Kamis, 07 Januari 2010

KAMPUNG ADAT NAGA DI KABUPATEN TASIKMALAYA JAWA BARAT

oleh : Nandang Rusnandar

Tulisan ini, bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai berbagai tradisi yang masih hidup dan dipertahankan oleh masyarakat Kampung adat. Dan diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan masalah kebudayaan. Juga bisa dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengoperasionalkan program-program pembangunan dengan mempertimbangkan aspek-aspek budaya masyarakat.

Kebudayaan adalah hasil kreativitas manusia untuk menghadapi tantangan hidupnya. Atau merupakan hasil kumulasi dari seluruh aspek kehidupan masyarakat pendukungnya dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan nyata. Kebudayaan bukanlah milik perseorangan melainkan milik masyarakat. Oleh karena itu, kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kebudayaan tidak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat dan eksistensi masyarakat itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kebudayaan (Harsojo, 1982 : 144). Kesinambungan hidup, masyarakat dari masa ke masa terjaga dengan adanya kebudayaan, melalui pewarisan sejumlah tradisi yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan merupakan akumulasi kebiasaan-kebiasaan hidup yang telah diakui keberadaannya oleh masyarakat tersebut. Yudistira Garna dalam makalahnya mengenai perubahan sosial di Indonesia menjelaskan bahwa tradisi yang ada di dalam setiap masyarakat adalah tatanan sosial yang berwujud mapan, baik mapan sebagai bentuk hubungan antara unsur-unsur kehidupan maupun sebagai bentuk aturan sosial yang memberi pedoman tingkah laku dan tindakan anggota suatu masyarakat. Tak mengherankan kalau tradisi merupakan warisan sosial budaya yang selalu ingin dipertahankan oleh warga masyarakat pendukungnya sebagai identitas penting kehidupan mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam suatu kebudayaan selalu ada suatu kebebasan tertentu pada para individu. Kebebasan individu tersebut memperkenalkan variasi dalam cara-cara berlaku dan variasi itu pada akhirnya dapat menjadi milik bersama. Dengan demikian, di kemudian hari ia akan menjadi bagian dari kebudayaan atau mungkin beberapa aspek dari lingkungannya akan mempengaruhi perubahan yang memerlukan proses adaptasi.

Gelombang modernisasi merupakan fenomena sosial yang menyertai dinamika hidup masyarakat. Modernisasi yang dalam hal ini diartikan sebagai usaha untuk hidup sesuai dengan jaman dan konstelasi dunia sekarang (Koentjaraningrat, 1983 : 140-141), semakin dipertajam dengan berlangsungnya era globalisasi seperti sekarang ini, yang merebak ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Modernisasi sebagai konsep dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dapat diartikan sebagai suatu sikap pikiran yang mempunyai kecenderungan untuk mendahulukan sesuatu yang baru daripada yang bersifat tradisi, dan satu pikiran yang hendak menyesuaikan soal-soal yang sudah menetap dan menjadi adat kepada kebutuhan-kebutuhan yang baru (Harsojo, 1982 : 265). Sementara itu globalisasi / era kejagatan seringkali dimuati unsur-unsur budaya asing yang keberadaannya perlu dikaji lebih jauh kesesuaiannya dengan kebudayaan kita.

Menghadapi fenomena-fenomena sosial tersebut, tatanan hidup masyarakat yang berupa sejumlah tradisi penting dan menjadi pedoman hidup suatu masyarakat eksistensinya dipertaruhkan. Dalam hal ini, Yudistira Garna berpendapat bahwa pengaruh luar cenderung merupakan suatu kekuatan mutlak yang tidak mudah ditolak oleh masyarakat setempat, tetapi walaupun demikian kebudayaan tradisional memiliki mekanisme untuk menghindarkan diri atau memiliki strategi budaya yang tidak secara mentah-mentah tertelan pengaruh luar tersebut. Lebih jauh dijelaskan bahwa dinamika sosial yang terjadi ditunjukkan oleh cara-cara pengambilalihan unsur sosial atau budaya luar yang karena menghadapi ruang dan waktu memerlukan sikap dan tindakan yang akomodatif dari para anggota masyarakat yang hakekatnya tiada lain adalah untuk mengembangkan kehidupan mereka.

Negara Republik Indonesia yang wilayahnya sangat luas, merupakan sebuah negara besar yang dihuni oleh penduduk dalam jumlah yang besar pula, yakni lebih dari 260 juta jiwa. Penduduk di wilayah tersebut terdiri atas sejumlah kelompok masyarakat yang tinggal menyebar di berbagai pulau yang membentang dari ujung barat hingga ke ujung timur. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda satu sama lainnya, dan perbedaan tersebut dapat memberikan gambaran jati diri yang khas bagi setiap kelompok masyarakat yang memilikinya. Sudah tentu beragamnya kelompok masyarakat berikut karakteristik budaya yang mereka miliki mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Melihat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen, sudah tentu tidaklah mudah untuk menciptakan kondisi yang selaras dengan tujuan pembangunan nasional. Ada kemungkinan karena mereka dapat menerima pembaharuan atau modernisasi, baik yang berasal dari program-program pembangunan maupun yang diperoleh melalui arus informasi akibat desakan globalisasi yang terjadi pada saat ini. Namun tak bisa dipungkiri pula kalau hingga kini pun masih tersisa sejumlah kelompok masyarakat yang tak perduli dengan hal yang berbau modern. Kelompok masyarakat yang menggambarkan kondisi tersebut adalah masyarakat adat yang hidup dalam sebuah lingkungan adat yang sangat dipatuhinya. Mereka hidup dalam kelompok yang memisahkan diri secara formal dari tatanan budaya pada umumnya, seperti :

1. Kelompok Masyarakat adat Kampung Kuta di Cisaga Kabupaten Ciamis

2. Kelompok Masyarakat adat Kampung Naga di Salawu Kabupaten Tasikmalaya

3. Kelompok Masyarakat adat Kampung Pulo Panjang di Leles / Cangkuang Kab. Garut

4. Kelompok Masyarakat adat Kampung Dukuh di Pemungpeuk Kabupaten Garut

5. Kelompok Masyarakat adat Kampung Mahmud di Margahayu Kabupaten Bandung

6. Kelompok Masyarakat adat Kampung Ciptarasa, Bayah, Citorek, Cicemet, Sirnarasa, di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi

7. Kelompok Masyarakat adat Kampung Urug di Kiarapandak - Cigudeg Kabupaten Bogor

8. Kelompok Masyarakat adat Kampung Baduy / Kanekes di Leuwidamar Kabupaten Lebak.

Kampung-kampung adat tersebut di atas merupakan perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadatnya. Hal itu akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar kampung tersebut. Masyarakat Kampung adat, hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suatu kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat. Dengan demikian, Kampung adat adalah potret masyarakat yang mampu melepaskan keterikatan akan perkembangan modernisasi juga pengaruh globalisasi informasi yang tengah melanda seluruh pelosok dunia.

Dengan ciri fisik seperti bentuk rumah yang masih mempergu-nakan arsitektur tradisional dan dengan segala bentuk pantangan yang harus dipatuhi tanpa reserve.

Kesahajaan hidup dan lingkungan kearifan tradisional adalah ciri mandiri dalam segala tingkah lakunya, sehingga dinamika hidupnya selalu diwarnai oleh keterikatan dirinya akan pedoman hidup yang telah mempranata dan merupakan harta kekayaan yang tak ternilai harganya. Masyarakat Kampung adat dengan kearifannya mampu bertahan hidup 'survive' dan tidak melepaskan kekhasannya yang menjadi ciri mandiri jati dirinya.

Atas dasar hal tersebut di atas, maka sangat diperlukan informasi, pengetahuan, dan pemahaman tentang kondisi budaya yang dimiliki setiap kelompok masyarakat tersebut, dalam rangka mengisi dan memperkaya khasanah budaya Indonesia umumnya dan Jawa Barat khususnya. Untuk sedikit gambaran mengenai kehidupan masyarakat adat, di bawah ini akan penulis paparkan gambaran Kampung adat Naga di Tasikmalaya.

Kampung Adat Naga di Tasikmalaya

Kampung Naga itu sendiri secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Dari Tasikmalaya menuju Kampung adat Naga berjarak 30 km, sedangkan dari Garut jaraknya 26 km. Adapun letak Desa Neglasari ke berbagai pusat pemerintahan, di antaranya ke ibukota kecamatan jaraknya mencapai 5 km, yang dapat ditempuh dalam waktu 15 menit; ke ibukota kabupaten berjarak 33 km dengan waktu tempuh 1 jam; sedangkan ke ibukota provinsi jaraknya mencapai 80 km yang bisa ditempuh dalam waktu 3 jam.

Menurut data potensi desa, bentuk permukaan tanah wilayah Desa Neglasari berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatagorikan sedang. Dari luas wilayah yang ada, sebagian besar digunakan untuk pertanian tanah kering, ladang, dan tegalan. Adapun selebihnya terpakai untuk perumahan dan pekarangan; sawah yang terdiri atas sawah teknis, sawah setengah teknis, dan sawah sederhana; serta peruntukan lainnya seperti pekuburan, tanah desa, dan sebagian lagi merupakan tanah milik negara.

Penduduk Desa Neglasari tinggal tersebar di 4 Rukun Warga (RW) yang terbagi lagi ke dalam 19 Rukun Tetangga (RT). Salah satu RW dan RT-nya adalah perkampungan adat Naga. Dalam kehidupan masyarakat di desa tersebut agama Islam merupakan satu-satunya agama yang dianut dan dijadikan sebagai pedoman hidup oleh mereka. Oleh karena itu, tak mengherankan kalau nuansa Islami begitu kental mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat di desa tersebut. Keselarasan dan keharmonisan hubungan antarwarga masyarakat terjalin dengan baik, sehingga mereka terjaga dari hal-hal yang dapat mengganggu kedamaian hidup mereka.

Untuk menjaga kelangsungan hidup, masyarakat Kampung Naga memiliki sumber mata pencaharian yang cukup beragam. Namun demikian, sebagian besar dari mereka lebih banyak yang menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian tanah sawah dan perladangan tanah kering, baik yang statusnya sebagai petani pemilik, petani penggarap, maupun buruh tani. Adapun diversifikasi matapencaharian lainnya yang ditekuni masyarakat Desa Neglasari bisa dikatakan cukup bervariasi, mulai dari perajin, petani, tukang cukur, dukun bayi, pedagang, hingga pegawai negeri.

Kampung Naga merupakan sebuah potret kehidupan yang tampak spesifik dan khas dalam menjalankan roda kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kampung Naga yang begitu kukuh memegang falsafah hidup yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, tampak tak bergeming terhadap apa yang terjadi di luar kehidupan mereka. Padahal sebagaimana kita ketahui pada era globalisasi yang melanda seluruh dunia seperti sekarang ini, sungguh tidaklah mudah untuk menepis dan menyeleksi berbagai unsur budaya luar yang masuk ke dalamnya. Modernisasi pada berbagai aspek kehidupan pun tidak bisa dielakkan lagi, terjadi baik disengaja maupun tidak. Meskipun gelombang modernisasi melanda berbagai kelompok masyarakat, tak terkecuali masyarakat yang berada di sekitar perkampungan masyarakat Kampung Naga, tidak berarti mereka pun harus hanyut di dalamnya. Mereka tetap hidup sebagaimana adanya dengan tetap mempertahankan eksistensi mereka yang khas.

Keteguhan mereka dalam memegang akar budaya yang dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Kampung Naga, teraktualisasikan melalui berbagai aspek kehidupan seperti dalam sistem religi, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kemasyarakatan yang semuanya terangkum ke dalam sistem budaya masyarakat Kampung Naga.

Masyarakat Kampung Naga juga mempercayai bahwa benda-benda pusaka peninggalannya mempunyai kekuatan magis. Benda-benda pusaka itu disimpan di tempat suci atau Bumi Ageung yang merupakan bangunan pertama yang didirikan di Kampung adat Naga. Selanjutnya, dari masa ke masa bangunan tersebut dirawat serta diurus oleh seorang wanita tua yang masih dekat garis keturunannya.

Meskipun penduduk Kampung Naga dan sa-Naga adalah penganut agama Islam yang taat, mereka pun tetap memegang teguh adat istiadat yang telah turun temurun. Sebagai rasa hormat kepada nenek moyangnya, mereka menjalankan dan memelihara adat istiadat itu.

Kendati pun mereka dianggap sebagai masyarakat yang teguh memegang adat istiadat, masih memungkinkan bagi mereka untuk menerima pengaruh dari luar sepanjang tidak merusak atau mengganggu kehidupan adat istiadat warisan budaya nenek moyang mereka. Mereka mempunyai pancen untuk memelihara dan melestarikan budayanya. Apabila dilanggar, berarti durhaka kepada nenek moyang yang seharusnya mereka junjung tinggi. Mereka mengatakan sieun doraka 'takut durhaka'.

Dari uraian di atas, mengenai salah satu kampung adat, yaitu Kampung Adat Naga yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, kita dapat mengetahui bahwa unsur-unsur kebudayaan (sistem pengetahuan) yang dimiliki suatu komunitas masyarakat kecil akan berbeda bila dibandingkan dengan komunitas masyarakat yang lebih besar. Hal itu disebabkan karena kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat dinamis, bukan sesuatu yang bersifat kaku atau statis. Demikian pula pengertian tentang kebudayaan, bukan lagi sebagai sekumpulan barang seni atau benda-benda, tapi kebudayaan akan selalu dikaitkan dengan gerak hidup manusia dalam kegiatannya, seperti membuat peralatan hidup, norma-norma, sistem pengetahuan, sistem jaringan sosial, kehidupan ekonomi, sistem religi atau kepercayaan, adat istiadat, serta seperangkat aturan yang masih didukung oleh masyarakat tersebut.

Selanjutnya, bahwa kehidupan di seluruh masyarakat kampung adat yang ada di Jawa Barat, memang terlihat agak eksklusif dibanding dengan masyarakat sekelilingnya. Mereka masih melakukan tradisi kehidupan yang sederhana sesuai dengan pedoman hidupnya. Sehingga wujud kebudayaan yang spesifik sangat berpengaruh pada pola-pola kehidupan, bahkan menjadi pedoman bagi kelangsungan hidup anggota masyarakatnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat kampung-kampung adat yang terkurung oleh gelombang modernisasi, tidak membiarkan diri hanyut di dalamnya. Mereka berupaya mempertahankan eksistensinya melalui kekuatan spiritual, seperti yang tercermin dalam norma-norma yang dijadikan sebagai pedoman hidupnya. Secara tidak sadar mereka mengaktualisasikan diri melalui sistem pengetahuan tradisional yang menjadi dasar dan pedoman akan kesadaran moral, keyakinan religius, kesadaran nasional, dan kemasya-rakatan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem pengetahuan suatu masyarakat, merupakan identifikasi dari tinggi rendahnya peradaban yang dimiliki masyarakat tersebut. Maka dengan demikian sistem pengetahuan dapat pula dijadikan barometer bagi tinggi rendahnya budaya suatu bangsa. Hal itu disebabkan karena sistem pengetahuan merupakan aktualisasi dari segala sikap dan perilaku manusia atau masyarakat yang secara empiris dapat dirasakan, dilaksanakan, dilestarikan, dan dipedomani sebagai sesuatu yang dapat memberikan keseimbangan dalam kehidupannya.

Sistem pengetahuan ini pun mengatur seluruh aktivitas hidup dan kehidupan untuk keseimbangan dan berinteraksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakatnya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itu, sistem pengetahuan suatu masyarakat tercakup dalam segala aspek yang mengatur hidup dan perilaku manusia.

Begitu pula sistem pengetahuan yang ada dan dimiliki oleh masyarakat adat Kampung-kampung adat di Jawa Barat, adalah merupakan manifestasi dan aktualisasi dari seluruh aktivitas masyarakatnya dalam berinteraksi untuk mencari keseimbangan baik dirinya - orang per orang - maupun orang dengan alam sekelilingnya. Bahkan di samping itu, sistem pengetahuan ini dapat pula dijadikan sebagai benteng dalam menghadapi arus budaya luar yang mencoba memasuki wilayah budaya miliknya. Dengan kata lain bahwa pengetahuan mengenai pamali, teu wasa, buyut, atau tabu yang berlaku di kampung-kampung adat merupakan salah satu bentuk penyeimbang dalam berinteraksinya. Pandangan mengenai masyarakat kampung adat adalah masyarakat yang kuat memegang tradisi warisan nenek moyangnya adalah benar, tetapi masyarakat kampung adat tersebut tidak mengisolir diri dari masyarakat di sekitarnya, mereka bersama-sama dengan anggota masyarakat lain ikut berpartisipasi secara aktif. Mereka berintegrasi dengan masyarakat lainnya terutama dalam kepentingan hidup bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama pula.

Ketentuan-ketentuan adat seperti pamali, tabu atau lebih dikenal lagi dengan sebutan pantangan dan sebagainya hanya berlaku bagi orang-orang di lingkungan kampung adat sendiri.

Bentuk-bentuk penyeimbang lainnya dapat dilihat dari nilai-nilai yang terdapat dalam ungkapan sehari-hari sebagai pedoman hidupnya khususnya untuk Kampung Naga, seperti yang tertuang dalam tiga kata : amanat, wasiat, dan akibat. Ketiga ungkapan ini adalah bentuk pengetahuan yang harus ditaati, dilaksanakan, dan dipedomani sebagai ajaran yang mengandung kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupannya. Ketiga ungkapan itu mengandung fungsi nilai-nilai filosofis di samping fungsi sosial dan fungsi nilai religius magis.

Kampung-kampung adat di Jawa Barat yang memiliki ciri-ciri keunikan tersendiri, kukuh dalam memegang falsafah hidup, tak bergeming akan perubahan jaman; di mana gelombang modernisasi dan globalisasi yang terus melanda. Arus modernisasi dan globalisasi telah membawa perubahan yang menggilas seluruh aspek kehidupan, sehingga kita sebagai manusia yang hidup di jamannya secara langsung ikut pula dalam perubahan-nya, baik yang terjadi dalam tata nilai maupun dalam norma-norma. Salah satu dampaknya membuat manusia menjadi schinzofrenia 'terpecah kepribadiannya', dan menyebabkan terjadinya pergeseran nilai sakral menjadi profan.

Kampung-kampung adat jika dikaji dari segi budaya, termasuk kampung adat yang mampu mempertahankan eksistensinya dari generasi ke generasi. Walaupun dalam perjalanan sejarahnya Kampung-kampung adat tersebut pernah menghadapi berbagai masalah bahkan sampai sekarang di mana era globalisasi melanda dunia, mereka tak bergeming dalam kepatuhan dan kelestarian sistem budaya yang dianut sejak dahulu. Budaya yang mengatur semua gerak langkahnya, adalah benteng yang kokoh dan menjadi pegangan erat kaumnya. Sehingga nuansa perubahan di luar dirinya tidak menjadi beban berat.

Kelestarian budaya masyarakat kampung adat dapat diukur dari potret kesahajaan hidup dalam menghadapi gelombang modernisasi. Mereka hidup dalam kesederhanaan, akan tetapi di balik kesederhanaan itu tercermin kebebasan dan kearifan yang sangat dalam. Sistem pengetahuan tradisionalnya adalah gambaran kekayaan batin mereka, dan itu merupakan barometer betapa tinggi budaya mereka, sehingga merupakan panutan bagi masyarakatnya.

Dalam sistem kepemimpinan pada umumnya, di kampung-kampung adat bersifat kokolot sentris, puun sentris, olot sentris, atau kuncen sentris, artinya segala bentuk kegiatan selalu berpusat kepada mereka selaku pimpinan yang secara turun menurun. Kampung adat sebagai pranata sosial memberikan ciri bahwa adat istiadat adalah ciri utamanya. Sehingga regenerasi pun akan terus berlanjut dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya.

Sejalan dengan kehidupan dewasa ini, sebagian dari masyarakat kampung adat mampu berintegrasi dengan situasi dan kondisi masyarakat di luar. Dalam kehidupan sehari-hari, dewasa ini sudah mulai menerima bentuk-bentuk perubahan. Bentuk perubahannya tidak mendasar ke dalam bentuk tradisi, misalnya dengan kehadiran TV, bentuk rumah yang lebih artistik --dibanding dengan bentuk rumah yang lain--, radio, bentuk rumah dengan mempergunakan kaca, dan asesoris interior rumah (kehadiran kursi tamu). Hal itu diakui secara langsung oleh masyarakat. Apabila jauh mengusik dan menerobos tradisi, mereka tetap khawatir akan akibatnya.

Kearifan dalam menghadapi tantangan alam, di mana faktor alam sangat dibutuhkan, mereka dengan arif melaksanakan sistem teknologi penjagaan alam yang alami, dengan menjaga leuweung tutupan, leuweung larangan, atau leuweung karamat sebagai penyeimbang sehingga terjadi keselarasan antara kelestarian hutan lindung dengan manusia. Di samping itu dalam menyelaraskan hidup dengan keadaan alam -- karena keadaan kampung adat sebagian besar yang ada di Jawa Barat terletak di sebuah lengkob 'lembah' dengan kontur tanah yang bertebing, (lihat kampung adat Naga, Dukuh, Kuta, dan Urug) dan sebagian lagi ada di badan bukit, seperti Kampung Adat Ciptarasa-- maka penyesuaian dalam mendirikan rumah, mereka membuat sengked batu 'trap-trap dari batu' antara pelataran rumah yang satu dengan rumah yang lainnya. Bahkan dalam pembuatan rumah pun menabukan tembok, untuk menjaga kestabilan tanah.

Bukan suatu kebetulan bahwa dalam Kampung Adat, kita menemukan kearifan-kearifan dan nilai-nilai falsafah hidup dalam menjaga kelestarian tradisi yang telah melembaga, karena mereka menyadari bahwa hanya dengan melestarikan tradisinyalah eksistensi hidupnya akan lebih mantap. Kampung-kampung adat merupakan kampung yang memiliki keunikan tersendiri; khususnya dalam nilai-nilai luhur dan falsafah hidup, dalam menjalankan salah satu tradisi Sunda yang dipedomani sebagai satu ajaran oleh masyarakatnya.

Budaya yang dipedomaninya, merupakan pegangan anggota masyarakat yang relevan dengan situasi dan kondisi alam sekitarnya. Bahkan menjadi benteng penghalang bagi pergeseran nilai-nilai yang diakibatkan adanya gelombang modernisasi dan globalisasi.

Kampung-kampung adat sebagai kampung tradisional dapat dijadikan sebuah musium budaya, karena memiliki keunikan budaya. Keunikan budaya ini adalah mozaik budaya Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya yang sangat penting bagi para pakar untuk mengungkap lebih jauh nilai-nilai dan falsafah hidup manusia dalam memberikan informasi bagi kekayaan nilai-nilai budaya Indonesia umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Harsoyo, 1982, Pengantar Antropologi, Bina Cipta, Bandung

Keontjaraningrat, 1983, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, jakarta, Gramedia.

Nandang Rusnandar, Drs. Dkk. 1992, Ungkapan Tradisional yang Mengandung Nilai Moral dan Nilai Tabu atau Magis di Masyarakat Kampung Kuta Kabupaten Ciamis dan Kampung-kampung adat Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat, Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Teguh Meinanda dan D. Akhmad 1981, Tanya Jawab Pengantar Antropologi, CV. Armico, Bandung.

T.O. Ihromi (Ed), 1980, Pokok-pokok Antropologi, Gramedia, Jakarta.

Yudistira Garna, 1980, Makalah : Perubahan Sosial di Indonesia, Tradisi, Akomodasi, dan Modernisasi (Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia III di Bandung).

1 komentar: