oleh : Nandang Rusnandar
Masyarakat AgrarisWilayah Jawa Barat yang beriklim tropis dikategorikan sebagai daerah agraris yang dikenal dengan kesuburan tanahnya. Masyarakat agraris mempertahankan kelangsungan hidup mereka pada kegiatan bercocok tanam. Dalam sejarah perkembangan cara-cara bercocok tanam di wilayah Jawa Barat dikenal dua pola, yaitu pola pertanian ladang yang disebut dengan ngahuma dan pola pertanian menetap dalam pola sawah. Begitu pula halnya pada masyarakat di kawasan Saguling dan sekitarnya, kehidupan agraris merupakan bagian integral dari perjalanan hidup mereka. Kawasan Saguling yang terdiri atas tanah datar dan tanah berbukit-bukit sangat memungkinkan untuk diterapkannya kedua jenis pertanian tersebut. Masyarakat memanfaatkan tanah yang datar dan mudah mendapatkan air untuk pertanian sawah, sedangkan pada tanah-tanah yang berbukit dan kekurangan air, atau disebut dengan tegalan diterapkan pola pertanian huma.
Meskipun roda zaman mengharuskan sebagian warga masyarakat mengucapkan selamat tinggal dan mengubur kehidupan pertanian mereka ke dalam masa lalu bersama terendamnya lahan-lahan pertanian mereka oleh bendungan Saguling, bukan berarti kehidupan masyarakat yang agraris pun turut menghilang. Masih ada sebagian warga masyarakat yang menggantungkan hidup mereka pada lahan pertanian.
Sebelum Waduk Saguling dibangun, kehidupan masyarakat pedesaan di kawasan tersebut tidak sepenuhnya bersifat agraris, karena di wilayah-wilayah tertentu seperti di Kecamatan Padalarang terdapat kegiatan penambangan kapur. Sementara itu, pembangunan Waduk Saguling pun pada akhirnya menyebabkan perubahan mata pencaharian pokok mereka dari sektor pertanian ke jenis mata pencaharian lainnya. Namun demikian, gambaran masyarakat yang agraris masih terlihat dalam pola kehidupan mereka. Selain itu, kegiatan pertanian yang mereka kerjakan secara turun temurun dari nenek moyang mereka telah melahirkan kebiasaan-kebiasaan serta adat istiadat di dalamnya. Dengan kata lain, kegiatan pertanian yang mereka kerjakan bukan saja sekadar untuk menghasilkan makanan, tapi juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh kegiatan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan.
Adat istiadat yang masih hidup dan dapat ditemukan pada masyarakat di kawasan Saguling di antaranya adalah mekanisme pasar tradisional yang masih berlangsung di kawasan tersebut hingga saat ini. Pasar merupakan tempat yang menyediakan berbagai kebutuhan hidup masyarakat. Kegiatan pasar tradisional tersebut tidak berlangsung setiap hari namun terjadi dalam interval waktu tertentu secara bergantian dari satu daerah ke daerah lainnya. Ketentuan waktu yang berlaku dari dulu hingga saat ini adalah Senin dan Jumat berlangsung hari pasar di wilayah Sindangkerta; Sabtu dan Rabu hari pasar dilaksanakan di daerah Rancapanggung; Minggu merupakan bagian untuk wilayah Cililin; dan Selasa serta Kamis, pasar tradisional tersebut diselenggarakan di Desa Cicangkang Girang dan Cicangkang Hilir.
Tempat yang dipakai oleh para pedagang untuk menggelar barang dagangan mereka adalah di sepanjang jalan-jalan tertentu atau ada bangunan sederhana yang dikhususkan untuk kegiatan pada hari-hari pasar seperti di Desa Sindangkerta. Di luar hari pasar yang telah ditentukan, tempat tersebut sepi dan pemandangan yang tampak hanya berbagai peralatan dagang yang disimpan dengan cara terbalik atau ditelungkupkan. Sementara itu, pasar tradisional yang berlangsung di Desa Rancapanggung, Cililin, Cicangkang Hilir, dan Cicangkang Girang biasanya mengambil tempat di sepanjang jalan tertentu. Dulu, barang-barang yang dibawa oleh para pedagang pada umumnya berupa hasil-hasil pertanian. Berbeda halnya dengan sekarang, barang-barang yang dijual cukup beraneka ragam baik barang kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder.
Selama kegiatan pasar tradisional berlangsung, juga ada pasar domba, kerbau, dan ayam di tempat tersebut. Dalam pandangan masyarakat setempat, binatang piaraan seperti kerbau memiliki nilai tersendiri, selain dimanfaatkan untuk mengolah sawah juga sebagai sumber protein hewani yang lebih disukai oleh masyarakat setempat. Bahkan lebih jauh dari itu, warga masyarakat seringkali mengadakan arisan kerbau. Lain halnya dengan ayam, binatang ini dalam keadaan terdesak bisa dijadikan sebagai alat tukar di pasar tradisional. Oleh karena itu, tak heran kalau ayam menjadi binatang yang banyak dipelihara oleh warga masyarakat setempat. Hal lainnya yang juga khas ada ketika sedang berlangsung hari pasar adalah hadirnya tukang cukur tradisional serta pedagang kupat tahu yang turut meramaikan suasana pasar. Kupat tahu yang dijual oleh mereka pun cukup khas karena kuahnya terbuat dari santan. Adat istiadat lainnya juga terdapat dalam pertanian huma serta pola pertanian sawah.
Masyarakat Petani Ladang/Huma
Pola pertanian ladang atau huma dapat ditemukan di seluruh kecamatan yang berada di kawasan Saguling. Akan tetapi jumlah petani huma yang paling banyak terdapat di Kecamatan Cipongkor dan Kecamatan Sindangkerta, yakni kecamatan-kecamatan yang memiliki luas tanah perbukitan yang cukup besar berupa tegalan. Selain ngahuma di tegalan-tegalan, adakalanya para petani pun menyelingi sawah mereka dengan huma, terutama bila musim kemarau tiba dan air susah didapat. Jenis padi yang ditanam di huma di antaranya adalah pare huma dan pare roma. Seringkali pula diselingi dengan berbagai tanaman palawija seperti kacang tanah, pisang, singkong, mentimun, dan jagung,
Proses ngahuma itu sendiri biasanya dilakukan melalui beberapa tahapan kegiatan. Aktivitas para petani huma dimulai dengan membuka dan membersihkan tegalan dari semak-semak belukar yang biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki pada musim kemarau. Semak-semak tersebut selanjutnya dikumpulkan menjadi satu dan dibakar di areal tegalan tersebut. Selain itu, harus dilakukan pengendalian api yang baik agar tidak merembet ke tegalan yang lainnya. Tujuan pembakaran adalah untuk mempercepat proses pembusukan dan memperoleh energi mineral yang dibutuhkan untuk menghidupi tanaman ladang, khususnya padi-padian. Hasil pembakaran dibiarkan menjadi dingin selama beberapa hari. Selanjutnya tumpukan hasil pembakaran tersebut diangkat-angkat dengan garpu serta digarit, yakni membuat petakan-petakan serta kamalir-kamalir tempat tanaman ladang tumbuh.
Sebelum lahan ditanami padi, terlebih dulu harus menunggu hujan turun agar lahan menjadi basah sehingga mempermudah proses ngaseuk. Sambil menunggu hujan turun biasanya didahului dengan menanam tanaman palawija yang berumur pendek, seperti mentimun dan kacang-kacangan. Tujuannya adalah untuk menyuburkan lahan tersebut, karena kalau langsung ditanami dengan padi hasil yang diperoleh kurang memuaskan. Bila hujan telah turun tanaman pendahulu dibersihkan kembali dan mulailah lahan tersebut diaseuk, yakni menancapkan sebilah kayu yang telah diruncingkan bagian ujungnya pada lahan yang basah. Bila kayu tersebut diangkat kembali akan meninggalkan bekas lubang pada lahan yang basah. Pada bekas tancapan kayu itulah butiran benih padi ditebarkan sebanyak tiga atau empat butir setiap tempatnya. Tiga atau empat bulan kemudian, panen padi sudah dapat dilakukan. Usai panen, lahan tersebut biasanya langsung ditanami dengan palawija seperti pisang, singkong, jagung, atau kacang-kacangan hingga bisa dipetik hasilnya. Setelah itu baru proses awal menanam padi huma dimulai lagi.
Dulu pelaksanaan pola pertanian huma senantiasa disertai berbagai upacara pemujaan kepada yang gaib dengan harapan agar terhindar dari berbagai gangguan atau hama. Berbeda halnya dengan sekarang, para petani huma jarang sekali melaksana upacara-upacara adat yang berkaitan dengan sistem pertanian mereka. Namun demikian, ada sejumlah tradisi yang masih mereka pertahankan, seperti tradisi liliuran. Tradisi tersebut berlangsung ketika proses ngahuma akan segera dimulai. Para petani yang memiliki tegalan yang saling berdekatan letaknya, biasanya melakukan kerja sama dalam mengolah sawah, tepatnya mulai dari membuka lahan hingga proses pembuatan kamalir atau ngaseuk. Caranya, secara berkelompok mereka menggerjakan lahan milik salah seorang dari mereka. Jika telah selesai dilanjutkan ke lahan anggota kelompok lainnya, begitulah seterusnya hingga semuanya mendapat bagian. Jumlah petani yang melaksanakan liliuran ini jumlahnya paling tidak ada 5 sampai 6 orang.
Tradisi lainnya adalah derep, yaitu kebiasaan orang yang membantu pada saat panen. Upah yang diperoleh orang tersebut biasanya dihitung dari hasil panen secara keseluruhan. Bila sekali panen mendapat 10 kuintal maka bagian orang yang derep adalah 1 kuintal atau sepersepuluhnya, sedangkan pemiliknya memperoleh 9 kuintal. Lain halnya bila yang dijadikan dasar perhitungannya adalah padi dalam bentuk ranggeuyan, biasanya dari setiap lima pocong padi maka orang yang derep memperoleh bagian satu pocong dan pemiliknya mendapat 4 pocong.
Dalam pola pertanian huma dikenal istilah-istilah yang berkaitan dengan ukuran atau banyaknya padi, diantaranya saranggeuy, yaitu setangkai padi; sapocong, yakni seikat padi yang terdiri atas beberapa puluh ranggeuy; sageugeus terdiri atas dua pocong; saeundan yaitu satu pocong padi yang telah kering; sasangga (32,5 kg padi kering) sama dengan lima gedeng, sementara lima gedeng sama dengan sepuluh pocong.
Masyarakat Petani Sawah
Pembangunan Waduk Saguling menyebabkan sejumlah petani yang terdapat di kawasan tersebut harus merelakan lahan sawah mereka tergusur. Namun demikian, masih ada sebagian warga masyarakat yang mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan mengolah sawah. Sistem pengetahuan yang berkaitan dengan kegiatan menanam padi di sawah diperoleh secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Bahkan tidak hanya sebatas itu, berbagai kebiasaan dan adat istiadat yang menyertai kegiatan pertanian pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Zaman sekarang, kekokohan para petani dalam melaksanakan berbagai tradisi yang berhubungan dengan mata pencaharian pokok mereka mulai terkikis. Artinya, dengan berbagai alasan ada di antara mereka yang tidak lagi sepenuhnya melaksanakan berbagai tradisi yang senantiasa dilakukan oleh nenek moyang mereka dulu.
Masyarakat Sunda pada umumnya, dan masyarakat di kawasan Saguling khususnya secara tradisional memiliki kekhasan tersendiri dalam mengolah sawah. Sebelum mengolah sawah dimulai, terlebih dulu dilakukan upacara selamatan atau tolak bala baik yang dilakukan sendiri-sendiri di rumah; maupun yang dilaksanakan secara bersama-sama menuju tempat mengalirnya air ke sawah atau hulu wotan yang berasal dari sebuah sungai. Upacara tersebut dipimpin oleh seorang ajengan, dukun, atau kuncen.
Seandainya upacara tersebut dilaksanakan sendiri di rumah, sudah tentu harus mendapat persetujuan dari tetangga sekampung, sesuai dengan masa keluarnya Bintang Gurudesa, yakni bintang yang menandakan dimulainya persiapan untuk mengolah sawah. Persiapan tersebut meliputi kegiatan menggali selokan dan parit, memperkuat tanggul dan membuat saluran air. Tibalah musim nyambut, yaitu mengolah sawah dengan bantuan alat berupa singkal (wuluku) dan kemudian digaru. Alat-alat tersebut ditarik oleh kerbau. Lalu diratakan dengan alat yang disebut rarata yang ditarik oleh manusia. Bagian sawah yang tidak terjangkau oleh singkal dan garu dikerjakan dengan menggunakan pacul ‘cangkul’. Saat ini kegiatan tersebut ada yang menggunakan tenaga traktor, namun ada pula yang hanya dengan menggunakan cangkul saja. Mula-mula mencangkul kasar; kemudian tanah dicangkul lagi hingga rata lalu ngangler, yaitu menghaluskan tanah agar siap untuk ditanami.
Sebelum benih padi ditebarkan pada petak sawah yang dikhususkan untuk pembibitan, terlebih dulu dilaksanakan upacara penolak bala untuk memohon keselamatan agar benih padi dapat tumbuh dengan baik. Upacara tersebut ditandai dengan pembakaran kemenyan serta menancapkan pohon hanjuang di persimpangan jalan air yang mengalir ke sawah tempat pembenihan. Perlu diperhatikan di sini bahwa benih padi yang akan ditebarkan harus berasal dari sawah sendiri atau kalau terpaksa dapat diambil dari lumbung padi orang lain yang disimpan berdekatan dengan indung pare. Yang jelas bukan hasil tuaian yang pertama setelah melalui serangkaian upacara. Jumlah indung pare kurang lebih sepuluh atau dua puluh batang padi yang dituai bersama batang dan daunnya. Dalam pandangan para petani, indung pare ini dipersonifikasikan sebagai Dewi Sri. Jenis benih padi yang secara tradisional ditanam oleh para petani adalah gogorancah, pare bulu, bengawan dan central atau beras merah, sedangkan jenis varitas baru adalah PB 5, PB 8, dan PTUN yang ditemukan di Filiphina. Waktu yang diperlukan untuk pembenihan adalah 40 hari, selanjutnya siap untuk babut yakni mencabut benih padi dan membersihkannya di saluran air hingga siap untuk ditanam.
Proses berikutnya adalah menanam padi pertama di sawah atau mitembeyan yang dilakukan oleh kuncen, dukun, atau ajengan yang sudah tentu didahului dengan serangkaian upacara penolak bala. Upacara tersebut ditandai dengan pembacaan doa penolak bala sambil menumpahkan air dari hulu wotan yang dibawa oleh dukun. Selain itu, kuncen membakar kemenyan dan sapu lidi yang diikat kecil-kecil serta di dekatnya ditanam sebatang pohon pisang atau hanjuang, ramuan rujak tujuh macam, dan sebutir telur. Selanjutnya tandur, yang dilakukan oleh kaum wanita, sementara laki-laki bertugas mengangkut benih yang sudah dibabut ke petak-petak sawah yang akan ditandur.
Satu bulan setelah tandur dilakukan ngacak yaitu membersihkan rumput. Dua bulan berikutnya dikerjakan ngarambet yaitu membersihkan rumput dan pematang. Sebelum ngarambet dilakukan upacara penolak bala dengan menyajikan berbagai perlengkapan upacara yang terdiri atas bubur merah, bubur putih, rujak dengan tujuh macam ramuan, nasi tumpeng berisi daging. Pada saat dilakukan ngarambet keadaan padi dikatakan sedang nyiram atau ngidam, artinya mulai ada gejala akan berbuah. Pada saat-saat tersebut air yang mengalir ke sawah mulai dikurangi dan biasanya masa itu dikenal dengan musim rampak.
Usai musim rampak padi dikenal dalam keadaan beuneur hejo dan para petani bersiap-siap untuk melakukan nyalin yaitu menuai padi yang pertama kali sebelum dilakukan panen. Sebelum nyalin dilaksanakan, pemilik atau penggarap sawah membuat sebuah sanggar yang di dalamnya diisi berbagai sesajen yang terdiri atas nasi tumpeng, telur, lauk pauk, sekapur sirih, tujuh macam ramuan rujak, minyak kelapa, cermin, sisir kerep, sisir jarang, bunga rampai, dan param. Sanggar tersebut disimpan di petak sawah di antara batang padi yang akan dituai pertama kali untuk dijadikan indung pare (Dewi Sri). Sanggar ditutup dengan kain boeh rarang dan di dekatnya dipasang pula bendera berwarna kuning dan putih pada tiang bambu yang melengkung (umbul-umbul), sapu lidi ditancapkan serta diberi kemenyan. Selanjutnya kuncen, dukun, atau ajengan membacakan mantera-mantera diteruskan menyalin dengan menggunakan etem (ani-ani) yang telah diolesi minyak wangi. kuncen hanya menyalin 10 sampai 20 batang padi berikut jerami dan daunnya, selanjutnya dibungkus kain putih dan digantungkan di atas sanggar.
Usai menyalin baru dilakukan panen, yakni memotong padi dengan menggunakan etem atau ketam yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan .
Masyarakat Aquaculture
Aktivitas budidaya perikanan yang dilakukan oleh sebagian warga masyarakat yang tinggal di kawasan Saguling masih terbilang baru, khususnya budidaya perikanan yang dilakukan secara intensif dengan pemberian pakan secara teratur dan berorientasi pasar. Dahulu, sebelum Waduk Saguling dibangun, mereka telah mengenal perikanan yang masih bersifat tradisonal. Dengan kata lain, pengetahuan masyarakat tentang perikanan terbatas hanya dengan cara menebarkan benih ikan ke dalam kolam atau sawah lalu akan dipanen pada saat-saat terentu, seperti menjelang Idul Fitri, kenduri, dan lain-lain; juga kegiatan perikanan lainnya seperti mengail atau ngecrik ‘menjaring’ ikan di sungai.
Pembangunan Waduk Saguling bagi sebagian masyarakat merupakan tonggak sejarah baru, terutama bagi mereka yang harus melepaskan lahan pertaniannya untuk kepentingan pembangunan waduk tersebut. Betapa tidak, lahan pertanian yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka telah berubah menjadi hamparan air yang luas dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kondisi lingkungan tersebut memaksa mereka untuk beralih mata pencaharian ke sektor-sektor usaha lainnya. Sudah tentu, tidaklah mudah secepat itu melakukan perubahan-perubahan . Untuk mengantisipasi keadaan tersebut, jauh-jauh hari sebelum Waduk Saguling benar-benar terwujud, pemerintah menyelenggarakan berbagai kursus bagaimana memanfaatkan sumber daya air. Kursus-kursus yang diberikan di antaranya pemeliharaan ikan dalam jaring terapung, ikan tangkap, sistem pemeliharaan ikan karamba, pertanian pasang surut, dan lain-lain.
Ada beberapa kegiatan utama yang hingga saat ini ditekuni oleh sebagian warga masyarakat berkaitan dengan upaya memanfaatkan sumber daya air yang terbentang luas di hadapan mereka. Kegiatan tersebut adalah memelihara ikan dalam jaring terapung; memelihara kelinci, cacing, dan ulat hongkong; serta pengolahan tanah pasang surut di sekitar waduk. Peluang-peluang tersebut diperoleh dari kursus-kursus yang pernah diikuti oleh mereka, dan sudah tentu melalui serangkaian uji coba hingga diperoleh peluang yang benar-benar sesuai dengan kondisi lingkungan mereka sendiri.
Aktivitas memelihara ikan dalam jaring terapung ternyata merupakan kegiatan yang padat modal. Oleh karena itu, hanya mereka yang bermodal kuatlah yang pada akhirnya menjadi pengusaha ikan dalam jaring terapung. Sementara itu, mereka yang kurang mampu pada umumnya menjadi pekerja pada pengusaha jaring terapung. Jenis-jenis ikan yang dibudidayakan di antaranya ikan mas, nila, dan lele dumbo. Panen ikan bisa dilakukan setelah rentang waktu tiga bulan. Adakalanya, hasil panen yang diperoleh kurang memuaskan, artinya tidak sesuai dengan target yang telah mereka perkirakan. Ada beberapa hal yang menyebabkan menurunnya hasil panen, di antaranya kualitas bibit ikan yang menurun atau sulit mencari bibit ikan yang baik dan surutnya air Waduk Saguling.
Ada pun kegiatan memelihara cacing tanah dan ulat hongkong sangat erat kaitannya dengan pakan untuk ikan. Pakan yang terbuat dari tepung cacing tanah dan ulat hongkong merupakan pengganti pakan ikan yang selama ini harus diimpor dari luar negeri, khususnya dari Singapura. Sudah tentu harga tersebut relatif mahal dan sangat memberatkan para petani ikan karena akan meningkatkan ongkos produksi. Dengan dibudidayakannya cacing tanah dan ulat hongkong yang benihnya bisa diperoleh secara cuma-cuma dari lembaga Ekologi UNPAD ternyata dapat mengatasi kesulitan tersebut.
Kegiatan lainnya yaitu pengolahan lahan pasang surut yang sangat bergantung pada frekuensi air waduk itu sendiri yang terjadi akibat perubahan iklim. Berkaitan dengan penggarapan tanah pasang surut, di kawasan Saguling ada dua kategori pengolah tanah. Pertama adalah para petani yang memperoleh jatah pembagian lahan yang dilakukan oleh pemerintah desa, biasanya mereka ditarik iuran wajib yang besarnya bergantung dari hasil panen; yang kedua adalah lahan yang bebas diolah oleh siapa pun, artinya siapa yang paling dulu menanaminya maka orang tersebutlah yang berhak atas pengolahan tanah tersebut. Jenis tanaman yang biasanya ditanam pada lahan tersebut yaitu padi dan palawija seperti kacang-kacangan dan jagung.
Masyarakat Religi
Warga masyarakat di kawasan Saguling dan sekitarnya, sebagian besar memeluk agama Islam, bahkan dapat dikatakan pemeluk agama Islam yang fanatik. Tak heran kalau nuansa Islami mewarnai berbagai sendi kehidupan masyarakat. Sikap masyarakat yang religius menjadikan salah satu kecamatan di kawasan Saguling, yakni Kecamatan Cililin dikenal sebagai kota agama. Sudah tentu sebutan tersebut mencerminkan kehidupan beragama yang memberikan kedamaian serta ketentraman bagi masyarakat setempat.
Kehidupan beragama yang paling menonjol pada masyarakat di kawasan Saguling, terletak pada penanaman nilai-nilai agama baik melalui pendidikan informal, nonformal, maupun pendidikan formal. Berawal dari kekuatan rohani seseorang yang telah terbina dengan baik sejak dini melalui berbagai pendidikan tersebut, dengan sendirinya dapat mewujudkan suatu masyarakat yang religius dengan agama yang dianut oleh mereka. Selain itu, ditunjang dengan berbagai tradisi yang mampu menambah gaung agama Islam di kawasan tersebut.
Pendidikan agama Islam secara informal dimulai dari lingkungan sosial yang paling kecil, yaitu lingkungan keluarga. Bahkan sejak seorang bayi berada dalam kandungan seorang ibu pun, pendidikan agama sudah mulai diperkenalkan. Lihat saja anjuran para orang tua kepada ibu-ibu yang sedang mengandung agar senantiasa membaca ayat-ayat suci Al-Quran, seperti Surat Maryam dan Surat Yusuf. Adapun tujuannya adalah agar bayi yang lahir kelak akan sesaleh dan setampan Yusuf atau akan sesaleh dan secantik Maryam. Dalam hal ini, tampak sekali peran sorang ibu dalam menanamkan nilai-nilai agama Islam. Ketika seorang bayi lahir ke dunia, kewajiban seorang ayahlah untuk menyampaikan kalam-kalam Illahi dengan mengumandangkan adzan di telinga bayi. Dengan demikian, orang tua memang berada paling depan dalam upaya mengisi dan mengembangkan kehidupan rohani seorang anak.
Pengembangan kehidupan beragama ternyata tidak terbatas di dalam lingkungan keluarga saja, di dalam lingkungan sosial yang lebih luas pun hal tersebut mendapat perhatian istimewa, bahkan dapat dikatakan lebih tampak keberadaannya. Wujud nyata dari semua itu tercermin melalui berbagai fasilitas keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat di kawasan Saguling dan beragam aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh mereka. Sarana fisik yang memungkinkan terselenggaranya berbagai aktivitas keagamaan cukup banyak tersedia di kawasan tersebut, misalnya di Kecamatan Cililin terdapat 214 mesjid, 617 langgar, dan 41 mushola; serta tidak kurang dari 164 masjid dan 405 langgar berdiri di Kecamatan Cipongkor. Data tersebut baru diambil dari dua kecamatan saja, belum ditambah dari 3 kecamatan lainnya. Sudah tentu jumlahnya akan jauh lebih banyak. Di tempat-tempat tersebut biasanya dilakukan berbagai aktivitas keagamaan yang bersifat umum, seperti sembahyang, pengajian, atau ceramah-ceramah keagamaan.
Fasilitas keagamaan lainnya yang terdapat di kawasan Saguling adalah pondok-pondok pesantren, misalnya di Kecamatan Cililin berdiri 9 pondok pesantren yang salah satu di antaranya cukup populer, yakni Pondok Pesantren Sumur Bandung dengan santri-santrinya yang berasal dari berbagai pelosok Jawa Barat, bahkan ada pula santri yang datang dari luar daerah Jawa Barat. Selain itu, di Kecamatan Cipongkor juga terdapat 2 pondok pesantren. Di pondok-pondok pesantren tersebut, warga masyarakat dapat mempelajari pendidikan agama secara nonformal dari para ustad, ajengan, atau ulama yang memimpin pondok-pondok pesantren tersebut.
Keberadaan pondok pesantren di kawasan Saguling memberikan warna yang khas bagi kehidupan beragama pada masyarakat di kawasan Saguling, terutama pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Rajab dan bulan Maulud. Gema Islami begitu kental terasa pada bulan-bulan tersebut dengan diselenggarakannya berbagai aktivitas keagamaan seperti tablig akbar, pengajian-pengajian, dan satu lagi kebiasaan khas yang hanya berlangsung di pondok-pondok pesantren yaitu ngaji pasaran. Secara tradisional, para ajengan yang memimpin pondok-pondok pesantren memiliki keahlian khusus dengan menguasai satu kitab tertentu secara mendalam. Keberadaan mereka biasanya dikenal secara luas oleh para santri dari mulut ke mulut. Bila seorang santri ingin mempelajari satu kitab tertentu, dia harus datang kepada ajengan yang memang ahli dan menguasai kitab tersebut. Pada bulan Rajab dan bulan Maulud inilah biasanya para ajengan didatangi para santri yang tidak hanya berasal dari pondok pesantren tersebut melainkan juga dari luar pesantren tersebut. Selanjutnya mereka bersama-sama ngaji pasaran, yaitu membaca kitab-kitab tertentu yang dikuasai oleh ajengan yang mereka datangi, secara terus menerus mulai dari pagi, siang, dan malam hari selama kurang lebih satu minggu. Padahal di luar kesempatan tersebut, waktu yang diperlukan untuk mempelajari kitab-kitab tadi dapat menghabiskan waktu yang cukup lama.
Selain pondok-pondok pesantren, ada pula sekolah-sekolah yang secara formal memberikan pendidikan agama Islam jauh lebih mendalam bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sekolah-sekolah tersebut yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Adapun tingkatannya setara dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, seperti SD, SMP, dan SMU.
Dalam kehidupan masyarakat di kawasan Saguling, tidak hanya dengan terselenggaranya berbagai pendidikan saja yang dapat mengukuhkan sifat religius masyarakat setempat, juga didukung oleh sejumlah tradisi yang masih hidup dan diyakini oleh masyarakat setempat. Salah satu tradisi yang cukup unik yaitu membuat damar sewu, yang dilakukan menjelang Hari Idul Fitri atau lebaran. Dulu, hampir di setiap pintu masuk halaman rumah penduduk semarak dengan nyala api yang berasal dari damar sewu, yakni alat penerangan tradisional yang terbuat dari bambu yang panjangnya kurang lebih satu meter. Pada kedua ujung bambu tersebut diberi penutup, dan pada bagian atasnya dibuat beberapa lubang yang nantinya akan dipakai untuk menyimpan sumbu yang telah diberi minyak tanah. Sumbu-sumbu tersebut terbuat dari kain yang akan dinyalakan pada malam takbiran. Adapun tujuannya adalah untuk memberi penerangan terhadap rumah-rumah tersebut, juga untuk membedakan dengan hari-hari yang lainnya.
Selain dikenal sebagai kota agama, kawasan Saguling juga dikenal sebagai kota haji. Menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah merupakan idaman warga masyarakat. Gelar haji yang diperoleh seseorang setelah melaksanakan rukun Islam yang kelima, menempati status sosial yang yang cukup tinggi dalam pelapisan sosial masyarakat di kawasan tersebut. Mengingat status haji yang cukup besar artinya bagi mereka, warga masyarakat berusaha sedapat mungkin untuk melaksanakannya. Dalam pandangan mereka, dinilai kurang baik jika ada warga masyarakat yang tergolong kaya atau mampu tetapi belum menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu, tak heran jika di sana cukup banyak warga masyarakat yang bergelar haji, dan salah satu atribut yang dapat membedakannya dengan orang lain adalah peci putih di kepala.
Seni Budaya
Seni budaya yang berkembang di kawasan Saguling terbatas hanya pada bidang kesenian tradisional yang lebih banyak diminati oleh warga masyarakat. Di kawasan tersebut memang tidak ditemukan jenis kesenian yang khas dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakat setempat. Kalau pun ada jenisnya hampir sama dengan kesenian yang pada umumnya terdapat di wilayah Jawa Barat.
Tembang Sunda Cianjuran merupakan salah satu jenis kesenian yang cukup disenangi oleh warga masyarakat di kawasan Saguling. Keindahan serta harmonisasi yang selaras antara tembang dan instrumen musik pengiringnya berupa kecapi dan suling memang sungguh memikat. Apalagi bila dikaji lebih dalam lagi, karena pada hakikatnya tembang Cianjuran mengandung segi-segi yang menarik dan nilai-nilai luhur yang sangat berguna bagi kehidupan manusia saat ini. Kelompok tembang Cianjuran itu sendiri terdiri atas empat bagian yang disebut wanda, yaitu wanda papantunan, wanda jejemplangan, wanda dedegungan, dan wanda rarancagan. Adapun laras yang terdapat dalam tembang Cianjuran adalah laras pelog, sorog atau madenda, dan laras salendro.
Selain tembang Cianjuran, kesenian calung juga mendapat tempat di masyarakat. Ada satu kelompok calung yang cukup terkemuka keberadaannya baik di dalam maupun di luar kawasan Saguling dan sekitarnya, yakni kelompok calung yang dibina oleh PT Kertas Padalarang. Jenis kesenian calung yang berkembang di kawasan tersebut termasuk ke dalam jenis calung jingjing, yakni kesenian yang alat-alatnya terbuat dari bumbung bambu yang disatukan dengan pasak dan dapat dibunyikan dengan cara dipukul. Permainan calung jingjing dimainkan oleh empat orang dengan cara dijinjing atau ditenteng. Di dalam pertunjukannya, selain diisi dengan nyanyian juga dilengkapi dengan berbagai lelucon menarik dari para pemainnya mengenai berbagai hal.
Kesenian wayang golek juga cukup disenangi oleh masyarakat di kawasan Saguling. Dari sejumlah dalang atau kelompok kesenian wayang golek yang terbentuk, belum ada yang menyamai popularitas Dalang Asep Sunarya, misalnya. Namun demikian, keberadaan kelompok tersebut mampu mengisi atau memenuhi kebutuhan hiburan masyarakat setempat bila memang diperlukan. Bahkan sesekali pula mereka mendapat undangan pentas di kota-kota lain yang masih termasuk ke dalam ruang lingkup Jawa Barat.
Jenis kesenian lainnya adalah degung dan kendang pencak. Kelompok-kelompok yang menampung warga masyarakat yang tertarik pada kesenian degung dan kendang pencak memang terbatas sekali jumlahnya. Kesenian degung biasanya digelar bila ada undangan kenduri berupa acara pernikahan atau khitanan, sedangkan pencak silat pada umumnya terbatas pada acara khitanan saja.
Kerajinan
Ada beberapa jenis kerajinan yang ditekuni oleh warga masyarakat di kawasan Saguling yaitu kerajinan anyaman bambu; membuat aneka buah-buahan dan sayuran dari kayu; dan membuat bata merah di lio, yaitu tempat untuk membuat bata merah. Kerajinan anyaman bambu terdapat di dua kecamatan yaitu Kecamatan Cililin yang meliputi Desa Tanjung Jaya, Budiharja, dan Desa Mekarmukti; dan Kecamatan Padalarang yang tepatnya berada di Desa Ciburung. Barang-barang yang dihasilkan oleh para pengrajin anyaman bambu di antaranya adalah tampir dan bilik. Sementara itu para pengrajin bata merah tersebar di beberapa desa seperti Desa Cihampelas, Tanjungjaya, Mekarjaya, Rancapanggung, Batujajar, dan Desa Cangkorah. Lio milik para pengrajin pada umumnya terdapat di sawah-sawah. Dengan kata lain, tanah lempung yang digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat bata merah pun memang berasal dari sawah-sawah.
Kerajinan tradisional lainnya adalah membuat hiasan buah-buahan dan sayuran dari bahan baku kayu. Para pengrajin kayu tersebut terdapat di Kecamatan Cipatat. Mereka menjual hasil kerajinan kayunya di sentra kerajinan rakyat yang terdapat di sepanjang Jalan Raya Rajamandala hingga ke wilayah Cipatat. Bila melewati jalan tersebut, tampak aneka warna buah-buahan dan sayuran digantung di depan kios-kios. Selain kerajinan kayu, di tempat tersebut dijual pula berbagai hiasan keramik yang didatangkan dari Plered, Purwakarta. Hasil kerajinan kayu tersebut di antaranya adalah cabe merah dalam berbagai ukuran, tomat, apel, pisang, mangga, jeruk, dan lain-lain; sedangkan hiasan-hiasan keramik yang dijual di tempat tersebut antara lain beraneka bentuk celengan, guci, vas bunga, dan lain-lain. Kedua jenis kerajinan tersebut dapat ditemukan di sentra-sentra penjualan yang terdapat di sepanjang jalan besar utama ke arah Jakarta yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Cipatat.
Jenis Makanan Khas
Siapa yang tidak mengenal wajit Cililin ? Makanan yang diolah secara tradisional dari bahan ketan putih, kelapa, dan gula aren serta dikemas dengan daun jagung. Rasanya yang manis dan aromanya yang khas membuat wajit Cililin cukup populer keberadaannya di kalangan masyarakat Bandung dan sekitarnya sejak zaman dulu hingga sekarang. Selain wajit Cililin, ada pula makanan khas lainnya yang terdapat di kawasan Saguling yaitu lamaya terbuat dari bahan yang sama hanya berbeda dalam bentuk dan kemasannya saja; angleng yang terbuat dari tepung beras, kelapa, dan gula aren serta dikemas seperti layaknya wajit Cililin, menggunakan daun jagung yang konon untuk kualitas yang baik harus didatangkan dari daerah Cikajang, Kabupaten Garut. Ketiga jenis makanan tersebut tidak hanya dikonsumsi sendiri melainkan juga dijual di pasar atau toko-toko makanan.
Pengusaha wajit, angleng, dan lamaya di Kecamatan Cililin tersebar di beberapa desa seperti Desa Cililin, Cihampelas, Singajaya, Cicangkang, dan Desa Rancapanggung. Dari sejumlah desa tersebut ada beberapa di antaranya yang melahirkan pengusaha-pengusaha yang cukup populer, yakni: di Desa Cililin terdapat pengusaha wajit Pusaka, Cap Potret, dan Nyi H.Erum; di Desa Cihampelas ada pengusaha wajit Sederhana; dan di Desa Rancapanggung yang paling terkenal dan pernah mendapat penghargaan Upakarti adalah merek H.Romlah. Selain itu di Kecamatan Cililin terdapat pengusaha kerupuk aci tepatnya berada di Desa Batulayang, Budiharja, dan Desa Cipatat; sedangkan di Kecamatan Sindangkerta terdapat pengusaha gula aren.
Bila wajit Cililin dapat dibeli dengan mudah di warung, di toko, atau di berbagai swalayan baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan Saguling dan sekitarnya, maka lain halnya dengan jenis makanan yang satu ini yakni tape singkong gantung. Makanan yang diolah melalui proses peragian ini memang hanya dapat ditemukan di satu kawasan tertentu saja, tepatnya di sepanjang Jalan Raya Rajamandala hingga ke wilayah Cipatat. Di kawasan tersebutlah tape singkong gantung atau yang lebih dikenal dengan peuyeum gantung oleh para penjualnya dijajakan dengan cara digantung di dalam etalase - etalase kaca sederhana. Penataan peuyeum gantung seperti itu, ternyata mampu mengundang kendaraan yang lalu lalang di sepanjang jalan tersebut berhenti. Para penumpang kendaraan tersebut mampir untuk sekadar mencicipi atau bahkan membeli satu atau beberapa ikat peyeum gantung yang berwarna putih, berasa manis, dan menebar aroma yang khas.
Selain dari jenis makanan yang telah disebutkan tadi, memang masih banyak jenis makanan tradisional lainnya yang dibuat atau dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Akan tetapi, makanan tersebut pada umumnya hampir sama dengan yang ada di daerah-daerah Priangan lainnya seperti nagasari, tape ketan, tape singkong, leupeut atau buras, bugis, papais, ranginang, opak, tengteng, borondong, kolontong, dan longah atau jalabria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar