Rabu, 31 Maret 2010

CITARUM : Dulu dan Kini

Nandang Rusnandar, 27 Juni 2008. (Belantara)

Citarum Purba dan Asal-usulnya.

Citarum adalah nama sebuah sungai besar dan panjang di daerah Jawa Barat, panjangnya (± 225 kilometer). Ia berhulu di Cisanti, lereng Gunung Wayang – salah satu anak Gunung Malabar – daerah Bandung Selatan. Alurnya mengikuti cekungan Bandung ke arah utara, merayap memasuki beberapa kabupaten yang ada di Jawa Barat seperti Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Karawang, kemudian ia bermuara di Laut Jawa, tepatnya di daerah Ujung Karawang.

Seacara etimologis, Citarum berasal dari dua kata, yaitu ci dan tarum ‘Marsedenia tinctoria’. Dalam bahasa Sunda ‘Ci’ merupakan singkatan dari cai berarti air. Tarum yang disebut juga nila adalah jenis tanaman areuy. Tanaman itu biasa dijadikan bahan celup (pewarna yang berwarna ungu/violet), untuk warna dasar kain.

Ada pendapat bahwa nama Citarum berkaitan dengan nama kerajaan tertua di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara.Menurut naskah Wangsakerta, pusat kerajaan itu terletak di daerah tepi sungai yang kemudian disebut Citarum. Kerajaan Tarumanagara terletak di sebuah dusun yang dibangun oleh Maharesi Jayasinghawarman.(tahun 348 M.). Beberapa tahun kemudian, dusun itu berkembang menjadi kerajaan yang diberi nama Tarumanagara, dengan ibukota kerajaan diberi nama Jayasinghapura.

Berdasarkan data geologi, sebelum daerah Jawa Barat dihuni oleh manusia prasejarah, sungai yang kemudian disebut Citarum sudah ada. Pada zaman purba – Zaman Holosen (± 6000 tahun sM.) – aliran Citarum di daerah Cimeta (Padalarang) tersumbat oleh lahar dari letusan Gunung Sunda. Lama-kelamaan air sungai itu merendam daerah sangat luas, yaitu dari daerah Padalarang sampai dengan Cicalengka (± 30 km) dan dari Lembang (lereng Gunung Tangkubanparahu) sampai dengan Soreang (± 50 km). Luas areal yang terendam lebih-kurang 150 kilometer persegi, yang kemudian menjadi "Danau Bandung Purba".

Fungsi Citarum

Dulu, Citarum memiliki berbagai fungsi penting bagi kehidupan manusia, pada zaman prasejarah, daerah tepian Citarum dihuni oleh manusia, terutama setelah mereka memiliki budaya tinggal menetap. Hal itu dibuktikan oleh peninggalan budaya pada situs-situs prasejarah yang ditemukan di tepian daerah aliran Citarum.

- Di Cibuaya daerah Karawang, ditemukan situs berisi artefak-artefak prasejarah (Zaman Neolitikum), berupa tembikar dan manik-manik, bahkan kerangka manusia, diduga kuat berasal dari ras Mongoloid.

- Manusia prasejarah umumnya memilih gua (Sunda: guha) untuk tempat menetap yang dekat dengan sumber air. Di Gua Pawon ditemukan beberapa artefak, pecahan gerabah, tulang binatang, cangkang siput, pecahan buah kenari dan lain-lain. Bukti itu menunjukkan bahwa Gua Pawon pernah menjadi hunian manusia prasejarah, karena memang gua itu berada di daerah aliran Citarum. Hal itu berarti pada zaman prasejarah, Citarum memiliki arti penting bagi kehidupan manusia, termasuk kegiatan menangkap ikan.

- Memasuksi zaman sejarah, Citarum makin penting artinya bagi berbagai kehidupan. Masyarakat Tarumanagara memiliki mata pencaharian terutama melalui kegiatan pertanian, menangkap ikan, serta perdagangan hasil pertanian dan berburu. Dalam kegiatan pertanian, Citarum menjadi pemasok air. Boleh jadi kegiatan penangkapan ikan pun terutama dilakukan di Citarum.

Untuk keperluan air di pusat kerajaan, Purnawarman raja Tarumanagara ketiga (395-434 M.), memerintahkan rakyatnya untuk membuat saluran air, yaitu kali Gomati dan Candrabhaga. Tentu saluran itu dihubungkan dengan Citarum, sehingga saluran air itu menjadi anak sungai Citarum. Purnawarman juga memerintahkan rakyatnya untuk memperbaiki, memperkuat dan memperdalam alur Citarum. Setelah pekerjaan itu selesai, dilaksanakan selamatan dan pemberian hadiah kepada para brahmana dan rakyat berupa 800 ekor sapi, 20 ekor kerbau, pakaian, makanan, dan lain-lain. Para brahmana kemudian memberkati Maharaja Purnawarman. Hal itu menunjukkan bahwa Citarum sangat penting artinya bagi kehidupan kerajaan dan masyarakat Tarumanagara. Pada sisi lain, perintah Purnawarman tersebut menunjukkan bahwa raja itu sangat memperhatikan Citarum sebagai "urat nadi" kerajaan. Oleh karena itu, setelah meninggal ia dipusarakan di tepi Citarum, sehingga ia mendapat julukan Sang Lumahing Tarumanadi (Yang dipusarakan di Citarum).

Fungsi lain dari Ciatrum tempo dulu, yaitu :

1. Batas wilayah dua Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Daerah sebelah barat Citarum tetap menjadi wilayah Kerajaan Sunda, sedangkan daerah sebelah timur sungai itu menjadi wilayah Kerajaan Galuh. Hal itu paling tidak berlangsung sampai dengan abad ke-15.

2. Sarana Transportasi masyarakat Kerajaan Sunda dan Galuh, yang menghubungkan daerah pesisir dengan daerah pedalaman.

3. Batas wilayah Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten (abad ke-15 hingga abad ke-19). Daerah sebelah barat Citarum merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Banten. Daerah sebelah timur sungai itu menjadi wilayah Kesultanan Cirebon.

4. Setelah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur berdiri, masing-masing pada sekitar pertengahan dan perempat ketiga abad ke-17, Citarum penting artinya bagi kehidupan masyarakat kedua kabupaten tersebut. Pemerintah Kabupaten Bandung bahkan memilih Krapyak (Citeureup) di tepian Citarum (dekat muara Sungai Citarik) sebagai ibukota kabupaten.

5. Pada zaman pendudukan Kolonial Belanda, Citarum menjadi alat transportasi untuk memasuki daerah ‘Kota Bandung’ karena sarana jalan darat transportasi melalui darat masih sulit dilakukan, karena belum adanya jalan yang memadai dan sebagai besar lahan darat masih berupa hutan belantara ("terra incognita"). Namun selama beberapa puluh tahun kondisinya masih berupa jalan tanah. Keadaan itu paling tidak berlangsung sampai dengan tahun 1870-an. Dan Jalan Raya Pos (Grote Postweg) dari Anyer sampai Panarukan yang dibangun pada awal abad ke-19 untuk jalan kereta pos.

Krapyak dipilih sebagai pusat pemerintahan kabupaten dengan dua alasan.

A. Waktu itu sebagian besar penduduk Bandung tinggal di daerah Bandung selatan. Sesuai dengan budaya lama, boleh jadi waktu itu di daerah aliran Citarum berderet pemukiman penduduk, karena sungai itu merupakan bagian penting dari kehidupan penduduk, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk kepentingan pertanian.

B. Citarum penting artinya sebagai prasarana transportasi, baik bagi para pejabat kabupaten maupun bagi penduduk. Tempat-tempat tertentu di sepanjang sungai itu, seperti di Dayeuhkolot, Margahayu, Bayabang, Cihea, dan lain-lain, dijadikan tempat pemberhentian paruh dan/atau penyeberangan. Di tempat-tempat penyeberangan disediakan parahu bandungan (dua perahu dipasang sejajar dan digandengkan) atau rakit untuk menyeberangkan orang dan barang.

Oleh karena itu pada beberapa abad yang lalu, Citarum sangat diperhatian dan kondisinya dipelihara, baik oleh pemerintah kabupaten maupun oleh warga masyarakat yang daerahnya dilalui oleh sungai itu. Pada abad ke-17, Kompeni selaku aparat VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), gabungan perusahaan dagang Belanda di Hindia Timur, memfungsikan Citarum untuk kegiatan ekonomi dan pertahanan. Waktu itu, di muara Citarum, yaitu di Tanjungpura, Kompeni membangun pelabuhan dan benteng cukup besar.

Pemeliharaan Citarum pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-19, dilakukan oleh Bupati yang dalam waktu tertentu selalu mengadakan rekreasi dengan acara menangkap ikan di suatu leuwi tertentu dan berburu rusa di hutan tertentu. Perburuan dilakukan oleh sejumlah pamatang (ahli berburu). Mereka menggiring rusa ke dekat panggung. Bila bupati berkenan, ia membidik rusak dengan panah atau tombak. Hak istimewa bupati berburu di hutan, menyebabkan rakyat tidak berani merambah hutan. Bahkan rakyat menyebut hutan tempat bupati berburu sebagai "leuweung larangan" ("hutan tutupan").

Dalam memelihara alur sungai dari kelestarian serta menjaga air sungai dari pencemaran, dilakukan karena adanya kewajiban rakyat dalam pancen diensten (kewajiban bekerja untuk kepentingan penguasa pribumi, khususnya bupati) adalah memelihara sungai, baik diperintah atau pun tidak oleh bupati.

Waktu itu sebagian lahan hutan hanya dibuka untuk pemukiman sejumlah kecil penduduk dan lahan pertanian (huma). Tidak terjadi perusakkan hutan, apalagi penggundulan hutan. Oleh karena itu, sebagian besar hutan menjadi lestari. Kelestarian hutan menyebabkan alur Citarum tidak terganggu oleh longsoran hutan. Kedua hak istimewa bupati tersebut, sepintas terkesan menunjukkan sikap feodal bupati. Namun sesungguhnya kedua hak istimewa itu merupakan "bungkus" kearifan bupati untuk memelihara dan melestarikan sungai dan hutan dan menghibur rakyat yang sedang berada di alam penjajahan.

Pada abad ke-19 pihak kolonial pun menjadikan Citarum sebagai prasarana transportasi, dalam pengangkutan hasil perkebunan Hasil perkebunan yang khusus diangkut melalui Citarum adalah biji kopi. Buah kopi dari daerah Priangan hasil dari Preangerstelsel (sistem penanaman wajib di Priangan) diangkut melalui Citarum ke pelabuhan di pantai utara Jawa Barat. Waktu kembali, perahu-perahu itu mengangkut garam. Dalam kegiatan itu, Cikao (daerah Purwakarta) menjadi pelabuhan sungai. Sementara itu, orang-orang kolonial pengusaha perkebunan turut pula menjaga kelestarian hutan, sebab bila hutan rusak, perkebunan mereka akan terganggu.

Kearifan-kearifan tersebut membawa dampak positif bagi Citarum. Walaupun setiap musim hujan, Citarum selalu menimbulkan banjir, tetapi banjir Citarum tempo dulu tidak terberitakan mengakibatkan penderitaan berat bagi warga masyarakat setempat, apalagi menelan korban jiwa manusia. Hal itu disebabkan pemerintah dan warga masyarakat memperhatikan dan memelihara alur sungai serta hutan di daerah aliran Citarum. Dampak negatif dari banjir Citarum tempo dulu yang terberitakan dalam berbagai sumber, adalah berjangkitnya wabah penyakit, seperti penyakit kulit (gatal-gatal), diare, dan malaria.

Banjir dari Citarum yang terjadi setiap musim hujan, merupakan salah satu faktor yang mendorong Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II (1794 – 1829) memindahkan ibukota kabupaten dari Krapyak ke daerah Kabupaten Bandung bagian tengah (pusat kota Bandung sekarang). Peristiwa itu terjadi pada awal abad ke-19. Ibukota baru itu diberi nama Bandung yang diremiskan tanggal 25 September 1810. Sejak tahun 1998 tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.

Fungsi Citarum sebagai prasarana transportasi menjadi berkurang, setelah di daerah Jawa Barat berlangsung transportasi kereta api. Pembangunan sarana transportasi itu dilakukan secara bertahap antara tahun 1878 sampai dengan tahun 1911, dari daerah Batavia sampai dengan Cilacap. Sekalipun sudah ada transportasi kereta api, Citarum tetap berfungsi sebagai prasarana transportasi, paling tidak sebagai tempat penyeberangan. Hal itu berlangsung sampai sekarang.

Kini, dalam perjalanan sejarahnya, Citarum bukan hanya berfungsi sebagai pemasok air unuk pertanian, tetapi air sungai itu berfungsi pula sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA), setelah terlebih dahulu dibangun bendungan (waduk) di beberapa tempat. PLTA dimaksud adalah PLTA Plengan, PLTA Lamajang, PLTA Cikalong di daerah Kabupaten Bandung, dibangun antara tahun 1917-1925, PLTA Jatiluhur (1965), PLTA Saguling (1985-1986), dan PLTA Cirata (1988). Tiga PLTA yang disebut terakhir bukan hanya pemasok tenaga listrik bagi daerah Jawa Barat, tetapi untuk seluruh Pulau Jawa dan Bali .

Namun sangat disayangkan, keberadaan beberapa PLTA itu terkesan tidak sejalan dengan pemeliharaan kondisi air Citarum di luar bendungan-bendungan tersebut. Sekarang air sungai itu tidak lagi dapat dimanfaatkan secara langsung untuk kehidupan manusia, seperti tempo dulu, karena air sungai sudah sangat tercemar oleh sampah dari rumah tangga dan limbah pabrik. Hal itu terjadi akibat dari kearifan-kearifan tempo dulu mengenai pemeliharaan Citarum, lupa dan hilang, sehingga kini kearifan itu perlu untuk direnungkan kembali dalam membuat kebijakan untuk menangani masalah Citarum zaman sekarang.

Perubahan kondisi Citarum menyebabkan terjadinya perubahan sosial, khususnya pola kehidupan sosial dan ekonomi warga masyarakat di daerah aliran Citarum. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila masalah Citarum diteliti secara komprehensif dari berbagai disiplin keilmuan.

Beberapa kearifan tradisional masyarakat sekitar bantaran Citarum dalam bentuk UGA yang mengkaitkan Citarum dalam prediksi dan antisipatif dalam menghadapi perubahan fenomena alam :

1 Engké lamun nu bisa ngabendung Citarum, Bandung jadi kota kembang heurin ku tangtung.

2 Mangké mun Citarum dicukangan ku layon, mangké alam baris ancur

3 Mangké mun Cisangkuy numpakan Citarum, Bandung baris heurin ku tangtung

4 Mimiti ti Cikonéng, kaduana Pangadegan, katiluna Cibuni Soréang, kaopatna Citarum, kalimana Cilaki….. jaga mah cai sagelas dijual sa100 juta.

5 Jaga Bandung bakal heurin ku tangtung, cirina Citarum ruksak

6. Jaga Citarum tina hérang jadi kiruh, tah citarum kiruh aya soang di girang, nu geulis geruh bakal kasorang alamna, tah kieu alamna : nu bener di salahkeun nu salah dibenerkeun

7. Jaga Curug Jompong moal bisa nyurug, bakal aya tambakan gedé atawa darmaga ti tungtung wates Cililin nepikeun ka wates Cianjur

Ketujuh UGA di atas lahir jauh sebelum pembangunan yang sekarang terjadi, namun teropongan Karuhun Sunda sudah mampu melihat apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang (kini dan nanti). Untuk itu generasi kini harus mampu memaknai UGA itu demi keselamatan dan kesejahteraan hidup dengan menjaga alam sekeliling kita. Perkiraan Karuhun sudah cukup jelas tersurat dalam UGA tersebut, kini mari maknai dan jadikan UGA tersebut pedoman dalam menata kehidupan yang lebih baik.

“nanti pabila ada orang yang mampu membendung Citarum, Bandung akan menjadi Kota Kembang heurin ku tangtung ’sesak penduduknya’

Melihat fenomena yang terjadi, kini citarum sudah dibendung Saguling dan Cirata untuk dijadikan pembangkit tenaga listrik. Jelas Bandung menjadi Kota ‘Kembang’ dan heurin ku tangtung ‘sesak penduduknya’. Antisipasinya harus menjadikan Bandung sebagai kota yang teratur, tata ruang yang sesuai dengan peruntukkan, jangan semrawut seperti sekarang ini. Uga ini sudah terjadi, namun antisipatif ke arah pengembangan Bandung menjadi kota yang tidak heurin ku tangtung tidak diperhatikan bahkan diabaikan.

Sumber :

Asmar, Teguh et al. 1975. Sejarah Jawa Barat Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung : Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan. Propinsi Jawa Barat.

Ayatrohaedi. 2005. Sundakala; Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon . Jakarta : Pustaka Jaya.

Brahmanto, Budi. 2006. "Dari Cisanti ke Curug Jompong". Pikiran Rakyat, 24 Maret.

Danasasmita, Saleh et al. 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Jilid II. Bandung : Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

Ensiklopedi Indonesia. tth. Edisi Khusus. Jilid 2, Jakarta : Ichtiar Baru.

Hardjasaputra, A. Sobana. 2002. Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906. Disertasi. Depok: Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

--------. 2004. "Bupati di Priangan; Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke-19. Sundalana 3: 9-65. Bandung : Pusat Studi Sunda

“Cai“

Nandang Rusnandar

Jawa Barat selalu dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim halodo .'kemarau' dan musim ngijih 'penghujan', apabila musim ngijih, air subur di mana-mana Suatu kenyataan bahwa di Jawa Barat tidak sedikit nama daerah yang berhubungan dengan air atau dalam bahasa sunda disebut “ci”, ranca, bojong, dan tanjung,.– Namun dewasa ini hutan yang lebat dan subur menjadi hutan gundul oleh banyaknya ilegalloging dari orang-orang serakah, maka banjir dan longsor pun tak terhindarkan yang berakibat sangat menyengsarakan rakyat kecil di desa-desa--.
Nama-nama tempat dapat diartikan bahwa daerahnya sangat subur dan manusianya pun tak lepas dari alam sekitar. Nama Ci.., ranca, bojong, dan tanjung merupakan gambaran manusia Sunda khususnya dan Jawa Barat umumnya. Nama tempat dapat menunjukkan kecenderungan bahwa berlimpahnya air sangat mempengaruhi sikap dan perilaku hidupnya, tak lepas dari alam sekitar.

Dalam ilmu bahasa ada yang disebut onomastika, yaitu ilmu yang menyelidiki asal-usul dan arti nama. Salah satu cabang onomastika adalah toponimi, yaitu ilmu yang menyelidiki nama-nama tempat. Di seluruh pelosok Jawa Barat Mulai dari Kabupaten Ciamis di paling timur Jawa Barat hingga ke Ujung Kulon di sebelah barat Jawa Barat, Pantai selatan hingga pantai utara Jawa Barat, hampir di setiap pelosok selalu ada nama-nama daerah yang sebagai ciri bumi berhubungan dengan wilayah yang berair atau yang berhubungan erat dengan air di sekelilingnya. Nama-nama daerah yang berhubungan dengan wilayah yang berair itu, seperti : Situ, ‘telaga’, Ranca, Empang ‘rawa’ , bojong ‘tanjung’ daerah atau tanah yang menjorok ke air. Kita lihat nama-nama daerah yang ada di Jawa Barat, Babakansitu, Situsaeur, Situ Gede, Rancameong, Rancabadak, Rancakalong, Rancakaso, Empangsari, Tanjunglaya, Tanjung, Tanjungsari, Bojongkokosan, Bojongmenje, Bojongnangka, Bojongsalak, dsb. Begitu pula dengan daerah yang berawal dengan Ci, seperti di daerah Panjalu, Cibubuhan, Cikole, Cipanjalu, Cibeureum, Cinagari, Ciramping, Cilangkung, Cigorowek, Cihujung, Ciater, Ci… dan Ci lainnya. Bahkan ada nama kampung yang bernama Kampung Bahara yang memiliki arti “air” pula.

Air atau “cai” dalam bahasa Sunda berarti kahirupan, hirup “kehidupan”. Cai dalam tataran fislosofis dapat bermakna sebagai sesuatu yang memberikan kekuatan dalam kehidupan ini. Cai disimboliasasikan oleh Mama Mei Kartawinata dalam bukunya Pepeling (Tanpa tahun), sebagai sesuatu daya bagi kehidupan manusia. Manusia, tercipta oleh empat unsur sajatining hurip, yaitu : Cai “air”, Seuneu “api”, Taneuh “tanah”, dan Angin. Jadi manusa teh untung/ dikersakeun ku Hyang Widi/ diwarugaan ku opat dulur/ sakulit sadaging/ balung sungsum jeung nafasna/ KAMA NUSA estu asli //. “Manusia itu beruntung/ diberi kekuatan oleh Yang Widi/ dalam wujud empat unsur/ bercampur dalam kulit dan daging/ tulang dan sungsum begitu juga dengan nafasnya/ KAMA NUSA itu asli //

Hal itu tercermin dalam pupuh kinanti seperti di bawah ini :

Eta mah Cai ti gunung, asal ti sa’ab jaladri, peuting sumawonan beurang, estu henteu pisan cicing, gawena neangan jalan, Perjalanan geusan balik// Ngocor nyukcruk-nyukcruk gunung, nyusukan malipir pasir/ sakur lebak kaeusian/ balong sumur kitu deui/ tegal kebon pasawahan/ mawatna patani mukti// Nagara ge jadi subur/ hurip abdi waras nagri/ pangeusi alam sarehat/ sato hewan kitu deui/ kokotor ge diberesihan/ lantaran jasa ki Cai// Kitu kersaning Hyang Agung/ jembarna nu Maha Suci/ Cai maju ka lautan/ sajajalan jeung babagi/ tapi bet taya beakna/ matak heran mun dipikir // Kapan nu jolna ti gunung/ Cai netesna saeutik/ lumaku neangan jalan/ di jalan bari babagi/ taya nu teu kabagian/ jeung sesana teu saeutik// Ari geus deukeut ka laut/ matak gila nu ningali/ risi sieun ku gedena/ aworna laut jeung Cai/ nya dingaranan sagara/ Cai geus pulih ka jati// Tapi dasar Cai hirup/ sanajan geus di jaladri/ taya eureunna ngiriman/ saabna nyaian deui/ samalah reujeung nguyahan/ ka sakabeh abdi Gusti// Sangkan maranut ka rasul/ baroga rasa sajati/ ngersakeun ka sasama/ daek silih beuli ati/ sangkan pada salametna/ ulah pisan hiri dengki// Kapan manusa teh luhung/ piraku eleh ku Cai/ sanajan pinter carita/ taya gunana saeutik/ lamun teu reujeung buktina/ matak bosen anu nyaksi// Abdi Gusti ngucap NUHUN/ ka Cai nu mawa hurip/ ka Uyah nu mawa rasa/ sanajan mawa birahi/ jeung mawa nafsu sawiah/ nikmat mun reujeung pamilih //

Artinya :

Air itu berasal dari gunung/ dari uap lautan asalnya/ malam maupun siang/ tidak pernah diam/ untuk mencari jalan/ Perjalanan jalan untuk pulang/ Mengalir menyusuri gunung, menjadi parit menyusuri bukit/ semua lembah terisi/ begitu pula empang dan sumur/ kebun dan pesawahan/ membuat petani menjadi makmur/ Negara pun subur/ rakyat sejahtra negara aman/ sehat seisi jagat/ begitupun hewan/ semua yang kotor dibersihkan/ itulah jasanya Air/ Begitulah kehendak Hyang Agung/ Akbarnya Yang Maha Suci/ Air mengalir ke lautan/ memberi sepanjang jalan/ tapi tak pernah habis/ membuat heran bila dipikir// Padahal datang dari gunung/ hanya air setetes/ bergerak mencari jalan/ sambil memberi di sepanjang jalan/ tiada yang tak terbagi/ dan sisanya tidak sedikit/ Ketika dekat ke laut/ membuat getir yang melihatnya/ takut karena luasnya/ berpadunya laut dan air/ itulah namanya lautan/ air kembali ke asal/ Tapi sifat air itu hidup/ meskipun sudah di lautan/ tiada henti memberi/ uapnya memberi air kembali/ malah sambil memberi “garam”/ kepada semua hamba Gusti/Agar tunduk kepada rasul/ memiliki rasa sejati/ berbuat baik kepada sesama/ saling menghargai/ agar semua selamat/ jangan berbuat dengki / Manusia itu berakal/ masa kalah sama air/ meskipun pandai bicara/ sedikit pun tak ada gunanya/ bila tidak ada bukti/ menimbulkan rasa bosan bagi yang melihatnya/ Ya Gusti, hamba berterimakasih/ kepada air yang memberikan kehidupan/ kepada garam yang memberi rasa/ walaupun membawa birahi/ dan nafsu sawiah/ terasa nikmat bila dengan hasil pilihan/

Untuk pemberian nama sebuah tempat, karuhun kita dahulu selalu dikaitkan dengan ciri bumi daerah setempat, di mana nama itu sangat bermakna bagi penduduknya sendiri, sehingga nama adalah ciri mandiri yang tak dapat dipisahkan dengan cara dan ciri kehidupannya sendiri. Namun kini pemberian sebuah tempat sangat tidak berarti dan tidak jelas makna yang dikandungnya, asal terdengar bagus di telinga, maka jadilah nama itu untuk suatu daerah. Padalah, bila kita telusuri nama sebuah daerah sangat memudahkan untuk ditelusuri latar belakang sejarah dan budayanya.

Sebuah penamaan tempat, dapat kita lihat dalam sebuah syair di bawah :

Tumurun ti Cibubuhan / Teluk bango desa deui / Cibeureum anu kasampeur /di Cikole eureun deui// Hujung Tiwu nu kapencil / Catena tutuan gunung / cat man cat ka Pasir Putat/ Cinagari eureun deui // Mipir minggir tebeh kidul situ lengkong /pasanggrahan desa tuan /mudun ka Wawarung pari /marariuk (Mariuk) pasawahan ///…….. dst.

Artinya :

Mulai turun dari Cibubuhan/ Sampai di Teluk Bango/ Cibeureum terlewati/ Berhenti di Cikole/ Hujungtiwu yang terpencil/ Catena dikaki gunung/ Agak ke atas ke Pasir Putat/ Berhenti lagi di Cinagari/ Menyusuri bnagian selatan Situ Lengkong/ Pesanggrahan desa tuan/ Turun ke Wawarungpari/ Mariuk tempat pesawahan// /…../ dst

Air dalam paribahasa Sunda

Pindah cai pindah tampian, “Bisa membawa diri”, siga cai jeung minyak, “Selalu bertengkar” , siga cai dina daun taleus, “Tidak berbekas”, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak“ Kebersamaan / rukun”

Air dan kepercayaan masyarakat terhadap makhluk halus sebagai penghuninya

Sekitar Rawa Lakbok Pulau Majeti, Ciamis, masyarakat mempercayai adanya suatu kehidupan alam gaib (Siluman yang disebut Onom). Makhluk gaib ini digambarkan memiliki kehikdupan yang sama dengan manusia, seperti kebutuhan untuyk makan, minum, berkeluarga dan kebutuhan akan hibuaran. Oleh karena itu banyak onom yang kadang-kadang memasuki keramaian masyarakat manusia, seperti belanja ke pasar, nonton, naik kendaraan dan lain sebagainya.

Ada sekelumit cerita bahwa seorang dalang pernah diundang ke alam gaib tersebut. Ketika pulang dalang tersebut diantar sampai ke suatu tempat tertentu dengan syarat janga melirik / menoleh ke belakang. Jika dilanggar maka akan terjadi sesuatu, misalnya keindahan alam yang terlihat sebelumnya akan berubah menjadi hutan belantara. Begitu juga dengan uang atau pemberian makanan akan berubah menjadi daunt kering dan tanah.

Orang-orang Ciamis, apabila mengadakan upacara adat arak-arakan sunatan selalu menyediakan seekor kuda tunggang tanpa penunggang, konon menurut keperecayaan mereka, kuda itu ditunggangi oleh onom. Atau masyarakat percaya bila suatu hari perabotannya (alat-alat dapur) tiba-tiba hilang, misalnya ketel, serok, cowet, ulekan ‘mutu’ hihid, itu dipinjam oleh masyarakat onom yang sedang mengadakan hajatan. Suatu hari perabotan tersebut akan kembali dengan sendirinya.

Air dan Upacara

Secara filosofis, hubungan antara air “Cai” dengan Upacara Nyangku yang dilakukan di Nusa dan Bumi Alit, dapat diartikan pensucian diri. Bumi alit merupakan perlambang badan manusia itu sendiri, sedangkan perkakas atau barang pusaka itu sebagai perlambang dari alat-alat panca indra yang ada pada tubuh manusia. Nah apabila disucikan kembali maka harus dilaksanakan di “NU-SA”, artinya “ (“Nu” dalam bahasa Sunda artinya : yang; dan “SA” artinya satu). Jadi Arti secara keseluruhan pelaksanaan Nyangku (membersihkan pusaka) itu adalah membersihkan diri dari semua kotoran yang selama ini melekat pada diri, sehingga manusia yang telah dibersihkan kotorannya dapat menjadi NUSArasa, NUSAjati, NUSAbangsa, NUSAagama, dan sebagainya.

KEARIFAN EKOLOGIS KARUHUN SUNDA MELALUI UGA TANAH (C)AWISAN [1]

Nandang Rusnandar

Uga bagi masyarakat Sunda, merupakan salah satu bentuk pengungkapan prediksi antisipatif dari generasi karuhun untuk dipedomani mengenai kejadian-kejadian pada masa yang akan datang. Uga Bandung secara khusus dan uga Sunda secara umum banyak yang mengutarakan mengenai bagaimana pentingnya memelihara lingkungan hidup. Orang Baduy di daerah Banten misalnya mempunyai suaka pemujaan yang disebut Sasakadomas dan tempat-tempat yang dianggap suci lainnya. Menurut kepercayaannya tempat suci itu merupakan sasaka pusaka buana yang harus dijaga diraksa ‘harus dipelihara dan dijaga’ dari kerusakan. Demikian pula dengan tanah cawisan yang dianggap suci ini harus dijaga dari kerusakan alam. Hal itu pun terlihat pula di Kampung Adat Dukuh di Garut Selatan, di sana ada lokasi tanah cawisan yang dianggap suci dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang.

Uga yang menyatakan akibat dari sebuah perbuatan dan pada akhirnya alam menjadi korban, termasuk manusia di dalamnya, sehingga mereka semua menuju suatu tempat yang telah dicawiskeun ‘diperuntukkan’, dapat dilihat pada uga di bawah ini,

  1. Bandung téh bakal kakeueum, bakal pindah ka tegal harendong.
  2. Jaga Bandung bakal jadi sagara, ngarungsina ka tegal haréndong. Tegal haréndong téh leuweung panyampayan. Petana téh ti Cipelah bras ka Citambur anjog ka hiji leuweung, tah éta tegal haréndong.
  3. Jaga Bandung bakal kakeueum, sabeulah urang Bandung ka kidul bagéanana ka Gunung Cikuray, sabeulahna ka kalér, bagéanana ka Gunung Tangkubanparahu

Uga di atas menunjukkan adanya akibat yang ditimbulkan ketika Bandung mengalami perubahan, dari kota menjadi kakeueum air atau menjadi lautan. Penduduk Bandung akan mengungsi atau pindah tempat menuju ke tempat yang telah ditentukan, Tegal Haréndong, Gunung Cikuray untuk penduduk Bandung Selatan sedangkan Gunung Tangkubanparahu untuk penduduk Bandung Utara. Tegal Haréndong adalah suatu tempat yang letaknya sangat samar, hanya disebutkan berada di sebuah hutan panyampayan di daerah Citambur.

  1. Di mana manusa teu merhatikeun Cikapundung, Pasir Buniwangi jeung Pasir Négla, bakal urug, tuluy mangpet ngabendung wahangan. Jeung dimana ngemplangna nepi Maribaya Cibodas, nu ngabendung tuluy bedah, Bandung kaléléd, kakeueum ; laju Bandung jadi talaga deui.

Uga di atas menyatakan Bandung akan mengalami kejadian perubahan alam yang mengakibatkan Bandung menjadi kakeueum, talaga ‘terendam air, dan telaga’, diakibatkan oleh keserakahan manusia yang berada di kota Bandung tanpa melihat akibat yang ditimbulkan di kemudian hari. Makna dari kata kakeueum dan talaga dapat menunjukkan makna konotatif dan denotatif, yaitu sesak oleh manusia, keadaan semacam itu mengakibatkan kota Bandung diibaratkan sebagai lautan, atau akibat dari perbuatan yang tidak bertanggungjawab dan melupakan kearifan lokal, maka Bandung menjadi kakeueum dan talaga, seperti dalam Uga /4/ bagi manusia yang tidak lagi memerhatikan Cikapundung dan Citarum maka akibatnya banjir di mana-mana, maka ada kemungkinan Bandung akan menjadi telaga kembali.

Uga lain yang masih senada,

5 Urang Bandung mah bakal ka tegal haréndong (ceuk riwayat di daérah pakidulan Pangaléngan, di dinya aya nu disebut Tegal Bandung, cawisan keur urang Bandung. (dipelakan ku urang pangaléngan tara jadi)

6 Di daérah Subang aya cabé panayogian nu geus tumoké (tos badé asak), Urang Bandung lumpat ka Tegal Bandung atawa Tegal Layapan di Subang. Bandung heurin ku tangtung

Setiap uga lokal memiliki obsesi sebagai orientasi tempat yang akan berkembang sesuai dengan perkembangan daerahnya, uga di atas misalnya, menggambarkan perkembangan di daerah yang ditandai dengan adanya daerah (c)awisan atau daerah peruntukkan yang ditentukan dalam uga itu sendiri. Dan apabila uga menjadi kenyataan bahwa Bandung menjadi lautan, maka ada korelasi antara kegiatan manusia yang merusak alam Bandung dengan hasil yang diakibatkannya, kemudian mereka akan pindah ke tempat yang sudah ditentukan dalam uga, seperti Tegal Harendong, Tegal Bandung, dan Tegal Layapan.

Kerarifan yang tertuang dalam uga dapat berfungsi sebagai antisipatif. Seperti daerah cawisan yang dianggap sebagai tempat yang disakralkan, maka akan membantu masyarakat setempat untuk menjadikan salah satu daerah konservasi alam sehingga tidak merusak dan mengeksploitasinya. Di samping itu uga pun dapat menjadi sarana pemberitahuan dan perhatian untuk berbuat waspada akan kehancuran alam yang disebabkan oleh ulah manusia.

Kearifan lokal yang terlupakan disebabkan oleh :

- Kurangnya minat para pemuda akan tradisi

- Sistem Pendidikan yang lebih mementingkan materi daripada nilai-nilai

- Orang tua yang tidak lagi mentransformasikan nilai-nilai tradisi

- Gaya hidup orang kota lebih banyak ditiru dan mereka melupakan tradisinya.

- Globalisasi informasi yang siap saji di depan meja mengubah sikap dan perilaku generasi muda untuk lebih melihat hal-hal yang berbau ‘modern’

Simpulan

Kita tidak terbiasa mengayun langkah antisipatif atas suatu fenomena alam, yang berakibat pada sebuah kejadian yang diprediksi uga. Bila upaya mengantisipasi itu tidak dilakukan secara sungguh-sungguh, prediksi uga akan terjadi dan menjadi kenyataan.

Seperti contoh dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kota Bandung atau rusaknya alam sulit untuk diatasi, tapi dapat diprediksi dengan memanfaatkan uga di satu pihak dan ilmu pengetahuan di pihak lain. Karena itu sangat diperlukan keseimbangan alam, eksploitasi alam tetap harus mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Adanya uga ini selayaknya dijadikan momentum untuk membiasakan langkah antisipatif ketimbang langkah reaktif. Apabila langkah reaktif yang temporal dan spasial, maka uga hanya merupakan sebuah ‘karya karuhun’ yang tidak berguna. Justru dengan adanya uga ini diharapkan para pembuat kebijakan membiasakan diri dengan langkah antisipatif. Sebab selama ini fenomena alam hanya dipahami sebagai sebuah kenyataan yang harus diterima begitu saja.

Harapan, antara pembuat kebijakan ‘pemerintah’ yang harus mampu mengungkap kearifan masyarakatnya dalam menghadapi fenomena alam ini, apalagi yang berhubungan dengan lingkungan alam. Begitu pula dengan para ahli yang menggeluti budaya harus mampu memberikan kontribusi pengetahuannya bagi pembuat kebijakan. Maka antara keduanya harus ada sinergitas, pemerintah harus memberikan peluang bagi para ahli dalam menekuni dan mengembangkan ilmunya demi pembangunan, sehingga pembangunan akan berbasis kearifan yang ditemukan oleh para ahli itu sendiri.



[1] Makalah dibacakan dalam [IA-ITB] Sarasehan Pemulihan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal tgl 28 Januari 2010 di Hotel Aston Jl. Braga Bandung.

NILAI BUDAYA DALAM MASYARAKAT TRADISIONAL

Nandang Rusnandar

Dalam menghadapi era globalisasi yang terus menggilas masyarakat dunia ini, maka perlu pengkajian kebudayaan secara konfrehensif. Globalisasi telah menjadi fenomena ekonomi, politik, dan budaya, tulis John Micklethwait ‘2007 : 23’ A Future The Challenge and Hidden Promise of Globalization. Kata Globalisasi mulai mendapat makna tambahan mistis, setiap orang menyebutnya tapi tidak ada yang mendefinisikannya. Bagi pemimpin Asia, globalisasi artinya dominasi Amerika. Dalam sejarah kontemporer, kita dapat menyaksikan berbagai kasus anomi sosial dan aleinasi kultural dengan segala konsekuensinya, sehingga terjadi disorientasi norma dan nilai. Sebagai solusi hal tersebut di atas, universalisme ilmu pengetahuan dan teknologi tidak perlu memudarkan kesadaran sejatinya identitas; aleinasi dari kesejatian diri sendiri adalah awal dari satu perubahan yang akhirnya bisa menjadi tanpa arah dan bahkan bebas nilai.

Pembangunan adalah suatu gerakan yang berorientasi pada nilai-nilai “value-oriented movement’. Di sini mengapa Budaya Penting? Dapat dirumuskan bahwa pembangunan, menimbulkan pergeseran budaya, tata nilai, adat istiadat, dan perubahan lain dari ciri mandiri kehidupan masyarakat. Bagi para budayawan atau ilmuwan bertitik tolak pada pemikiran yang menyatakan bahwa peninggalan masa lalu merupakan warisan yang tak ternilai harganya, maka semua bentuk peninggalan harus dilestarikan demi memperkaya dan memperkokoh khasanah budaya. Slogan yang disarankan oleh Timothy Ash, yaitu “Think global, act local” seharusnya paradigma berfikirnya dibalik “think local, act global’ saat ini sudah sama pentingnya. Bahwa budaya lokal harus menjadi primadona dalam menghadapi tantangan globalisasi dan keterpurukan yang diakibatkan olehnya, sehingga manusia tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri.

Nilai-nilai yang menjadi ciri identitas suatu budaya ‘genus lokal’ akan berkaitan erat dengan otentisitas perilaku / visi hidup masyarakat pendukung budaya lokal tersebut. Nilai-nilai kearifan lokal perlu disiasati secepatnya dan diaktualisasikan dalam kehidupan keseharian, agar nilai-nilai tadi tidak hanya sebatas knowledge atau kanyaho ‘pengetahuan’ saja.

Pentingnya memahami ‘nilai-nilai budaya’ sebagai energi sosial yang mendorong kreativitas dan inovasi masyarakat. Hal itu disebabkan ‘nilai budaya’ secara kokoh membentuk kinerja politik, ekonomi, dan sosial suatu bangsa. Upaya ilmiah untuk memahami dan memanfaatkan nilai-nilai budaya tersebut mutlak diperlukan oleh semua insan : budayawan, birokrat, dan semua unsur adalah : Revitalisasasi ‘dihidupkan lagi dan didorong agar tumbuh dan berkembang’; Reaktualisasi ‘dihidupkan kembali dengan ‘miindung ka usum mibapa ka jaman’; Revisi ‘disesuaikan dari tujuan semula’; Restrukturisasi ‘dimodifikasi agar sesuai dengan jamannya’; Fill In ‘diisi dengan nilai-nilai baru’; Inovasi ‘adanya kreatfitas budayawan agar lebih menarik’; Kreasi ‘membuat kreasi baru yang sesuai dengan daerahnya’; Delete ‘adanya penghapusan nilai-nilai yang tidak sesuai’

Ketika perubahan jaman terjadi karena desakan dan kebutuhan, maka pola pikir manusia pun berubah sesuai dengan kebutuhan yang dihadapinya. Di sini ada paradigma baru bersifat kedirian yang tercerabut dari akar budayanya. Begitu pula dengan pola pikir manusia yang diwujudkan dalam tradisi, dengan adanya perubahan yang mengglobal, maka tradisi itu pun selalu berubah pula.

Perwujudan tradisi yang diterapkan masyarakat selalu berkaitan dengan alam sekitar, karena hukum alam adalah hukum Tuhan yang sangat dipatuhinya, sehingga ketika manusia akan bersentuhan dengan alam, mereka sadar akan dirinya dan Tuhannya. Hubungan harmonis ini selalu dilestarikan dengan sikap dan gaya hidupnya. Dari sinilah lahir norma dan falsafah hidup yang arif bijaksana yang sadar akan kelangsungan generasinya. Kesadaran itu diterapkan dalam menjaga dan menghormati alamnya.