sudah sampai pada saatnya’. Dalam pengertian anak kalimat di atas dapat dilihat bahwa kejadian yang diharapkan sudah nampak di depan mata dan dialami sesuai dengan apa-apa yang diramalkan. Kesimpulan pengertian yang diberikan oleh beberapa informan mengenai Uga, adalah “ramalan yang diberikan oleh karuhun, mengenai apa yang akan terjadi di kemudian hari”. Dalam buku Diktat untuk murid-murid SGB yang berjudul Kasusastraan Sunda, dikatakan bahwa uga disebut juga Tjatjandran nya eta tjarita karuhun nu ngagambarkeun kaajaan nagara djst., nu bakal kasorang, saperti tjatjandran Djajabaja, atawa di urang aya oge kolot-kolot baheula geus njarebutkeun Sumedang ngarangrangan, galunggung ngadeg tumenggung, Sukapura ngadaun ngora, Bandung heurin ku tangtung, Tjiandjur katalandjuran, Tjiamis amis ku maneh, Banagara sor ka tengah ’Uga disebut juga cacandran yaitu cerita nenek moyang yang menggambarkan keadaan negara dan sebagainya yang bakal dialami, seperti cacandran masyarakat Sunda menurut orang tua dahulu sudah menyatakan bahwa Sumedang ngarangrangan, galunggung ngadeg tumenggung, Sukapura ngadaun ngora, Bandung heurin ku tangtung, Tjiandjur kataladjuran, Tjiamis amis ku maneh, Banagara sor ka tengah.’

Istilah Uga bisa berasal dari kata ngayuga yang berarti membimbing atau duga ‘duga’. Dalam Kamoes Basa Soenda (1948 : 149) kata yoega berarti, naon-naon nu diwudjudkeun ‘apa-apa yang diwujudkan’; ngayoegakeun berarti ngawudjudkeun, ngalahirkeun orok djeung ngadjaga kasalamateanana ‘mewujudkan, melahirkan bayi dengan menjaga keselamatannya’. Dalam ungkapan tradisional Sunda dikenal adanya ungkapan yang menyatakan fungsi orang tua dengan frase Indung nu ngandung, bapa nu ngayuga ‘Ibu yang mengandung, Bapak yang membimbing dan menjaga keselamatannya’. Hubungan antara kata uga dan yuga, yaitu sama-sama mempunyai pengertian untuk membimbing dan menjaga keselamatan dari orang tua (karuhun) kepada ‘bayi’ dalam artian anak atau masyarakat. Dalam pengertian yang lebih luas bahwa uga merupakan suatu bimbingan dari karuhun kepada seuweu siwi ‘generasi yang akan datang’, karena dengan bimbingannya yang merupakan cecepengan ‘pedoman hidup’ manusia kini dapat hidup dengan selamat. Suria Saputra, memberi pengertian mengenai uga sebagai berikut : Istilah Uga bisa jadi asal muasalnya tina kecap ‘Yuga’ atawa ‘duga’. Di Jawa Tengah boh di Tatar Sundaremen disebut ‘ogan’ saperti ‘ogan lopian’ (gambar lopian), nya éta jimat milik Batara Kresna, nu hartina ‘ramalan’.[4]

Uga terlahir dari sebuah cara berfikir karuhun berdasarkan kausalitet ‘sebab akibat’ yang dilatarbelakangi pola hidup agraris tradisional, sehingga melahirkan manusia-manusia yang weruh sadurung winarah ‘tahu akan kejadian-kejadian yang akan datang’, karena manusianya sudah legok tapak genteng kadek ‘banyak pengalamannya’.

Berdasarkan pengertian di atas, bahwa uga merupakan suatu tujuman atau ramalan ‘prophecy’ yang menyangkut kehidupan sosial dan politik di kalangan orang-orang Sunda. Dalam pengertian uga, juga terkandung faktor ‘waktu’ yang sudah ditentukan oleh karuhun. Suwarsih Warnaen, mengatakan bahwa uga sebagai suatu ramalan, tentu akan menimbulkan banyak interpretasi terhadap kata-kata yang digunakannya. Bahkan tidak jarang kata-kata yang terkandung dalam uga diartikan banyak orang secara harfiah atau secara kongkrit. Hal itu menyangkut sejauh mana keyakinan orang terhadap kebenaran ramalan yang terkandung dalam uga itu. Keadaan ini dapat menimbulkan frustasi bagi orang-orang yang mempercayainya, karena yang ditunggu sesuai dengan interpretasinya terhadap ramalan yang terkandung dalam uga tidak kunjung datang. Namun demikian, bagi orang-orang yang mempercayai kebenaran uga itu, mempergunakannya sebagai ‘prophetic ideology’ dalam usaha memahami pertanda zaman. Sebagai suatu ramalan maka uga cenderung untuk membicarakan hal-hal yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, uga lebih mencerminkan pandangan hidup manusia (1987 : 5-8).

Dari uraian itu, dapat ditarik satu kesimpulan mengenai pengertian dan makna uga. Dalam kehidupan masyarakat Sunda uga dapat berarti sebuah ramalan atau prediksi mengenai perubahan dalam kehidupan baik yang berhubungan perubahan secara fisik, perubahan politik, ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya dengan jangkauan waktu yang pasti terjadi. Bagi masyarakat Sunda, uga dapat bermakna sebagai pedoman dan bimbingan dalam menentukan langkah untuk menyongsong perubahan yang akan terjadi. Uga merupakan tradisi lisan, biasanya diucapkan dalam bentuk simbolisasi, sehingga untuk memaknainya memerlukan interpretasi berdasarkan 5S (lima S, silib-sindir, suluk, siloka, dan simbul) agar bentuk-bentuk simbol yang diterimanya itu tidak melenceng jauh dalam arti yang sebenarnya.

2.1.2 Uga Bandung sebagai Tradisi Lisan

Menurut Suripan Sadi Hutomo (1991 :11) dan Yus Rusyana (2006: 8) tradisi lisan itu mencakup beberapa hal, yakni (1) yang berupa kesusastraan lisan, (2) yang berupa teknologi tradisional, (3) yang berupa pengetahuan ‘folk’ di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan ‘folk’ di luar batas formal agama-agama besar, (5) yang berupa kesenian ‘folk’ di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (6) yang berupa hukum adat. (dalam uraian Yus Rusyana, dikatakan bahwa untuk keadaan di Indonesia hukum adat dikeluarkan dari tradisi lisan sebab sudah merupakan bagian khusus dari ilmu hukum Indonesia (2006 : 8)). Tradisi lisan adalah cerita yang hidup secara lisan, tersebar dalam bentuk tidak tertulis, disampaikan dari bahasa mulut. Cerita lisan ini adalah bagian dari persediaan cerita yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat terutama dalam masyarakat tunaksara (Yus Rusyana, 1981 :1). Tradisi lisan merupakan bagian dari budaya dan sekaligus mencerminkan pula budaya keseluruhannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa cerita selalu mengandung unsur-unsur kehidupan sosial budaya dan seperangkat nilai budaya yang unik dari masyarakatnya pada saat diciptakan.

Sastra lisan tidak mempunyai naskah. Jika sudah berbentuk tulisan naskah itu hanya merupakan cacatan yang tidak mungkin mencakup keseluruhan pernyataan sastra lisan itu, misalnya mengenai guna dan perilaku yang menyertainya (Yus Rusyana, 1981 :2) Walaupun demikian dari sastra lisan yang sudah direkam dapat kita tarik unsur-unsur yang pada akhirnya akan memperlihatkan makna secara keseluruhan dipandang dari aspek bahwa cerita itu merupakan karya sastra lisan.

Dengan demikian Uga Bandung adalah tradisi lisan masyarakat Sunda yang diperoleh dari penuturan orang Sunda sendiri yang berada di lingkungan Kota Bandung.

2.1.3 Uga Bandung dalam Kehidupan Sosial Budaya

Dalam kehidupan sekelompok etnik, di dalamnya terkandung berbagai atau sejumlah adat istiadat, kepercayaan, bahasa dan kebiasaan yang dilakukan dalam keseharian atau ciri lain sebagi bagian dari kebudayaannya. Semuanya itu merupakan warisan yang telah diterimanya sejak dahulu dan menjadi kebiasaan bagi generasi kini.

Begitu pula dengan Uga Bandung, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat atau etnik Sunda, dan khususnya masyrakat di kota Bandung sebagai pendukungnya. Di dalam uga tersebut dapat dikenali kehidupan budaya masyarakat pendukungnya. Dengan kata lain bahwa untuk mempelajari suatu masyarakat antara lain kita dapat mempelajari tradisi lisan yang ada di dalamnya. Karena tradisi lisan dapat memberikan gambaran tentang masyarakat pendukungnya, maka tradisi lisan merupakan bagian dari sistem kebudayaan (Boas, 1935, Nimpuno, 1999: 61).

Uga atau cacandran yang meramalkan sesuatu akan terjadi di masa yang akan datang, dapat pula disebut ‘the bible of the folk’. Dengan demikian uga dapat dikatakan merupakan futurisme yang berbeda dengan futurologi ilmiah yang berdasarkan data statistik, pengamatan dan analisis yang menggunakan metodologi ilmiah. Sedangkan uga hanya disusun berdasarkan ilham, insting, penghayatan ‘kotemplasi’. Dengan kearifannya, karuhun mampu mengabstraksikan dan menggeneralisasikan putaran perjalanan hidup manusia sehingga melahirkan uga. Uga dalam bentuk kata-kata yang dihubungkan dengan tanda-tanda alam, baik secara simbolik atau perlambang atau dilisankan secara harfiah. Contoh uga perlambang adalah Uga Bandung, dinyatakan bahwa bangsa Indonesia baru bisa adil dan sejahtera bila Kawah Ratu (penguasa) bersatu dengan Kawah Upas (rakyat). Atau dengan kata lain bahwa para pemimpin bangsa sudah mau menerima aspirasi rakyat baru Indonesia makmur dan adil.

Ramalan yang menyebutkan bahwa uga itu berlaku tidak hanya bersifat lokalitas saja melainkan luas ke seluruh dunia. Disebutkan dalam sebuah uga yang tertulis dalam sebuah lembaran kusam (Naskah kertas Nederlander) yang berbahasa Sunda campur Melayu ditulis dengan aksara Arab Pegon tertera di sana Yén engké bakal karandapan hujan racun ! Kita lihat ramalan hujan racun itu terjadi di Negara-negara Eropa, Jepang, RRC, India, Kanada dan Amerika. Bahkan yang lebih mengenaskan yaitu ketika kejadian Chernobyl di Sovyet Rusia atau perang dengan menggunakan senjata biologi.

Uga dalam wujud pantun (cerita pantun), seperti Pantun Bogor : Paku Jajar di Lawang Gintung; Uga Lebak Cawene, Ronggeng Tujuh Kalasirna, Dadap Malang Sisi Cimandiri, Ngahiangna Pajajaran (Uga Wangsit Siliwangi), Ngadegna Pajajaran, Kujang Di Hanjuang Siang. Begitu pula Pantun-pantun yang berasal dari Aki Uyut Baju Rambeng dan Pantun Pa Cilong.

Uga dalam kakawihan barudak atau tembang barudak Sunda, seperti : Ayang-ayang Gung dan Prang pring Prang Pring Sabulu-bulu Gading atau Milang Bincurang.

Ayang-ayang Gung

Ayang-ayang gung, gung

Gung goongna ramé, mé

Ménak Ki Mas Tanu, nu

Nu jadi wadana, na

Naha maké kitu, tu

Tukang olo-olo, lo

Loba anu giruk, ruk

Ruket jeung kumpeni, ni

Niat jadi pangkat, kat

Katon kagoréngan, ngan

Ngantos Tuan Besar, sar

Sareng Kangjeng Dalem, lem

Lempa lempi lempong

Ngadu pipi jeung nu ompong

Jalan ka batawi ngemplong

Arti uga dari nyanyian atau kakawihan barudak di atas adalah kearifan karuhun yang disimbolkan yaitu ketidaksenangan rakyat terhadap pemimpim feodal, yang digambarkan oleh sikap Menak Ki Mas Tanu[5] yang menjadi bupati yang bersikap bunglon ‘tanu’ dan ber-KKN dengan kompeni karena ingin menjadi penguasa sehingga jalan menuju Batawi (Jakarta, pusat kekuasaan) mulus. Di sana ia bertemu dengan orang yang pikirannya kosong ‘Ngadu pipi jeung nu ompong’. Situasi dan kondisi saat ini pun kini masih berlaku, mau ber-KKN dan cepat naik pangkat ? Jadilah orang yang berwatak Ki Mas Tanu walaupun pikirannya kosong (mungkin gambaran sekarang bagi para anggota DPR).

Ramalan yang muncul dalam kakawihan barudak yang meramalkan akan lahir zaman di mana situasinya akan berubah, seperti kehidupan ekonomi dan religi masyarakat Sunda akan berubah terpengaruh oleh sistem ekonomi dan religi dari luar, yaitu :

Milang Bincurang

Prang …pring

Prang…pring

Saunda-unda perang

Nya perang di pangadegan

Turuni puyuh

Hayam tanah babarancang

Dikéncréng-kéncréng kucubung

Kucubung kuruwek dugel, muntel

Dalam bait kakawihan di atas, disebutkan saunda-unda perang, nya perang dipangadegan pada setiap aspek kehidupan terjadi perubahan, menuntut perubahan dalam prinsip atau pangadegan yang berasal dari kata adeg yang berarti sikap.

Kakawihan barudak dalam permainannya ada yang menunjukkan ramalan mengenai sebuah gambaran atau situasi yang tidak dapat diketahui arah dan tujuannya, akan tetapi meminta korban, yaitu permainan oray-orayan :

+ Oray-orayan

= Oray naon ?

+ Oray bungka

= Bungka naon ?

+ Bungka laut

= Laut naon ?

+ Laut dipa

= Dipa naon ?

+ Di pandeuri ….ri.ri…ri.ri[6]

Nyanyian yang lahir dalam situasi yang gawat, sebagai sebuah simbol agar musuh tidak mengerti, yaitu :

Ja leuleu ja,

tulak tuh ja éman gog

Seureuh leuweung bay[7]

Nyanyian orang dewasa yang biasa dinyanyikan dalam sebuah sisindiran, lahir pada jaman tanam paksa Belanda, penanaman kopi di Bandung, yaitu :

Dengkleung déngdék

Buah kopi raranggeuyan

Ingkeun anu déwék

Ulah pati diheureuyan

Pada masa itu kopi menjadi komoditi masyarakat di Jawa Barat yang tak lepas dari kehidupan kesehariannya. Sehingga kopi, tidak saja menjadi kalangenan ‘kebiasaan’ untuk minum, melainkan kopi juga, menjadi kebiasaan dalam segala bentuk acara makan makanan ringan. Kata ngopi yang dalam arti sebenarnya adalah minum kopi, menjadi acara makan makanan ringan, yang diminum bukan kopi melainkan teh, atau makan penganan. “Geus ngopi ?” atau “Urang ngopi, yu !” Sebuah pertanyaan dan ajakan untuk makan atau sekedar makan makanan ringan.

Kakawihan barudak yang lahir pada waktu masyarakat sedang dalam keadaan susah dan timbul rumor banyaknya orang yang kaya mendadak, karena nyegik atau munjung :

Ambil-ambilan turuktuk hayam samantu

Saha anu diambil kami mah teu boga incu

boga gé anak minantu

Nani-Nani (atau siapa saja nama salah seorang anak peserta permainan ini dipanggil) ka dieu,

Purah nutu, purah ngéjo

Purah ngasakan baligo

Nyerieun sukuna, kacugak ku kaliagé

Aya ubarna, urat gunting campuragé

Tiguling nyocolan dagé

Maling endog … maling endog… !

Bandung sebagai kota pendidikan dengan munculnya Sakola Raja (di Jalan Merdeka, Polwiltabes Sekarang), para orang tua di seluruh pelosok (Jawa Barat) selalu menginginkan semua anaknya menjadi orang-orang terdidik, terhormat dan mampu berterima kasih kepada orang tua. Mereka berharap agar anaknya pergi dan datang ke Kota Bandung untuk menuntut ilmu maka lahirlah nyanyian :

Néléngnéngkung néléngnéngkung

Geura gedé geura jangkung

Geura sakola di Bandung

Geura makayakeun indung

Situasi dan kondisi kehidupan secara global pun tidak luput dari perhatian karuhun Sunda, karena semua merupakan fenomena alam yang sangat disadari oleh karuhun dan menjadi peringatan yang harus diperhatikan oleh anak cucu atau generasi mendatang. Jaman edan seperti saat ini telah diperingtakan agar anak cucu berhati-hati dalam menghadapinya. Wangsit dari Raja Pajajaran yang ada di Kabuyutan Galunggung, menyebutkan bakal terjadi jaman edan dan situasi yang tidak terkendali. Di antara wangsit yang terungkap adalah :

/…/

Budak teu ngawaro jeung teu heman ka kolot;

murid teu tuhu ka guru;

Raja sabuana salah pamakéna;

Pandita salah pamakéna;

Panghulu salah pamakéna;

antukna patulak tawur tanpa wastu ilang buana /…/

[“Uga” Seri III, Baranangsiang No. 4 Tahun 1967]

Pepatah petitih dahulu mengingatkan bahwa pribadi atau lembaga harus dihargai : Guru wong atua karo, artinya tatanan masyarakat akan berlangsung baik apabila generasi muda hormat dan taat dan menghargai gurunya, pemerintah adil dan agung wibawa, serta para ulama arif bijaksana. Tapi kenyataannya semua kacau tanpa wastu “martabat” dan kenyataannya nampak seperti sekarang. Kekacauan ini pun terus berlangsung, sehingga Karuhun Sunda dengan kearifan melihat kota–kota di Jawa Barat akan berkembang seperti apa yang dilihat melalui mata bathinnya yang disusun dalam Uga Bandung, yaitu :

Bandung heurin ku tangtung

Cianjur katalanjuran

Sukabumi tinggal resmi

Sumedang Ngarangrangan

Sukapura ngadaun ngora

Galunggung ngadeg tumenggung

Garut jadi pangirut

Kenyataan itu kini sudah terjadi, misalnya Kota Bandung yang menjadi sebuah kota metropolitan, sudah heurin ku tangtung, PKL di mana-mana susah untuk diantisipasinya, gedung-gedung mall di mana-mana, keinginan dan kehendak yang saling tumpang tindih nampak di kota Bandung ini. Kota Cianjur, perkembangannya kini hanya sebagai kota yang hanya dilewati. Kota Sukabumi tinggal sebuah nama saja, ibukotanya akan pindah ke Pelabuhanratu. Hal tersebut terjai karena sudah ada rencana akan mengembangkan kotanya menjadi kota pariwisata dan ibukota akan berpindah ke daerah pesisir. Kota Sumedang, kini hanya sebuah kota pensiunan, ramainya pindah ke Jatinangor. Garut ? Nah, ini dia Sukapura akan ngadaun ngora, hal itu pun terbukti kini Tasikmalaya sedang berbenah untuk menjadi sebuah kota yang megah dengan pembangunan di sana-sini. Galunggung Ngadeg Tumenggung ? Kini sudah terbukti, ibukota kabupaten berdiri di Kota Singaparna yang berada di suku Gunung Galunggung.

Begitu pula dengan Uga Cilauteureun yang tersebar di daerah Garut, yaitu sebuah uga yang memperingatkan kepada anak cucu atau generasi sekarang, bahwa jaman edan akan berlangsung, di antaranya uga itu menyatakan :

Uga cicirén kaasih ti kolot urang baheula,

tanda kamelang haté,

bisi seuweu siwi Sunda,

kagoda milu édan jeung jalma nu baragajul,

lolong kana pajamanan

Makmak-mekmek hayang sugih,

loba dunya luhur pangkat,

ka batur teu inggis néjéh,

najan kudu ngahianat,

asal laksana tékad,

lir kokoro manggih Mulud,

poho kana bebeneran

Dalam situasi jaman edan itu, uga lain menyatakan :

Nagara ilang komara,

rahayat pinanggih lara,

sagala kias teu mental,

sakabéh pamingpin bingung

Semua itu memang benar adanya dan terbukti sesuai dengan kata-kata karuhun tadi, banyak orang yang ingin naik pangkat dan terpakai oleh atasan dengan cara menghianati terhadap tujuan pokoknya. Dan akibatnya rakyat jadi korban.

Ungkapan tradisional Sunda yang merupakan kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman panjang dari sebuah komunitas. Karuhun kita membuat ungkapannya itu menyimpan makna yang dalam yang semuanya lahir karena pengalamannya, baik pengalaman yang manis, pahit, mengenaskan atau pengalaman spiritual.

Uga Wangsit Siliwangi, ketika Prabu Siliwangi akan ngahiyang ‘mangkat’, beliau memberikan wejangan : “Wahai rakyatku, barang siapa yang mau menjadi orang yang berpangkat pergilah ke timur. Barang siapa mau menjadi orang yang mau ngabarata atau suci hati, pergilah ke barat, barang siapa mau menjadi pesuruh orang yang datang dari timur, pergilah ke utara, dan barang siapa mau menjadi orang yang sengsara tapi sejati dalam “Sunda” tapi menderita seperti saya, ikutlah ke kidul ’selatan’ bersama saya. Dari wangsit itulah muncul sindiran kepada orang Sunda yang benar-benar mempertahankan prinsip kasundaannya. Sindiran itu muncul dalam peribahasa Asa aing uyah kidul. Uyah ‘garam’ berarti sari atau inti; kidul ‘selatan’ tempat orang-orang yang ikut bersama Prabu Siliwangi.

Simbol yang dilambangkan dengan warna, di Banten dapat dilihat dari benang pengikat rokok (tali rokok daun kawung) dipergunakan sebagai tanda “ungkapan rasa” dari si pengirim kepada orang yang dikirim, seperti rokok mole ‘rokok tembakau yang digulung dengan daun kawung ‘enau’’ kemudian diikat dengan benang yang berwarna:

warna héjo ‘hijau’ = hayang paténjo;

warna hideung ‘hitam’ = Nineung;

warna bodas ‘putih’ = putih bersih;

warna beureum ‘merah’ = ngajak eureun, pegat kasuka;

warna paul ‘biru langit’ = hayang disusul;

warna biru ‘biru’ = milu;

warna wungu‘violet/bungur’ = ditunggu;

warna hawuk ‘abu-abu’ = ngundang datang;

warna gading ‘krem’ = ngabejaan gering;

warna koneng ‘kuning’ = keuheul.

Simbol-simbol seperti itu pun dewasa ini sering dianalogikan kepada kejadian-kejadian alam, baik politik, ataupun segala aspek kehidupan manusia. Sebelum Presiden Megawati Soekarnoputri naik menjadi Presiden Indonesia, jauh sebelumnya muncul gejala di masyarakat, orang-orang membuat cincin dari uang logam kuningan Rp. 100,00 Gejala alam tersebut menunjukkan bahwa presiden Indonesia nanti adalah perempuan, karena cincin dianalogikan sebagai perempuan. Begitu pula ketika Susilo Bambang Yudoyono atau lebih kita kenal dengan sebutan SBY (Baca dalam bahasa Sunda : és beyé ‘es yang masih cair’). Gejalanya muncul ketika dalam setiap perayaan tujuhbelas agustusan, di setiap pelosok kampung banyak atribut air yang berwarna warni dalam kantong plastik (seperti es bungkus yang harganya Rp. 100-an) digantungkan di atas pohon kering dan menjadi hiasan untuk meramaikan pesta rakyat tersebut. Maka dari situlah gejala alam dibaca oleh masyarakat bahwa SBY naik menjadi presiden. Tapi dia hanya sebagai orang yang mampu “meramaikan dengan warna-warninya” dan hanya sebagai hiasan belaka. Kita lihat gejala di atas, SBY menyusun kabinet dengan sebutan Kabinet Indonesia Bersatu, karena melihat keanekawarnaannya dari berbagai parpol.

Dinamika budaya dewasa ini dapat kita lihat dari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang sedang mengalami perubahan terus menerus menjadikan anggota dari setiap masyarakat mencoba untuk mengungkapkan “rasa” melalui verbal yang sesuai dengan pengetahuannya. Ungkapan verbal biasanya terlontar berdasarkan gejala yang timbul di lingkungannya. Budaya Sunda pun tidak statis melainkan sangat dinamis, hal itu terlihat dari ungkapan yang menyatakan bahwa manusia Sunda harus mampu menyesuaikan arus kehidupan dan perubahan jaman tanpa meninggalkan budayanya sendiri : Ngindung ka waktu ngabapa ka jaman atau ngigelan jaman jeung ngigelkeun jaman.

Bila sejarah merupakan sebuah gambaran tentang pengalaman kolektif atau individual di masa lampau, maka folklor pun harus seperti itu. Perbedaannya sejarah disusun atau direkonstruksi berdasarkan kaidah-kaidah tertentu, namun folklor tidak dibakukan dan hanya disampaikan secara oral, jenis realita tidak disesuaikan dengan fakta historis. Folklor harus dilihat sebagai endapan memori rakyat tetapi potensial menjadi sumber sejarah dan di samping itu folklor dapat menjadi sebuah fenomena kebudayaan.



[1] Harian Umum Pikiran Rakyat, Sabtu 14 Oktober 2006

[2] Mingguan berbahasa Sunda Galura, Minggu 1 Nopember 2007

[3] Mingguan berbahasa Sunda Kudjang, Jumat, 24 Juli 1981, ditulis oleh A.K. Djajasoepena.

[4] Suria Saputra “UGA” dalam Majalah Baranangsiang No. 2 taun 1967.

[5] MA. Salmun (1972), Majalah Intisari, menulis bahwa Mas Tanu itu adalah Tanujiwa, orang Sumedang yang mendapat perintah dari Campuijs ‘Belanda’ untuk membuka hutan Pajajaran dan mendirikan Kampung Baru di Bogor dan Jatinegara. Dengan kedekatannya dengan VOC di Batavia, ia berhasil menjadi Bupati Bogor pertama (1689-1705), namun pada akhirnya memberontak dan dibuang ke Tanjung Harapan Afrika. (Sejarah Bogor tidak pernah mencatat Tanujiwa sebagai Bupati, dalam Danasasmita, 1983: 84)

[6] permainannya, sejumlah anak-anak berjajar saling memegang pundak anak yang didepannya, mereka menyanyikan kakawihan tersebut, dan ada dua orang anak berdiri dan berpegangan tangan membentuk sebuah terowongan, ketika kata-kata ri….ri… diucapkan maka anak yang paling akhir ditangkap oleh dua anak yang berpegangan tangan

[7] Ketika orang Priangan mengintip pasukan Mataram di jalan yang akan dilewatinya, orang yang berjaga di garis depan melihatnya kemudian memberi tanda dengan nyanyian. Ja berarti pasukan Jawa atau pasukan Mataram, tulak tuh ja eman berarti siap-siap beri perlawanan

1 komentar:

  1. Perubahan jaman telah dilalui, sebuah pesan dalam bahasa Indonesia “Jangan melihat kebelakang” artinya adalah jangan Mengingkari Perintah Alloh” sesuai QS. 3.144

    وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ ٱنقَلَبْتُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَٰبِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيْـًٔا ۗ وَسَيَجْزِى ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ ﴿١٤٤﴾

    “Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.”

    BalasHapus