Senin, 28 Maret 2011

MASYARAKAT ADAT DAN GLOBALISASI

Oleh : Nandang Rusnandar

Mengenal masyarakat adat, berarti kita harus memahami tradisi yang mereka anut dan dijadikan pegangan atau pedoman hidupnya. Kita sebagai masyarakat kota yang mungkin telah lepas dari nilai-nilai kearifan, karena dari waktu ke waktu selalu bergelut dengan hal-hal yang bersifat materi dan itu yang menjadi target hidup. Selalu menghindar dan berkelit dari kenyataan, maka ketika era globalisasi mengimbas, kita mengekor di belakangnya untuk meng’iya’kan ketercerabutan kita dari nilai-nilai kearifan. Globalisasi telah menjadi fenomena ekonomi, politik, dan budaya, tulis John Micklethwait (2007) A Future The Challenge and Hidden Promise of Globalization. Untuk menghadapi era globalisasi yang terus menggilas masyarakat dunia ini, kita perlu mengkaji karifan secara konfrehensif. Kata Globalisasi mulai mendapat makna tambahan mistis, setiap orang menyebutnya tapi tidak ada yang mendefinisikannya. Bagi pemimpin Asia, globalisasi artinya dominasi Amerika. Dalam sejarah kontemporer, kita dapat menyaksikan berbagai kasus anomi sosial dan aleinasi kultural dengan segala konsekuensinya, sehingga terjadi disorientasi norma dan nilai. Sebagai solusi hal tersebut di atas, universalisme ilmu pengetahuan dan teknologi tidak perlu memudarkan kesadaran sejatinya identitas; aleinasi dari kesejatian diri sendiri adalah awal dari satu perubahan yang akhirnya bisa menjadi tanpa arah dan bahkan bebas nilai.

Pembangunan yang hanya mementingkan perkembangan secara fisik dewasa ini tidak merupakan gerakan yang berorientasi pada nilai-nilai value-oriented movement. Di sini, mengapa budaya penting? Karena dengan budaya dapat mengungkapkan kepada kita baik sadar ataupun tidak bagaimana masyarakat itu berfikir, berkehendak, dan memproses apa yang dilihatnya. Selain itu dengan budaya dapat menemukan referensi yang mengabadikan apa-apa yang dirasakan dan dianggap penting oleh pendukungnya. Dapat dirumuskan bahwa pembangunan, menimbulkan pergeseran budaya, tata nilai, adat istiadat, dan perubahan lain dari ciri mandiri kehidupan masyarakat. Bagi para budayawan atau ilmuwan bertitik tolak pada pemikiran yang menyatakan bahwa peninggalan masa lalu merupakan warisan yang tak ternilai harganya, maka semua bentuk peninggalan harus dilestarikan demi memperkaya dan memperkokoh khasanah budaya. Slogan yang disarankan oleh Timothy Ash, yaitu Think global, act local seharusnya paradigma berfikirnya dibali k think local, act global saat ini sudah sama pentingnya.

Bahwa budaya lokal, contoh masyarakat adat, harus menjadi primadona dalam menghadapi tantangan globalisasi dan keterpurukan yang diakibatkan oleh desakan pembangunan, sehingga manusia tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri. Nilai-nilai yang menjadi ciri identitas suatu masyarakat adat ‘genus lokal’ akan berkaitan erat dengan otentisitas perilaku atau visi hidup masyarakat pendukung budaya lokal. Nilai-nilai kearifan lokal perlu disiasati secepatnya dan diaktualisasikan dalam kehidupan keseharian kita, agar nilai-nilai tidak hanya sebatas knowledge atau kanyaho ‘pengetahuan’ saja.

Pentingnya memahami nilai-nilai, dapat dijadikan sebagai energi sosial untuk mendorong kreativitas dan inovasi masyarakat. Salah satu contoh apa yang dikatakan Betty Wang (1965, dalam James Danandjaja), yang sadar akan adanya salah satu fungsi nilai budaya sebagai protes sosial, maka beberapa kaisar Tiongkok Kuno yang bijaksana seperti Kaisar Yui dari dinasti Hsia dan Kaisar Chow Wen Whang dari dinasti Chow, mereka mempunyai staf khusus yang ditugaskan untuk mengumpulkan nyanyian rakyat yang dinyanyikan penyanyi rakyat di warung-warung teh di kerajaannya. Koleksi itu kemudian diklaisifikasikan dan diarsipkan setelah dipelajari isinya. Dari isi nyanyian rakyat tadi, kaisar mengetahui pendapat dan keinginan rakyatnya terhadap kebijakan yang dikeluarkannya. Jadi kaisar tersebut mengumpulkan folklor yang berisikan nilai budaya masyarakatnya untuk mengukur keberhasilan dan kegagalan kebijakan. Namun apa daya kebijakannya tidak dijalankan oleh kaisar-kaisar penerusnya, sehingga timbullah revolusi.

Hal itu disebabkan nilai budaya secara kokoh membentuk kinerja politik, ekonomi, dan sosial suatu bangsa. Upaya ilmiah untuk memahami dan memanfaatkan nilai-nilai budaya tersebut mutlak diperlukan oleh semua insan seperti budayawan, birokrat, dan semua unsur. Nilai budaya lama diperlukan untuk menghadapi kehidupan era globalisasi, dengan cara Revitalisasasi ‘dihidupkan lagi dan didorong agar tumbuh dan berkembang’; Reaktualisasi ‘dihidupkan kembali dengan ‘miindung ka usum mibapa ka jaman’ disesuaikan dengan situasi dan kondisi masa kini; Revisi ‘disesuaikan dari tujuan semula’; Restrukturisasi ‘dimodifikasi agar sesuai dengan jamannya’; Fill In ‘diisi dengan nilai-nilai baru’; Inovasi ‘adanya kreatfitas budayawan agar lebih menarik’; Kreasi ‘membuat kreasi baru yang sesuai dengan daerahnya’; Delete ‘adanya penghapusan nilai-nilai yang tidak sesuai’.

Ketika perubahan jaman terjadi karena desakan dan kebutuhan, maka pola pikir manusia pun berubah sesuai dengan kebutuhan yang dihadapinya. Di sini ada paradigma baru bersifat kedirian yang tercerabut dari akar budayanya. Begitu pula dengan pola pikir manusia yang diwujudkan dalam tradisi, dengan adanya perubahan yang mengglobal, maka tradisi itu pun selalu berubah pula.

Perwujudan tradisi yang diterapkan masyarakat selalu berkaitan dengan alam sekitar, karena hukum alam adalah hukum Tuhan yang sangat dipatuhinya, sehingga bagi masyarakat adat yang memegang teguh tradisi, ketika ia akan bersentuhan dengan alam, mereka sadar akan dirinya dan Tuhannya. Hubungan harmonis ini selalu dilestarikan dengan sikap dan gaya hidupnya. Dari sinilah lahir norma dan falsafah hidup yang arif dan sadar akan kelangsungan generasinya. Kesadaran itu diterapkan dalam menjaga dan menghormati alamnya.

1 komentar: